Refleksi HARI GURU NASIONAL:  Patutkah Merayakan Rusaknya Generasi, Buah Merdeka Belajar?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Refleksi HARI GURU NASIONAL: 

Patutkah Merayakan Rusaknya Generasi, Buah Merdeka Belajar?

 Oleh Ummu Aflah, SHI

(Praktisi Pendidikan)

Sejak ditetapkannya Hari Guru Nasional (HGN) oleh pemerintah melalui Kepres no.78 tahun 1994 bahkan jauh sebelum itu hingga saat ini, Pendidikan di Indonesia belum juga menemukan arah dan tujuan yang jelas, meski berulang kali berganti kurikulum nyatanya masalah Pendidikan di Indonesia semakin runyam layaknya benang kusut. Tema Hari Guru Nasional yang diangkat Kemendikbud tahun ini ialah Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar.

Bagaimana mungkin kita bisa merayakan HGN dengan tema di atas, sementara para guru justru semakin disibukkan dengan masalah administrasi, dan para siswa semakin kehilangan jati diri bahkan ada yang sampai bunuh diri

Pada peringatan Hari Guru Nasional, siswa-siswi di setiap sekolah Indonesia biasanya akan melakukan perayaan sebagai simbol penghargaan terhadap para guru atau tenaga pendidik. (tirto.id, 28/11/2023)

Penghargaan yang diharapkan oleh para guru bukan hanya dalam bentuk perayaan yang di adakan setiap tahunnya dengan berbagai hadiah, sementara dalam rutinitas keseharian di sekolah mereka banyak mendapat tekanan dari para pemangku jabatan, tidak mendapatkan rasa hormat para siswa dan walimurid yang tidak respek serta banyak tuntutan tak sebanding dengan minimnya gaji yang diterima.

Maka tak heran jika kita sering mendengar kasus para guru yang dipidanakan oleh orangtua siswa karena tidak terima dengan hukuman yang diberikan kepada anaknya. Kesemrawutan kurikulum pendidikan yang ditetapkan pemerintah bukan hanya menimpa para pendidik saja, namun lebih jauh tentunya menimpa para siswa yang merasakan buah dari sistem pendidikan yang dijalankan sekarang. Sehingga kasus kriminalitas terus berulang, adanya tawuran antar siswa, perundungan, pelecehan dan lain-lain sering terjadi di sekolah.

Tak hanya korban fisik, korban mentalpun tak kalah bahayanya. Kita sering mendengar ada siswa yang menjadi ODGJ, ada juga yang bunuh diri loncat dari atas gedung sekolah dilakukan oleh para siswa mulai dari tingkat dasar, menengah bahkan di perguruan tinggi pun kita dapati hal serupa. Mengapa semua ini terjadi? Bukankah generasi muda seharusnya ditempa agar menjadi generasi yang berkualitas karena masa depan bangsa ini ada ditangan mereka?

Sebagaimana pepatah arab mengatakan,

إِنَّ فِى يَدِ الشُّباَّنِ اَمْرَ اْلاُمَّةْ وَفِى اَقْدَامِهَا حَيَاتَهَا

“Sesungguhnya di tangan para pemudalah urusan umat, dan pada kaki-kaki merekalah terdapat kehidupan umat”.

Jika sekolah sebagai salah satu tempat menuntut ilmu tidak bisa diharapkan karena kurikulum yang dibuat berdasarkan sistem kapitalisme, dimana pendidikan dijadikan salah satu komoditas penghasil uang sehingga bukan kualitas yang di utamakan melainkan hanya kuantitas saja, wajar jika hasilnya pun tidak memiliki kualitas. Bahkan menjadikan pemuda negeri ini bodoh merupakan salah satu agenda mereka agar semakin kuat cengkeraman mereka terhadap negeri ini tanpa ada seorangpun yang menghalangi.

Rosulullah SAW bersabda:

قال النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَلَاك أُمَّتِي عَلَى يَدَيْ أُغَيْلِمَةٍ سُفَهَاءَ

“Nabi SAW bersabda: ‘Hancurnya umatku ditangan PEMUDA YANG BODOH.” (HR.Bukhari)

Meski beberapa kali kurikulum di negeri ini berganti nama, tak akan ada perubahan yang signifikan. Selama kita masih menerapkan sistem kapitalisme maka kita hanya menunggu hancurnya masa depan bangsa ditangan para pemuda bodoh yang hanya memiliki keinginan untuk memperkaya diri sendiri dan kesenangan duniawi semata.

Jika kita ingin negeri ini selamat dari kehancuran tentunya hanya Islam solusinya, karena Islam memiliki sistem Pendidikan berkualitas yang berasas akidah dalam membentuk syakhsiyah Islamiyyah. Sejarah telah membuktikan dengan lahirnya banyak tokoh-tokoh Islam seperti Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Jazari dan banyak lagi yang lainnya. Mereka menjadi ulama sekaligus penemu berbagai macam bidang ilmu yang berguna dalam kehidupan hingga terasa sampai detik ini. Hal demikian dapat terjadi ketika sistem Pendidikan Islam diterapkan.

Islam memadukan tiga pilar penting dalam membentuk pribadi seseorang, yaitu dimulai dari keluarga, masyarakat dan negara. Ketika ketiga pilar ini bersinergi dan memiliki arah tujuan yang sama maka akan menjamin keberhasilan membentuk generasi berkualitas.

Pilar pertama yaitu keluarga berperan sebagai motivator dan inspirator, yang menanamkan akidah Islam dalam diri seorang anak, sehingga dalam segala aktivitasnya mereka selalu menyertakan Allah dan memiliki tujuan hidup yang mulia mengemban tugas penting dari Allah yaitu menjadi khalifah fil ardh. Dan ibu sebagai madrosatul ula memegang peranan penting dalam mendidik anak-anaknya.

Pilar kedua masyarakat berfungsi sebagai kontroling dan sebagai lahan untuk menempa diri, sehingga setiap individu mampu mencari solusi dari hasil pengamatannya terhadap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Dan masyarakat bersinergi dengan menerapkan amar makruf nahi munkar, sehingga tidak ada penyimpangan yang terjadi.

Pilar ketiga yang paling penting adalah negara berfungsi sebagai fasilitator yang memfasilitasi semua kebutuhan masyarakat dalam prosesnya menggali ilmu pengetahuan, sehingga setiap orang dapat belajar dan berkarya tanpa dipusingkan dengan biaya.

Jika ketiga pilar ini mampu bersinergi dan berfungsi dengan baik maka ilmu pengetahuan akan terus berkembang secara signifikan. Makna merdeka belajar yang sesungguhnya akan tercapai, karena bebas dari segala belenggu dunia, mereka tidak lagi menjadikan harta dan jabatan sebagai tujuan melainkan kebermanfaatan ilmu untuk seluruh alam dalam rangka mencari ridho Allah dan menjalankan Amanah-Nya sebagai khalifah fil ardh.

Wallahu’alam bish-shawwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *