Minyak Curah Dilarang, Rakyat Kecil Meradang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Khamsiyatil Fajriyah

Tanggal 7 Oktober lalu, menteri perdagangan Enggartiasto Lukita mengumumkan akan melarang peredaran minyak curah di pasaran mulai Januari tahun 2020. Masyarakat pun meradang, karena bagi mereka minyak curah adalah alternatif juga solusi mendapatkan minyak lebih murah di tengah mahalnya harga bahan makanan yang lain.

Setelah diprotes oleh masyarakat, Enggar pun berkilah bahwa bukan pelarangan yang dimaksud. Tetapi per tanggal 1 Januari (2020) harus ada minyak goreng kemasan di setiap warung, juga sampai ke pelosok-pelosok desa. Enggar beralasan bahwa minyak goreng curah tidak terjamin higienitas dan kehalalannya. Dalam perjalanan rantai distribusinya dengan wadah terbuka, minyak curah rentan terkontaminasi air serta binatang. Menurutnya pula, minyak curah rentan dicampur minyak jelantah oleh pedagang nakal, di samping tidak memiliki gizi seperti minyak goreng kemasan. Harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak eceran sudah ditentukan oleh pemerintah, yaitu sebesar Rp11.000/liter.

Apapun alasannya, keputusan Menteri Perdagangan semakin menambah kesulitan di tengah-tengah masyarakat. Kebijakan ini sama sekali tidak mempedulikan bagaimana masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhannya. Sebutlah kenaikan tarif listrik, pajak, dan kenaikan harga bahan pangan. Itu semua hasil dari kebijakan pemerintah yang tidak bijak.

Bila pemerintah memang berniat tulus menyediakan minyak goreng berkualitas, meniadakan minyak curah yang murah meriah dan terjangkau oleh masyarakat bukanlah solusi. Seharusnya pemerintah memiliki perangkat pengawasan dan kontrol kelayakan produk bagi konsumen. Dimulai dari edukasi secara sistemik bagaimana seseorang harusnya memiliki kesadaran pribadi untuk memproduksi dan menjual barang yang baik dan halal. Adanya kejujuran, tanpa ada unsur penipuan, bukan semata-mata karena pengawasan pemerintah tetapi karena dorongan ketakutannya kepada Sang Pencipta. Jadi bukan hanya dengan mekanisme pendaftaran produk dan uji kualitasnya yang menghabiskan banyak biaya.

Penetapan harga juga bukan langkah yang tepat, karena penetapan  harga akan menimbulkan masalah baru, tidak sesuai dengan mekanisme pasar dan akan merugikan salah satu pihak. Yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kepastian ketersediaan barang di sisi mereka dan kemampuan untuk memenuhinya. Tapi semua itu mustahil dilakukan di sistem ekonomi kapitalis.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, masyarakat dibina hanya memiliki orientasi materi, memproduksi barang kemudian menjualnya hanya berhitung untung dan ruginya. Tidak ada halal dan haramnya, apalagi pahala dan dosa. Sistem ekonomi kapitalis juga hanya berpihak kepada kapitalis, para pengusaha atau pedagang besar. Maka produsen kecil akan berada dalam kondisi hidup segan matipun tak mau, bersaing dengan pengusaha besar yang didukung sepenuhnya oleh negara.

Bila melihat bagaimana Islam mengatur ketersediaan barang berkualitas sebagai kebutuhan masyarakat, kita akan melihat kesempurnaannya. Secara konsep, Islam telah melarang penipuan yang keji pada aktifitas perdagangan, termasuk memproduksi barang dan menjualnya kepada konsumen. Dan yang boleh diproduksi untuk kepentingan masyarakat luas adalah barang yang halal dan thoyib. Dan sebagai pengatur urusan umatnya, pemerintahan Islam memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya, baik secara langsung atau tidak langsung.

Tidak berhenti di konsep, Islam juga memiliki mekanisme menjaga kualitas barang hingga ke tangan konsumen. Ada qodhi hisbah yang bertugas mengontrol aktifitas perdagangan di tengah-tengah masyarakat, dibantu oleh syurthoh (polisi), memastikan tidak terjadi penipuan dalam semua transaksi. Khalifah Umar bin Khattab Ra. sebagai seorang kepala negara sudah mempraktekkannya dengan mengangkat seorang qodhi hisbah bernama Syifa’ untuk berpatroli di pasar Madinah. Beliau sendiri juga ikut mengawasi produksi pangan oleh produsennya.

Kita pernah mendengar kisah Mahsyur tentang seorang penjual susu yang ingin mencampur susunya dengan air, tetapi urung karena teguran sang anak gadis karena ketakwaannya kepada Allah SWT. Dan Khalifah Umar mendengar percakapan kedua ibu dan anak ini di tengah patroli beliau di malam hari. Semua itu ditegakkan bukan karena kepentingan personal ataupun pengusaha besar, tetapi karena ketaatan kepada Allah dan Rasulullah. Wallahu alam. []

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *