Oleh: Fath A. Damayanti, S.Si (Muslimah Preneur)
Kasus perkawinan usia anak di Kaltim terus meningkat, berdasarkan data Kanwil Kementerian Agama Kalimantan Timur tahun 2020 sebanyak 1.159 orang, terdiri dari laki-laki sebanyak 254 orang dan perempuan sebanyak 905 orang. Sementara berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun. Angka perkawinan usia anak di Kaltim selama tahun 2020 tertinggi terjadi di Kabupaten Kutai Kertanegara, Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kabupaten Paser, dan Kabupaten Kutai Timur. Sementara untuk kondisi perkawinan usia anak di Kaltim yaitu perempuan masih mendominsasi dalam kasus perkawinan usia anak. Tahun 2019 kasus perkawinan usia anak mengalami penurunan 11,33% dan pada tahun 2020 mengalami kenaikan 27,09%. Kondisi pandemi di klaim menjadi salah satu penyebab naiknya tingkat pernikahan usia anak.
Sebagaimana dilansir dalam dkp3a.kaltimprov.go.id (17/11), Pemerintah Provinsi Kaltim terus berupaya melakukan upaya pencegahan dengan menggerakkan seluruh potensi yang dimiliki sampai tingkat bawah diantaranya, sosialisasi pencegahan perkawinan usia anak melalui Forum Anak, Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), 241 sekolah ramah anak, 61 puskesmas ramah anak, 21 tempat ibadah ramah anak, 11 ruang bermain ramah anak, dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Selain itu juga menjadikan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Sebagai dasar dimana usia menikah bagi laki-laki dan perempuan adaah 19 tahun, namun menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) usia pendewasaan pernikahan bagi laki-laki adalah usia 25 tahun untuk laki-laki dan 21 tahun bagi perempuan karena dianggap pada usia tersebut sudah siap secara seksual, emosional dan ekonomi. Hal ini menjadi acuan untuk mematok usia menikah, dengan alasan jika menikah dini banyak dampak yang berbahaya seperti resiko ibu meninggal ketika melahirkan, stunting, KDRT, perceraian dan lain sebagainya. KRR (Kesehatan Reproduksi Remaja) kemudian dipilih sebagai sebuah penyelesaian untuk pencegahan kasus-kasus tersebut.
KRR adalah program internasional yang diantaranya melarang pernikahan dini dan melegalkan seks bebas. Dalam program ini Orang Tua juga menjadi salah satu pilar sehingga perlu diberikan pembekalan yang seimbang tentang KRR dan pendidikan karakter, pengasuhan, komunikasi. Lembaga Pengantin seperti KUA juga diberikan panduan dan pembekalan. Namun, sayangnya dalam sistem saat ini yang mengusung pemisahan agama dengan kehidupan (sekuler) menjadikan kebebasan di atas segala-galanya. Sampai saat ini kasus pelecehan dan kekerasan kepada perempuan dan anak juga terus meningkat, kebijakan yang ada nyatanya tak juga mampu menyelesaikan permasalahan. Masalah-masalah baru justru bermunculan dari kebijakan yang ada, pun demikian dengan KRR karena hanya merupakan solusi parsial tidak menyentuh pada akar masalah. Ditambah lagi dengan dijauhkannya pemahaman terhadap agama semakin menjadikan agama sebagai ritual saja. Sudut pandang liberal akhirnya menjauhkan dari syariat Islam kaffah.
Dalam Islam menikah adalah ibadah, prosesnya mudah dan tidak berbelit-belit. Islam memandang pernikahan sebagai solusi syar’i dalam melegalkan hubungan laki-laki dan perempuan. Usia menikah tidak ditetapkan, ketika akan menikah para calon sudah siap lahir batin karena sudah mempersiapkan diri dengan ilmu, sehingga mampu menjalankan dan memahami tugas serta kewajibannya sebagai suami istri. Keluarga pun dibangun berdasarkan penanaman aqidah, termasuk kepada anak-anak.
Islam sangat memudahkan mahar seseorang yang ingin melangsungkan pernikahannya. Sebagaimana ‘Ali radhiyallah‘anhu memberikan mahar nikahnya berupa baju besi kepada Fatimah radhiyallah ‘anha, Ummu Sulaim menikah dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam. Bahkan pada masa Khilafah Utsmani, bila sampai usia 25 tahun belum menikah, maka akan dipaksa menikah. Setiap orang yang menikah dalam jangka umur 18-25 tahun dan dia fakir tidak memiliki sesuatu apapun, maka di berikan kepadanya tanah pemerintah seluas 150 sampai 300 hektar (satu hektar setara 920 meter) yang paling dekat dengannya. Pemberian ini dimulai sejak pernikahannya.
Demikianlah peran negara, dalam pernikahan saja sedemikian rupa mengurusi apalagi dengan hal-hal yang lain. Sudah sepatutnya sistem Islam diterapkan agar permasalahan-permasalahan kehidupan tersolusikan secara tuntas sampai ke akar-akarnya dan masyarakat sejahtera. Wallahua’lam bishawab[*].