Pekerja Migran Minim Perlindungan, Keselamatan Terancam?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pekerja Migran Minim Perlindungan, Keselamatan Terancam?

 

Oleh Ummu Faiha Hasna (Kontributor Suara Inqilabi)

 

Terhitung 5 bulan sejak tanggal 13 Juli 2022, negara Indonesia memutuskan untuk menghentikan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia. Namun di sisi lain, negara juga membuka kembali keran pengiriman tujuan Arab Saudi. Akankah hak – hak pekerja di luar negeri terlindungi?

Dikutip dari bbc.com, 14 Desember 2022, Pemerintah Indonesia berencana membuka kembali keran pengiriman TKI informal ke Arab Saudi, setelah dihentikan 11 tahun silam, dengan sistem baru berupa badan hukum atau syarikah yang diklaim dapat melindungi hak-hak pekerja migran. Pekerja migran adalah seseorang yang bermigrasi dari suatu negara ke negara lain dengan tujuan bekerja dan menerima upah di luar negeri.

Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Kementerian Ketenagakerjaan, Rendra Setiawan, mengatakan keputusan pemerintah mengirim lagi asisten rumah tangga ke Arab Saudi dilandasi karena “masih banyaknya peminat yang ingin kerja ke Arab Saudi”.

Hanya saja, pihak peduli buruh migran meminta pemerintah menunda kebijakan itu sampai alur perekrutan dibenahi demi menghindari terulangnya kasus kekerasan yang dialami banyak pekerja migran pada tahun 2011 silam.

Pembenahan itu mulai dari informasi lowongan pekerjaan yang masih didominasi calo hingga pelatihan keterampilan kerja oleh pemerintah pusat maupun pemda.

Pendapat organisasi peduli buruh migran sejalan dengan data terlapor di komisi nasional HAM atau komnas HAM terkait Pekerja Migran Indonesia ( PMI). Dalam rentang waktu dua tahun, dari 2020 hingga 2022 Komnas HAM menerima 257 aduan terkait PMI.(republika.co.id, 18 /12/2022)

Diantara kasus yang diadukan antara lain terkait pemenuhan hak-hak pekerja migran (gaji tidak dibayar, klaim asuransi, dan lain-lain); permohonan pemulangan pekerja migran (hilang kontak, kesulitan pemulangan jenazah, dugaan penyanderaan oleh pihak majikan/P3MI), kriminalisasi, korban perkosaan yang berhadapan dengan hukum, penahanan di negara tujuan.

Bekerja merupakan hak asasi manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dijamin penegakkannya. Dalam hal ini, Bekerja sebagai buruh migran memang menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat saat ini. Faktor ekonomi dan tidak adanya jaminan kesejahteraan di negaranya sendiri adalah faktor utama para buruh migran nekat mengadu nasib di negeri lain. Tekad itu juga distimulus oleh iming – iming gaji tinggi dan kesejahteraan yang diberikan oleh agen – agen Tenaga Kerja Indonesia. Contohnya, walaupun hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, upah buruh di luar negeri lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri. Wajar, jika banyak orang tergiur menjadi buruh migran. Meski pekerjaan tersebut ada resiko yang harus ditanggung berupa jauh dari keluarga, hidup di negeri asing yang berbeda budaya, serta tidak adanya jaminan perlindungan hukum di negeri luar. Selain bermanfaat secara individu karena bisa menaikkan taraf ekonomi mereka, Pekerja Migran Indonesia juga memberi dampak pada ekonomi nasional dengan adanya remitensi yang turut menyumbang devisa negara.

Kementerian Ketenagakerjaan mencatat berdasarkan data pada 2021 Pekerja Migran Indonesia menyumbang devisa sebesar 9,16 miliar US$ dolar atau setara dengan 133,95 triliun rupiah. Maka, wajar, sekalipun banyak kasus yang menimpa buruh migran pengiriman dan penerimaan buruh migran tidak serius diberhentikan. Seringnya kasus – kasus tersebut diselesaikan dengan MoU antara negara pengirim dan penerima buruh migran.

Hal ini semakin membuka mata bahwa masyarakat dipimpin penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme. Orientasi kekuasaan sistem ini hanya tertuju pada keuntungan materi semata. Akibatnya, penguasa tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya untuk menjamin kesejahteraan umat dan melindungi keselamatan warga negaranya. Yang ada, penguasa saat ini lebih fokus pada remitensi PMI dibanding mengupayakan lapangan pekerjaan untuk masyarakatnya.

Akan berbeda dengan penguasa yang menerapkan sistem Khilafah. Kepemimpinan dalam sistem ini akan membuat penguasa mengurus rakyatnya secara optimal dan memberi layanan dengan kualitas terbaik.

Rasulullah Shallalllahu alaihi wasallam bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah ra’ain dan ia adalah pengurus rakyat. Dan bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya. (HR al Bukhari)

Sistem Pemerintahan Islam akan menerapkan dua kebijakan untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan partisipasi kerja dan produksi, sehingga warga negaranya tidak perlu nekat mengadu nasib menjadi pekerja migran. Kebijakan tersebut antara lain: Sistem dalam Islam akan membangun iklim usaha yang kondusif sehingga akan membuka kesempatan bekerja untuk semua warga. Mekanismenya adalah negara menata ulang hukum – hukum terkait kepemilikan, pengelolaan, maupun pengembangan kepemilikan dan distribusi harta di masyarakat. Selain itu, mekanisme pasar akan dijamin sesuai syariah. Negara yang bermindset Islam akan menghilangkan berbagai distorsi yang menghambat seperti penimbunan, kanzulmal, riba, monopoli dan penipuan. Semetara, terkait informasi dan pasar negara Khil4f4h akan menyediakannya dan membuka aksesnya untuk semua orang. Sehingga tidak ada pelaku pasar yang mengambil keuntungan secara tidak benar. Selain itu, sistem birokrasi dan administrasi akan dikembangkan oleh negara secara sederhana, dalam aturan cepat dalam pelayanan dan profesional. Berbagai pungutan retribusi, cukai, pajak yang bersifat tetap dan sektor ekonomi non ril akan dihilangkan oleh Khilafah. Alhasil, produksi barang dan jasa di sektor ekonomi riil akan meningkat.

 

Kedua, sistem pemerintahan Islam akan memberi subsidi tunai tanpa konpensasi bagi yang tidak mampu dari dana Baetulmal. Subsidi ini akan diberikan dalam jumlah yang cukup besar selama setahun. Pemberian ini akan dihitung agar tidak habis untuk dikonsumsi saja. Namun, cukup besar untuk memulai bisnis.

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pernah memberikan subsidi 400 dirham sekitar 13 juta rupiah. Saat itu harga baju yang paling mahal pada masanya sebesar 19 dirham (600 ribuan rupiah) dan baju biasa seharga 4 dirham yang kini sekitar 130 ribuan rupiah. Selain itu, masih ada mekanisme lain yaitu pada jalur Kharaj, zakat, pengelolaan sumber daya alam secara mandiri maupun pembangunan. Pemerintahan dalam Islam, yakni Khil4f4h tidak merekomendasikan pengiriman tenaga kerja kasar keluar negeri apalagi tenaga kerja kerja perempuan.

Alhasil, negara yang menerapkan aturan Islam secara keseluruhan sejatinya menjamin keterbukaannya lapangan pekerjaan dalam negeri. Hingga, tidak ada satupun laki – laki yang tidak mendapatkan pekerjaan. Dan warga Khil4f4h tidak perlu menjadi buruh migran yang mengancam keselamatan mereka. Karena Islam menjamin kesejahteraan warganya.

Wallahu a’lam bish showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *