Perpanjangan Kontrak Sama Dengan Perpanjangan Hegemoni Asing

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Perpanjangan Kontrak Sama Dengan Perpanjangan Hegemoni Asing

 

Marlina

(Santriwati PIRT Khodimus sunnah)

Negara dengan julukan zamrud khatulistiwa itulah Indonesia. Kekayaan melimpah dari Sabang sampai Merauke. Sumber daya alam dari mulai batu bara, emas, tembaga, nikel hingga kekayaan hutan dan lautan sangat melimpah. Hanya saja kekayaan tersebut hasilnya tidak bisa dinikmati seluruh rakyat. Pengelolaan kepada pihak swasta mengakibatkan hasil bumi negara ini hanya dinikmati segelintir orang.

Baru-baru ini pengelolaan sumber daya alam oleh PT. Freeport memiliki izin perpanjangan kontrak. Presiden Jokowi bakal memperpanjang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah 2041. Saat ini kedua pihak sedang bernegosiasi, salah satunya negara menambah 10 persen saham di PTFI. Alasan pemerintah membuka peluang ini karena setoran Freeport ke negara akan terus bertambah.

Berdasarkan data PTFI, selama 2022 penerimaan negara dari PTFI yang meliputi pajak, dividen, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai USD 3,32 miliar atau sekitar Rp 49,5 triliun (kurs Rp 14.912 per dolar AS). Sementara di 2023 ini penerimaan negara dari PTFI diperkirakan USD 3,76 miliar atau sekitar Rp 56 triliun. “Pemerintah memikirkan perpanjangan dengan penambahan saham. Pemerintah akan menambah saham sekitar 10 persen”, ujar Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers Realisasi Investasi Kuartal I tahun 2023 di Gedung BKPM. (kumparan bisnis.com, 28/4/2023)

Kementerian ESDM akan menyiapkan regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) sebagai landasan hukum agar perpanjangan izin ekspor tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara hingga Mei 2024 tidak melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba. (katadata.co.id,/28/4/2023)

Sejarah eksploitasi industri pertambangan di Indonesia bermula dari masa kolonialisme Belanda. Dari sini sektor pertambangan mulai menggeser kedudukan rempah-rempah yang sebelumnya merupakan komoditas unggulan di wilayah kolonial Hindia-Belanda. Pada tahun 1850an, pemerintah Hindia-Belanda mendirikan kantor penyelidikan bahan tambang Dienst van hen Minjnwezen, yang bertempat di Weltevreden, Batavia. Undang-Undang Pertambangan Indische Minjwet disahkan. Akses eksplorasi hanya bisa dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada masa Orde lama dikeluarkan UU no. 37 Prp 1960. Ijin eksploitasi galian strategis diberikan bagi perusahaan Negara dan Swasta berkebangsaan Indonesia. Perusahaan asing pertama masuk Indonesia akibat disahkan Tap MPR No.XXIII/MPRS/1966 serta UU No. 1 dan No. 11 Tahun 1967 (UU PMA) 5 April 1967. Kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia pun dimulai. Kemudian disahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang aturan perijinan pertambangan. Namun terdapat ketidakpastian hukum pertambangan mineral di daerah. Pada tanggal 10 Juni 2020, disahkan UU Nomer 3 Taun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. UU ini tetap disahkan meski menuai banyak kritikan.

Begitulah dari masa ke masa, Undang-undang dibuat hanya untuk melegalisasi pengerukan kekayaan negeri untuk asing. Klaim bahwa perpanjangan kontrak akan menambah pemasukan devisa bagi negara itu adalah racun berbalut madu. Segala bentuk keuntungan dari Freeport baik yang masuk dalam kas negara, ataupun dalam bentuk bantuan-bantuan kepada masyarakat sekitar tambang, hanyalah sekadar kamuflase demi memperpanjang hegemoni asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Pada dasarnya rakyat telah menanggung kerugian besar dengan menyerahkan pengelolaan SDA kepada para kapitalis.

Keberlimpahan kekayaan alam yang dimiliki daerah Papua tidak berbanding dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dicapai. Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, jumlah penduduk Papua sebanyak 4,3 juta jiwa. Sungguh ironis, dengan kepemilikan kekayaan yang melimpah tersebut angka kemiskinan di Papua terbilang sangat tinggi bahkan bila dibandingkan dengan angka kemiskinan nasional.

Inilah dampak dari menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada asing. Rakyat sebagai pemilik kekayaan tidak dapat menikmatinya. Ini hanya sebagian kekayaan alam yang dikuasai asing di daerah Papua saja, belum lagi SDA lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, yang seluruh pengelolaannya diserahkan kepada para kapitalis baik asing maupun lokal. Kebermanfaatannya sepenuhnya dinikmati oleh segelintir kelompok, dan mengorbankan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Bercokolnya perusahaan asing yang terus menambang di negeri ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini membebaskan SDA dikelola siapa pun, termasuk asing. Negara korporatokrasi menjadikan penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeruk kekayaan alam negeri ini.

Semua ini akan berbeda ketika negara memiliki paradigma yang benar dalam upayanya mengelola kekayaan milik rakyat, berupa SDA yang melimpah tak sekadar di bumi Papua, tapi seluruh SDA yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jika mampu dan berdikari mengelola sendiri tentunya akan dapat memberi manfaat yang melimpah ruah bagi rakyat Indonesia. Rakyat tidak akan lagi berkubang pada kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, kesehatan buruk, kebutuhan pokok mahal, dan lain-lain. Jika saja pengelolaan negara dengan menggunakan paradigma yang benar yaitu Islam.

Islam mempunyai seperangkat aturan yang sangat lengkap termasuk di dalamnya aturan mengenai pertambangan. Dalam Islam, kekayaan alam yang berlimpah yang menguasai hajat hidup rakyat banyak wajib menjadi harta milik umum. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW menyebutkan bahwa padang rumput, air, dan api adalah milik umum dan haram dikuasai individu.

“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Keuntungan seluruh sumber daya alam, akan digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara hanya sebagai pengelola dan mendistribusikan hasilnya untuk rakyat secara merata, baik kaya miskin, Muslim dan non-Muslim selama menjadi warga negara Islam. Negara, yakni penguasa di dalamnya akan menempatkan dirinya sebagai raain (pelayan) bagi rakyatnya. Tidak ada tempat bagi negara-negara kafir menancapkan hegemoninya atas negara Islam.

Wallahu a’lam bish showab

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *