Oleh: Ade Noer Syahfitri
“Selama 57 tahun kami telah memperjuangkan hak kami untuk menentukan nasib sendiri, hak kami untuk menentukan nasib kami sendiri,” ujar Benny
Sejak 19 Agustus 2019 beberapa kota di provinsi Papua dan Papua Barat, Indonesia, melakukan aksi protes yang sebagian diikuti kerusuhan. Aksi unjuk rasa tersebut merupakan respon rakyat Papua atas penangkapan sejumlah mahasiswa asal Papua oleh aparat kepolisian dan tentara di beberapa tempat di Jawa Timur pada tanggal 17 Agustus 2019.
Ucapan rasis yang dilontarkan kepada rakyat Papua terus menjadi semburan api yang berkepanjangan hingga akhirnya tuntutan untuk memisahkan diri dari Indonesia pun diserukan. Sebelumnya kita ketahui bagaimana puluhan mahasiswa Papua dengan berani mengibarkan Bendera Bintang Kejora di depan Istana. Dengan suara lantang mereka terus gaungkan tentang referendum Papua. Sebagaimana yang dilakukan oleh Benny Wenda Ketua Gerakan United Liberation Movement For West Papua yang mendesak Presiden Joko Widodo dan Menteri Politik, Hukum, Keamanan Wiranto mengadakan referendum untuk Papua Barat. Sikap itu dianggap sebagai upaya meredakan konflik yang saat ini tengah berlangsung.(http://nasional.tempo.co)
Papua membara meminta merdeka dari Indonesia adalah bukan yang pertama dan entah kapan berakhir padam selamanya. Pembangunan infrastruktur yang dibanggakan pemerintah nampaknya sama sekali tidak berpengaruh atau bahkan salah sasaran. Gelontoran uang dalam otonomi khusus yang diberikan pun tidak berhasil membuat perubahan ekonomi dan kesejahteraan pada rakyat Papua.
Melihat Lebih Jauh Tuntutan Referendum di Papua
“Timor Leste sudah mencontohkan kepada kita bahwa merdeka tidak menjamin kesejahteraan seperti yang dibayangkan sebelumnya,” kata Markus Koordinator Aksi Pergerakan Mahasiswa Pemersatu Bangsa (jpnn.com)
Apa yang terjadi di Papua hari ini seolah membangkitkan kembali ingatan kita tentang wilayah yang dulu pernah menjadi bagian dari Indonesia, yakni Timor-Timur. Setelah bersama 22 tahun Timor-Timur menjadi bagian dari NKRI melalui UU Nomor 7 Tahun 1976, tertanggal 17 Juli 1976. Status hukumnya juga diperkuat melalui Ketetapan MPR No VI/MPR/1978, namun masyarakat internasional tetap tidak mengakui Timor-Timur sebagai bagian dari NKRI.
Hingga akhirnya PBB pun campur tangan dalam hal ini, bersama tokoh kemerdekaan Timor-Timur menawarkan referendum sebagai solusinya. Di sisi lain Indonesia masih konsisten mempertahankan Timor-Timur dan menawarkan otonomi khusus yang diperluas. Namun nampaknya tawaran Indonesia tentang otonomi khusus tetap tidak membendung teriakan-teriakan menagih referendum. Hingga akhirnya Timor-Timur pun lepas pada tahun 1999 melalui jalan referendum yang sekarang dikenal dengan nama Timor Leste.
Sayangnya setelah 20 tahun referendum tak menjadikan kondisi Timor Leste menjadi lebih baik, masih banyak warga Timor Lesteyang tinggal di camp-camp pengungsian dengan nasib tidak jelas. Dari sisi ekonomi Timor Leste dikelompokkan sebagai ekonomi berpendapatan rendah oleh Bank Dunia. Tak hanya itu Timor Leste menempati peringkat ke-158 dalam Indeks Pembangunan Manusia, peringkat rendah dalam indeks tersebut, 20% penduduknya pengangguran, dan 52,9% penduduknya hidup kurang dari US$1,25 per hari, sekitar separuh penduduk Timor Leste buta huruf. (http://www.wikipedia.com)
Selain itu fakta yang tidak bisa dinafikan lagi bahwa tatkala Timor Leste memisahkan diri menjadi negara mandiri justru menjadi sasaran empuk bagi barat untuk menggerogoti kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Timor Leste. Maka mungkin apa yang terjadi di Papua lebih dari persoalan rasial ataupun sekedar keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan, yakni adanya kepentingan asing untuk menguasai bumi Papua.
Sistem Demokrasi yang diberikan barat kepada Indonesia bagai bom waktu yang siap meledak kapan saja. Referendum dan isu HAM yang menjadi bagian dari demokrasi itu sendiri adalah mantra sihir yang siap memecah suatu negeri. Bayangkan jika setiap wilayah di Indonesia menuntut hak untuk menentukan nasib sendiri, menuntut untuk merdeka, maka bisa jadi jajaran pulau-pulau yang dibanggakan akan berdiri menjadi negara-negara kecil yang lemah dan tak berdaya, sehingga mempermudah barat untuk mengekploitasi sumber daya alam Indonesia.
Hanya Islam yang Serius Menjaga Persatuan
“Akarnya adalah pada rapuhnya integrasi itu sendiri. Ini menunjukkan semua faktor yang selama ini dianggap cukup ampuh untuk mengintegrasikan wilayah Papua ke dalam Indonesia seperti peningkatan kesejahteraan, pemberian otonomi khusus, hingga pendekatan keamanan, termasuk soal nasionalisme ternyata tidaklah cukup memuaskan warga Papua” Ismail Yusanto Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (Media Umat Edisi 249)
Apa yang terjadi di Papua tidak menutup kemungkinan akan menjalar ke berbagai wilayah lainnya, selama ketidakadilan dan ketimpangan sosial antar wilayah masih dilakukan oleh penguasa negeri. Memberlakukan sistem kehidupan yang rusak yakni demokrasi kapitalisme adalah upaya mengubur NKRI itu sendiri. Kita sadari bahwa tidak ada satu pun ikatan yang mempersatukan kita saat ini, Bhinneka tunggal ika yang menjadi semboyan bangsa masih terkalahkan oleh nafsu pengkhianat bangsa. Mereka adalah orang-orang yang konsisten untuk menyebarkan paham kapitalis radikal, sekuler radikal, liberalisme sehingga menjadikan bangsa ini begitu mudah didikte oleh asing penjajah berwajah manis.
Saat ini umat membutuhkan sebuah ikatan yang mengakar dan tertancap kuat, yakni Islam. Bukan hanya umat Islam yang membutuhkan ikatan ini melainkan seluruh umat. Karena hanya Islamlah satu-satunya yang serius dan berdiri tegak menentang segala bentuk ketidakadilan dan menghapus segala bentuk perbedaan. Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam, satu-satunya pemersatu seluruh umat yang telah terbukti selama 13 abad lamanya baik sebagai pemersatu seluruh warganya yang muslim ataupun nonmuslim, warna kulit, ras, suku bangsa, dan segala latar belakang mereka. sebagaimana firman Allah dalam surat Al-anbiya’ ayat 107:
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam (bagi jin dan manusia denganmu-risalah Islam yang dibawa Nabi Muhamad. (Al-anbiya [21]: 107).
Tidak hanya itu integrasi hanya akan kokoh dalam Islam, sebab dalam Islam menjaga keutuhan wilayah adalah suatu kewajiban, maka memisahkan diri haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada hadis: Dari Junadah bin Abi Umayyah ia berkata: aku pernah datang kepada Ubadah bin Shamit ketika ia sedang sakit. Aku berkata: “semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sampaikan kepadaku hadis yang membuat Allah memberi manfaat kepadamu”. Ubadah berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Suatu ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil kami, lalu kami mengucapkan baiat (janji setia) kepada beliau untuk menjalankan segala sesuatu yang diwajibkan, kami berbaiat kepada beliau untuk selalu mendengar dan taat, baik suka ataupun tidak suka, baik sulit ataupun mudah dan tidak mencabut ketaatan dari orang yang wajib untuk ditaati, kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang bisa kalian pertanggungjawabkan buktinya di hadapan Allah” (HR. Al-Bukhari).
Berpikir dan Bergerak untuk Negeri
Sudah banyak solusi yang kita coba untuk mengobati negeri ini namun hasilnya justru menyayat hati. Tidak lelahkah kita tertipu dengan solusi sistem kehidupan saat ini? atau apakah akal kita sudah tertutup oleh doktrin-doktrin penjajah negeri? Satu solusi yang sudah terbukti selama 13 abad, satu solusi yang senantiasa ditawarkan setulus hati oleh orang-orang yang peduli dengan negeri , namun sayangnya dan hingga kini tidak pernah diterapkan justru dimonsterisasi.
Sudahilah kebodohan diri yang acapkali mudah dibohongi oleh sihir para pembenci. Ambillah langkah dengan berani, bergerak selamatkan negeri. Negeri ini tidak butuh teori para kafir haluan kanan ataupun kiri, tapi butuh Islam sebagai satu-satunya solusi hakiki. Wallahu’alam bi shawab. []