Mustahil Membentuk Masyarakat Islami dalam Negara Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Rati Suharjo
(Pegiat Dakwah dan Member AMK)

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَآءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْکُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚ وَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰۤى اَشَدِّ الْعَذَا بِ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَا فِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(QS. al-Baqarah [2]: 85)

Islam datang ke dunia berabad-abad silam. Namun sampai hari ini, banyak kaum muslim yang tidak paham dengan ajaran Islam yang sesungguhnya. Apalagi sampai mengetahui Islam kafah yang harus diterapkan oleh negara. Hal ini jauh dari pikiran kaum muslim. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui ibadah ritual semata, bukan yang lain. Bahkan yang lebih miris lagi, saat ini kaum muslim menerapkan ajaran Islam sesuai keinginannya. Jika cocok dengan pribadinya, maka dikerjakan. Sebaliknya, jika tidak, maka ditinggalkan.

Hal inilah yang saat ini dipertahankan oleh pemerintah dengan sistem sekularisme demokrasi. Akibat dari sistem tersebut, kegagalan pemerintah dalam melindungi rakyatnya pun kian terasa dan terlihat oleh mata. Yaitu, semakin banyaknya kemiskinan dan pengangguran. Apalagi  saat masyarakat bertahan hidup selama pandemi. Pemerintah justru mendukung UU cipta kerja. Yang notabene UU tersebut menyengsarakan rakyat, bukan menyejahterakan. Seolah-olah saat ini pemerintah mati rasa atas jeritan rakyat sendiri. Penguasa justru lebih asyik bercengkerama dengan para kapitalis. Untuk mengatasi korupsi uang rakyat pun, sampai hari ini belum kelihatan hasilnya. Justru kasus korupsi semakin tumbuh subur. Inilah demokrasi yang aturannya menjauhkan manusia dari aturan Allah Swt. Akibatnya, menjauhkan manusia dari menjadikan aturan Allah sebagai konstitusi negara.

Kebobrokan demi kebobrokan terus terjadi. Bukan hanya di satu segi, tapi pada semua segi mengalami masalah. Namun, lagi-lagi mereka gagal paham. Khilafah yang seharusnya menjadi solusi, justru dipermasalahkan, seolah-olah khilafah akan mengancam NKRI. Para pejuangnya tak sedikit yang dikriminalisasi. Perjuangannya pun dicurigai, bahkan dianggap ideologi terlarang. Mengapa semua ini terjadi? Sebab, mereka tidak memikirkan penderitaan rakyat. Sebab, mereka lebih mementingkan diri sendiri. Karena itu, sistem khilafah terus digambarkan seperti moster dan sistem sekularisme dibalut seperti madu. Padahal, sekularisme itu sendiri biang segala kerusakan di negeri ini.

Namun, semua itu sampai hari ini belum mampu membuat mereka paham. Bahwa kerusakan di negeri ini akibat sistem, bukan akibat individu semata. Untuk itu apakah solusinya dengan membentuk masyarakat islami dalam negara demokrasi? Tentu saja, mustahil bukan?

Seperti yang disampaikan oleh Pak Mahfud MD, yang akan membentuk negara islami tapi bukan negara Islam. Negara islami tersebut berlandaskan pada akhlak. Seperti sikap demokratis, toleransi, egaliter dan kejujuran. (sindow.news.com, 27/9/2020)

Tentu hal ini adalah mustahil  terbentuk dalam negara yang menerapkan sistem sekuler. Sebab, pikiran dan perasaan mereka adalah manfaat. Ketika ada kesempatan atau manfaat maka mereka tidak memedulikan halal haram. Sebab, aturan yang diterapkan di negeri ini adalah sistem sekularisme sendiri. Yaitu memisahkan aturan agama dari kehidupan.

Jika dibiarkan, maka kezaliman demi kezaliman terus terjadi. Hal ini berbeda dalam Islam. Untuk membentuk masyarakat islami, dengan cara mengubah aturan, pikiran dan perasaan masyarakat. Sebab, masyarakat tegak berdasarkan aturan, pikiran dan perasaan. Akhlak, seperti jujur, demokratis, toleransi dan yang lain tidak ada bab khusus. Sebab, akhlak merupakan salah satu bagian dari hukum syarak. (Kitab Nizhamul Islam, Syekh Taqiyuddin an Nabhani, bab akhlak)

Oleh karena itu, jujur akan terbentuk jika masyarakat diatur dengan hukum Islam. Seperti pencuri misalnya, dalam Islam hukuman bagi pencuri atau korupsi adalah potong tangan. Dalam Al-Qur’an dijelaskan yaitu:

وَا لسَّا رِقُ وَا لسَّا رِقَةُ فَا قْطَعُوْۤا اَيْدِيَهُمَا جَزَآءً بِۢمَا كَسَبَا نَـكَا لًا مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَا للّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْم

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
(QS. al-Ma’idah [5]: 38)

Sayangnya, hukum di negeri ini berdasarkan pada sistem demokrasi yang sanksinya sangat ringan. Berbeda dengan negara Irlandia, Selandia Baru, bahkan Kanada, Australia dan Amerika Serikat. Walaupun sanksinya tidak sesuai hukum Islam tapi sanksinya kejam hingga hukuman mati.

Dalam Islam ada ta’zir untuk menghukum para koruptor. Hukuman tersebut tujuannya adalah untuk membuat jera bagi sang koruptor. Sebab, dalam Islam, tujuan diberikannya hukuman adalah sebagai zawazir dan jawabir. Yaitu membuat jera kepada sang pelaku dan masyarakat yang lain. Selain itu pelaku juga akan terbebas dari pengadilan Allah Swt. di akhirat kelak. Sehingga dengan adanya hukum yang mengikuti aturan Allah Swt., maka tidak akan muncul koruptor-koruptor yang lain.

Oleh karena itu, dengan adanya hukum ta’zir tersebut akan mewujudkan sikap kejujuran yang merupakan akhlak baik.

Dalam Islam, akhlak termasuk bagian dari hukum syarak. Sebab perbuatan jujur adalah sikap yang diwajibkan oleh Allah Swt. Namun berbeda halnya ketika nonmuslim yang berbuat jujur walaupun sama-sama berbuat jujur, tapi tujuannya berbeda yaitu materi, bukan mengharap rida dari Allah Swt. Oleh karena itu dalam Islam akhlak adalah buah dari penerapan hukum syarak, yaitu mengharap rida dari Allah Swt.

Sedangkan hukum-hukum problem solving dalam Islam mengatur tiga hal. Pertama, Islam mengatur hubungan diri sendiri dengan Allah Swt. Maka orang tersebut melakukan salat, puasa, haji, umrah, zikir dan sedekah.

Kedua, Islam mengatur hubungan dengan dirinya pribadi. Maka orang tersebut selalu memikirkan makan, minum, pakaian yang islami.

Ketiga, Islam mengatur hubungan dirinya sendiri dengan orang lain. Di antaranya adalah ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Oleh karena itu, aturan inilah yang akan membentuk masyarakat islami. Masyarakat islami atau negara islami hanya akan terwujud jika negara menerapkan hukum Islam secara kafah.
Sebab, dalam khilafah landasan yang diterapkan adalah hukum syarak, bukan hukum manusia. Seperti halal, haram, mubah, makruh dan sunah.

Ketika masyarakatnya diatur dengan hukum syarak maka sanksi hudud, qishas, rajam, cambuk, jinayat, dan ta’zir akan ditegakkan oleh khalifah. Oleh karena itu dengan keterikatan terhadap hukum syarak tersebut, maka akhlak yang dimaksud oleh Pak Mahfud MD tadi akan terwujud. Sebab akhlak adalah buah dari keterikakatan seseorang terhadap hukum syarak, bukan yang lain.

Oleh sebab itu, untuk membentuk negara islami adalah harus membentuk sebuah negara Islam. Yaitu khilafah ala minhajin nubuwah. Bukan membentuk negara islami dalam bingkai demokrasi.

Wallaahu a’lam bishshawaab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *