Resesi Menghantam Sepertiga Dunia, termasuk ASEAN, Kapitalisme Bawa Bencana

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Resesi Menghantam Sepertiga Dunia, termasuk ASEAN, Kapitalisme Bawa Bencana

Oleh Sutirna Gafar
(Praktisi Pendidikan)

Belakangan ini, jagat maya dihebohkan dengan kata ‘resesi’. Saking populernya kata tersebut, banyak orang merasa was-was untuk menyambut tahun 2023. Resesi adalah istilah ekonomi yang menggambarkan perekonomian suatu negara yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Apa itu resesi sebenarnya dan mengapa banyak orang sangat khawatir bilamana resesi benar-benar terjadi?

National Bureau of Economic Research (NBER) yang terletak di Amerika Serikat, mengartikan resesi sebagai kondisi dimana negara mengalami penurunan aktivitas ekonomi secara signifikan dalam kurun waktu beberapa bulan dilihat dari PDB riil, penghasilan, tingkat pengangguran, produksi industri, dan penjualan grosir-ritel.

Ada beragam faktor yang memicu terjadinya resesi pada suatu negara. Pertama, inflasi, yakni kondisi naiknya harga secara terus menerus, baik itu harga barang maupun jasa. Adanya kenaikan harga ini berimbas pada melemahnya daya beli masyarakat yang nantinya diikuti juga dengan penurunan produksi barang dan jasa. Jika dibiarkan dalam waktu lama, hal ini akan mengakibatkan tingginya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masal, kemiskinan, dan terjadi resesi.

Kedua, deflasi berlebihan. Seperti halnya inflasi, deflasi juga bisa membawa pengaruh yang buruk dan memicu terjadinya resesi. Deflasi adalah sebuah kondisi dimana harga barang dan jasa turun dari waktu ke waktu yang akhirnya berimbas pada upah yang dibayarkan mengalami penurunan.Deflasi juga ditandai dengan adanya penundaan pembelian barang atau jasa sampai harga terendah. Hal ini tentunya sangat berisiko bagi pemilik usaha. Sebab, meskipun daya beli masyarakat kemungkinan akan naik, nyatanya pemilik usaha harus menekan biaya produksi yang berujung pada ruginya suatu bisnis.
Jika masyarakat atau unit bisnis berhenti untuk melakukan aktivitas ekonomi seperti membelanjakan uangnya, bukan tidak mungkin kondisi ekonomi yang ada akan rusak.

Ketiga, pecahnya gelembung aset. Hal ini bisa terjadi saat investor mengambil langkah secara gegabah. Misalnya, terjadi pembelian saham dan properti secara masif dengan anggapan harganya akan naik dengan cepat. Lalu, saat keadaan ekonomi tengah goyah, mereka akan beramai-ramai menjualnya yang mengakibatkan terjadinya panic selling dan berujung pada resesi akibat rusaknya pasar.

Keempat, guncangan ekonomi yang mendadak. Hal ini ditandai dengan menurunnya daya beli yang disebabkan kesulitan finansial serta masalah serius lainnya seperti tumpukkan hutang. Hutang yang menumpuk akan mempengaruhi membengkaknya bunga yang perlu dibayarkan dan berujung pada ketidakmampuan untuk melunasinya atau gagal bayar.

Kelima, perkembangan teknologi. Hal ini bisa terjadi karena adanya penurunan lapangan pekerjaan yang banyak digantikan oleh teknologi terkemuka seperti Artificial Intelligence (AI) dan robot. Alhasil, lapangan pekerjaan akan menurun drastis dan membuat angka pengangguran meningkat.
Keenam, ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi. Barang dan jasa yang diproduksi secara berlebih dengan tingkat konsumsi atau daya beli yang menurun bisa membawa malapetaka bagi produsen.
Hal ini mendorong terjadinya impor secara besar-besaran, membengkaknya pengeluaran perusahaan, dan menipisnya laba perusahaan dalam negeri.

Ketujuh, pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan selama 2 kuartal berturut turut. Hal ini dapat dinilai dari melemahnya Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Kedelapan, nilai impor lebih besar dari ekspor. Kondisi ini bisa memberikan efek terhadap defisitnya anggaran negara dan terjadinya penurunan pendapatan nasional.
Kesembilan, tingginya tingkat pengangguran. Tingginya angka pengangguran suatu negara bisa mengindikasikan negara tersebut mengalami resesi. Sebab, tenaga kerja memiliki peran penting dalam perputaran perekonomian suatu negara.
Apabila angka pengangguran meningkat secara terus menerus, hal ini akan mengakibatkan tingkat kriminalitas ikut naik.

Resesi juga bisa terjadi karena krisis keuangan. Salah mengambil keputusan perekonomian, adanya disrupsi rantai pasokan, disrupsi perdagangan eksternal, pecahnya gelembung ekonomi, sampai dengan faktor yang ada di luar kuasa manusia seperti bencana alam ataupun pandemi. Perlambatan ekonomi menghantam hampir seluruh negara di dunia.

Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi bahwa sepertiga perekonomian dunia akan resesi dan ratusan juta manusia akan terdampak walaupun negaranya tidak masuk zona resesi.
Mengapa? Karena tiga negara dengan perekonomian terbesar dunia (AS, Uni Eropa, dan Cina), secara bersamaan mengalami perlambatan ekonomi yang makin besar. Walaupun AS memang berpotensi terhindar dari zona resesi, tetapi separuh Eropa diprediksi akan mengalami resesi, begitu pun dengan Cina.

Ancaman krisis ekonomi global yang amat parah terpicu kondisi masyarakat dunia yang masih dalam pemulihan ekonomi, langsung diterpa dengan imbas perang besar Ukraina-Rusia. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap ekonomi global, sebab kedua negara tersebut merupakan pemasok besar pangan dan energi dunia.

Harga komoditas yang terus naik juga menyebabkan inflasi. Sehingga, negara-negara besar memproteksi pangan mereka. Walhasil, ketersediaan pangan di dunia pun menurun. Cina, misalnya, tengah memproteksi pangannya, hal tersebut tentu sangat memengaruhi banyak negara importir komoditas dari Cina.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sebagai negara kelas tiga, Indonesia pasti terkena imbasnya karena ketergantungan Indonesia pada dunia begitu besar, termasuk pada pangan dan energi. Saat Bank sentral AS The Fed secara agresif menaikkan suku bunga, tentu hal tersebut akan memicu apresiasi dolar AS terhadap rupiah. Otomatis, pembayaran utang Indonesia yang notabenenya memakai dolar, akan membengkak. Inilah yang akan makin memberatkan APBN untuk membayar utang luar negeri.

Selain itu, Indonesia yang pada hakikatnya adalah negara importir pangan dan energi, harus membayar pembelian sejumlah komoditas dengan dolar. Artinya, kenaikan suku bunga menyebabkan harga komoditas yang dibeli makin meninggi. Pada gilirannya, kondisinya akan menurunkan daya beli masyarakat karena harga komoditas akan makin mahal.

Jika daya beli sudah menurun, industri akan kolaps lantaran barang-barangnya tidak laku di pasaran. Buntut dari sini akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, karena perusahaan sudah tidak sanggup menanggung ongkos produksi. Akibat PHK, maka kemiskinan, gizi buruk, dan kelaparan makin tinggi. Lebih jauh, angka kemiskinan yang meningkat dan ketimpangan yang melebar akan memicu tingginya kriminalitas. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas negara merapuh.

Pangkal Krisis

Krisis ekonomi dunia terjadi bukan kali ini saja dan dipastikan bukan yang terakhir jika sistem ekonomi kapitalisme masih memimpin dunia. Setidaknya, ada dua faktor penyebabnya. Pertama, basis utama penggerakan ekonomi kapitalisme bertumpu pada sektor nonriil, yaitu ekonomi yang digerakkan oleh utang, bunga, spekulasi, dan uang kertas. Jika sektor nonriil yang menjadi tumpuan, pergerakan tersebut akan tumbuh dan berkembang hingga menggelembung, tetapi isinya kosong. Bagai balon udara yang terus mengembung, tetapi isinya angin hingga sewaktu-waktu mudah meledak. Inilah yang disebut economic bubble.

Kedua, sistem mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas berharga (fiat money) pasti akan terus menyebabkan krisis. The Fed dengan mudahnya memproduksi dolar untuk menyelamatkan ekonominya. Besarnya kendali AS menyebabkan mata uang yang bergantung pada dolar, seperti rupiah, menjadi tidak stabil. Jika AS dan negara-negara besar menaikkan suku bunga, resesi bisa terjadi. Sebaliknya, menurunkan suku bunga bisa menyebabkan inflasi. Yang pasti, keduanya berimbas besar pada negara-negara kecil seperti Indonesia.

Ekonomi Islam Tahan Krisis

Sepanjang sejarah, hanya Islam yang mampu memimpin dunia tanpa krisis keuangan yang berkepanjangan. Ini karena Islam bertumpu pada sektor riil. Sistem moneternya menggunakan sistem mata uang emas sehingga stabil dan jarang krisis.
Akan tetapi, setelah sistem moneter internasional diganti dengan sistem pertukaran emas parsial (Bretton Woods) dan pada 1971 ditetapkan mata uang kertas biasa, dunia menjadi sangat rentan dengan resesi.

Ada beberapa musabab sistem mata uang emas bisa menghasilkan ekonomi yang stabil. Pertama, sistem ini stabil karena nilai intrinsik dan nominal yang sama pada mata uang akan menyebabkan tidak adanya manipulasi. Pemerintah tidak akan mencetak uang seenaknya, juga menghilangkan potensi terjadinya inflasi.

Kedua, sistem uang emas memiliki kurs yang stabil antarnegara sehingga dapat mengurangi permasalahan perdagangan internasional. Importir tidak akan khawatir jika barangnya akan lebih mahal karena mata uang negaranya melemah, begitu pun bagi eksportir. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ketiga, sistem emas akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki setiap negara. Emas dan perak tidak akan lari dari satu negara ke negara lainnya dan tidak akan berpindah, kecuali menjadi harga bagi barang yang diperbolehkan syariat.

Tiga poin ini setidaknya dapat menggambarkan kepada kita betapa stabilnya sistem mata uang emas dan perak. Dalam konteks Khilafah, ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan, yakni menghentikan percetakan mata uang kertas, memberlakukan kembali mata uang emas dan perak, menghilangkan berbagai kendala pajak atau cukai terkait emas, serta menghilangkan syarat yang membatasi impor ekspor emas, dll. Inilah yang akan mengantarkan pada kestabilan perekonomian.

Oleh karenanya, agar Indonesia dan dunia tidak terus-terusan mengalami krisis, sudah seharusnya dunia meninggalkan sistem ekonomi kapitalisme lalu menerapkan sistem ekonomi Islam. Sehingga, perekonomian akan stabil dan masyarakat merasakan kesejahteraan.

Wallahu a’lam bishshawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *