Peran Media Sosial dalam Propaganda Barat Merintangi Kebangkitan Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Peran Media Sosial dalam Propaganda Barat Merintangi Kebangkitan Islam

Oleh Yeni Suhartati

(Kontributor Suara Inqilabi)

 

Salah satu upaya Barat untuk menghadang kebangkitan umat Islam adalah dengan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan dan menancapkan pemikiran-pemikiran, opini-opini, dan life style yang bertentangan dengan Islam dalam benak-benak kaum muslimin. Apalagi saat ini media sosial sudah menjadi kebutuhan setiap orang dari berbagai kalangan. Berdasarkan laporan yang dirilis We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna internet di seluruh dunia telah mencapai 5,07 miliar orang pada Oktober 2022. Jumlah tersebut mencapai 63,45 persen dari populasi global yang totalnya 7,99 miliar orang. Adapun pengguna media sosial di seluruh dunia 4,74 miliar orang pada Oktober 2022 atau 59,32 persen penduduk dunia. Jika dirata-ratakan secara global, ada lebih dari setengah juta pengguna media sosial baru setiap harinya atau enam pengguna baru setiap detiknya. Masih dari sumber yang sama, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 191 juta orang pada Januari 2022 – meningkat 12,35 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 170 juta orang – dari total populasi penduduk Indonesia sebanyak 277,7 juta jiwa.

Sebagai platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk bisa saling berkomunikasi atau membagikan konten (tulisan, foto atau video), media sosial memiliki pengaruh besar terhadap tatanan geopolitik dunia, tak terkecuali Dunia Islam. Hal ini karena media sosial merupakan bagian dari digitalisasi media dan informasi yang saat ini tengah mendunia. Keberadaan media sosial di era keberlimpahan informasi ini memiliki pengaruh yang begitu kuat pada pikiran dan mental orang-orang di seluruh dunia, bahkan melampaui pengaruh senjata dan militer. Dan hal ini yang kini tengah dimanfaatkan oleh Barat untuk bisa mempertahankan hegemoni mereka atas kaum muslimin.

Dengan memanfaatkan media sosial dengan berbagai platformnya, seperti Facebook, Instagram, Youtube, Twitter, Tiktok, Pinterest, dan sebagainya, Barat berusaha memasukkan konten-konten yang bermuatan nilai-nilai Barat ke dalam benak-benak kaum muslimin, seperti sekularisme, demokrasi, kapitalisme, liberalisme, HAM, feminisme, dan pluralisme menjadii kepemimpinan berpikir bagi umat Islam. Oleh karena itu, wajar jika media sosial dianggap sebagai alat penjajahan pemikiran yang paling efektif ala Barat.

Seperti halnya senjata yang bisa menyasar target dengan tepat, media sosial pun bisa melakukan hal serupa dengan memanfaatkan teknologi big data dan artificial intelligene (AI). AI atau kecerdasan buatan mampu mengumpulkan banyak data dari para pengguna media sosial, termasuk lokasi dimana pengguna media sosial berada bahkan sampai perilaku mereka. AI pun dapat mengetahui hal-hal yang disukai pengguna, preferensi politiknya, pandangannya terhadap isu-isu SARA, dan sebagainya. Data-data semacam inilah yang nantinya akan dimanfaatkan oleh Barat untuk “mencekoki” kaum muslimin dengan konten-konten yang sesuai dengan keinginan Barat sehingga kaum muslimin akan mengikuti pemikiran, opini, dan gaya hidup Barat. Dan memalingkan kaum muslimin dari agenda utama mereka, yaitu menerapkan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Keberadaan Google, Facebook, YouTube, Apple, dan perusahaan-perusahaan teknologi papan atas lainnya tentunya tidak lepas dari dukungan pemerintah Amerika Serikat (AS). Dukungan kelembagaan dan pendanaan dari pemerintah sangat besar bagi perusahaan-perusahaan teknologi kelas dunia yang berada di kawasan Sillicon Valley, California Utara ini. Melalui Silicon Valley, AS berambisi untuk menguasai dunia. Dikombinasikan dengan universitas-universitas yang mengabdikan diri pada pengembangan sains dan teknologi, pemerintah AS mendukung pembangunan lembaga-lembaga penelitian yang diisi oleh sumber daya manusia yang cerdas untuk menyokong ambisi ini. Kebijakan pemotongan pajak dan iklim politik yang mendukung kewirausahaan memberikan kesempatan bagi para pengusaha muda untuk mewujudkan ide-ide brilian mereka menjadi kenyataan. Mark Zuckerberg yang awalnya coba-coba kemudian berhasil menciptakan Facebook dari kamar asramanya yang sempit, kini menjadi salah satu orang terkaya di dunia dengan kekayaan bersihnya mencapai USD78 miliar atau setara dengan Rp1.118 triliun.

Perusahaan media sosial senantiasa berlomba-lomba untuk memperbanyak dan mempertahankan jumlah pengguna media sosial mereka. Salah satu yang biasa dilakukan untuk menjaga hal tersebut adalah dengan mempolarisasi fanatisme pengguna mereka. Polarisasi fanatisme merupakan tindakan menggolongkan orang-orang yang memiliki kepercayaan akan suatu hal yang sangat kuat menjadi satu. Dampak yang diakibatkannya bisa membuat seseorang menjadi kecanduan media sosial. Contohnya adalah fanatisme dan kecanduan para fans K-Pop.

Bahaya lain yang timbul dari polarisasi adalah pembentukan karakter atau kepribadian pengguna media sosial, terutama di kalangan pemuda, yang sejalan dengan target ideologi kapitalisme. Fanatisme dan cyber bullying di media sosial mampu membentuk sifat pemarah, tidak empati, dan pembenci yang berdasarkan hawa nafsu. Demi meraih popularitas dibuatlah konten-konten menarik agar viral meskipun recehan atau terlihat bodoh atau membahayakan diri sendiri.

Sosial Media memuat beragam benda, peristiwa, dan kebahagiaan tampak saling bersaing. Maka, muncullah Sindrom Fear of Missing Out (FOMO). FOMO adalah perasaan cemas atau takut yang timbul di dalam diri seseorang mengacu pada persepsi bahwa orang lain lebih bersenang-senang dan menjalani kehidupan yang lebih baik daripada dirinya. Akibatnya, bisa menimbulkan rasa iri yang mendalam, depresi, bahkan kepercayaan diri ikut terpengaruh dengan membanding-bandingkan kehidupan yang terlihat di media sosial sehingga muncul rasa insecure. FOMO juga memunculkan sikap obsesif dan konsumtif, dengan menciptakan citra dan selalu tampil sempurna di media sosial.

Jelaslah bahwa karakter atau kepribadian yang ditimbulkan dari polarisasi media sosial adalah karakter-karakter yang bermental dijajah dan dikuasai, serta diarahkan untuk menjadi massa yang mudah diarahkan, tunduk manut sesuai kemauan para globalis-kapitalis. Bukan sosok-sosok dengan kepribadian Islami yang tangguh yang mencurahkan dirinya hanya untuk menegakkan kalimat tauhid di bumi Allah ini dengan tegaknya Khilafah Islamiyah.

Musuh-musuh Islam tidak akan pernah membiarkan Islam dan kaum muslim bangkit. Mereka akan berusaha sekuat tenaga merintangi tegaknya Khilafah Islamiyah dengan berbagai uslub dan wasilah, termasuk dengan menggunakan media sosial untuk mempropagandakan ideologi kapitalisme dan opini-opini yang menyesatkan umat Islam agar mereka jauh dari agamanya dan jauh dari agenda utama mereka, yakni menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyah.

Wallaahu a’lam bishshawwab.[]

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *