Menilik Kasus Bullying dari Segi Hukum, Pencegahan dan Solusi Kasus
Aisah Oscar
Kontributor suara inqilabi
Maraknya kasus bullying saat ini membuat resah baik bagi orang tua dan sekolah. Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemangku kebijakan dibidang pendidikan untuk mencegah agar budaya bullying lenyap. Bullying atau perundungan didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dimaksudkan untuk menyakiti korban, baik secara fisik (misalkan, dengan memukul atau menendang), secara psikologis (misalkan, melalui ancaman ataupun memanggil dengan julukan yang buruk), maupun secara sosial (misalkan dengan mengucilkan atau mengabaikan korban), yang dilakukan secara sengaja, berulang, dan menunjukkan adanya perbedaan kekuatan antara pelaku dan korban.
Lembaga dunia untuk anak-anak UNESCO pada bulan Oktober 2018 berdasarkan Global school-based Student Health Survey (GSHS) merilis data dari 144 negara tentang 16,1 persen anak-anak pernah menjadi korban perundungan secara fisik. Bahkan Indonesia menempati tingkat perundungan tertinggi di antara negara-negara Asia lainnya. Selanjutnya, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dan Unicef (2017) memaparkan hasil survei yang dilakukan pada tahun 2015 oleh The Global School-Based Health Survey yang menunjukkan bahwa 32 persen siswa-siswi usia 13 sampai 17 tahun di Indonesia telah mengalami kekerasan fisik dan 20 persen siswa-siswi menjadi korban perundungan di sekolah. Kemudian data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada periode 2011-2017 menerima 26.000 kasus perlindungan anak, di mana 34 persen dari kasus tersebut adalah kasus perundungan. Lalu, pada tahun 2018, KPAI menerima 161 laporan kasus perlindungan anak, di mana 36 kasus (22.4 persen) adalah kasus korban perundungan dan 41 kasus (25.5 persen) adalah kasus pelaku perundungan.
Dalam skala nasional lembaga Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti tingginya kasus kekerasan di sekolah. JPPI mencatat ada 293 kasus kekerasan di sekolah sepanjang tahun 2024 hingga bulan September. Jenis kekerasan ini didominasi oleh kekerasan seksual, jumlahnya mencapai 42 persen. Kemudian disusul oleh perundungan 31 persen, kekerasan fisik 10 persen, kekerasan psikis 11 persen, dan kebijakan yang mengandung kekerasan 6 persen. Sedangkan jumlah kasus di tahun 2023 hanya 285 kasus.
Kasus bullying kakak kelas terhadap adik kelas telah terjadi. Kali ini, siswa kelas 3 SDN Jayamukti di Blanakan, Subang, Jawa Barat berakhir tragis. korban penganiayaan ini meninggal dunia setelah menjalani perawatan intensif di ICU RSUD Subang selama tiga hari, Senin (25/11/2024) pukul 16.10 (tribunjabat.id, 26/11/2024)
Hukuman Pelaku Bullying di Bawah Umur
Mengingat diasumsikan bahwa pelaku juga masih berusia anak atau di bawah umur, maka perlu diperhatikan UU SPPA yang wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.[Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”)]
Pelaku anak yang melakukan bullying tersebut merupakan anak yang berkonflik dengan hukum yaitu anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.[Pasal 1 angka 3 UU SPPA]
Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi dalam hal tindak pidana diancam pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan pengulangan tindak pidana.[Pasal 7 UU SPPA]
Jika pelaku anak belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan seperti:[Pasal 69 ayat (2) jo. Pasal 82 ayat (1) UU SPPA]
(1)Pengembalian kepada orang tua/wali; (2) Penyerahan kepada seseorang; (3) Perawatan di rumah sakit jiwa; (4) Perawatan di LPKS; (5) Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta; (6) Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau (7) Perbaikan akibat tindak pidana.
Sementara itu, jenis pidana pokok bagi anak terdiri atas:[Pasal 71 ayat (1) UU SPPA]; (1) Pidana peringatan; (2) Pidana dengan syarat: (3) Pembinaan di luar lembaga; (4) Pelayanan masyarakat; atau (5) Pengawasan. (6) Pelatihan kerja; (7) Pembinaan dalam lembaga; dan (8) Penjara.
Kemudian jenis pidana tambahan terdiri atas perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban adat.[Pasal 71 ayat (2) UU SPPA]
Patut dicatat, anak dijatuhi pidana penjara di LPKA apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, yakni paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.[Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU SPPA]
Langkah yang Bisa Ditempuh
Selain melaporkan tindakan bullying ke polisi, sebagai informasi tambahan, jika masyarakat melihat, mendengar, atau mengalami tindak kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, dapat melaporkannya melalui hotline SAPA129 melalui telepon 129 atau WhatsApp 08111-129-129 yang dikelola oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dan Jika bullying terjadi di lingkungan sekolah, Anda dapat melakukan pengaduan ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Dasar Hukum, (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan kedua kali diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016; (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
(https://www.hukumonline.com/klinik/a/jerat-pasal-bullying-di-sekolah-lt550264153eb3a/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=bullying_sekolah)
Menurut Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu’ti, Solusi dari permasalahan ini pemerintah berencana akan menambah jumlah guru bimbingan konseling (BK) di sekolah. Selanjutnya, akan ada pula pelatihan guru yang berkaitan dengan value education atau pendidikan nilai. Pelatihan ini pun tidak hanya ditujukan untuk guru BK tapi semua guru mata pelajaran. Sehingga harapan kedepan nantinya siswa bisa belajar nilai-nilai yang baik dari guru di semua bidang studi. Karena pendidikan itu tidak sekedar bagaimana mengajarkan dan mentransformasikan ilmu tetapi juga memang berkaitan dengan pemenuhan nilai atau muatan nilai dalam setiap bidang studi. (kemenpppa.go.id, 27/11/2024)
Memahami Perkara Bullying
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dengan serius oleh orang tua tentang bullying ini. Pertama, bullying bisa terjadi di mana saja; lingkungan rumah, termasuk lingkungan bermain, sekolah, pondok pesantren, dan dunia maya. Orang tua secara polos sering berpikir bahwa pondok pesantren steril dari bullying. Dengan lingkungan agamis atau islami, rasanya mustahil terjadi bullying. Faktanya, tidak ada lingkungan yang aman dari bullying, sekalipun itu di pondok pesantren. Hal lain yang orang tua dan guru juga kurang paham, bullying juga terjadi di dunia maya, di media sosial, yang disebut cyberbullying. Pelakunya malah lebih luas dan bisa lebih kasar. Meski hanya kata-kata, tetapi bisa membuat mental anak down, bahkan putus asa.
Kedua, banyak orang dewasa, termasuk guru, menganggap kata-kata itu tidak terlalu menyakitkan. Padahal, para psikolog sepakat apabila “words can be hurtful”. Sebutan “Kamu jelek.”, “Gitu aja bangga”, atau kata-kata yang meremehkan prestasi dan karya seorang anak, bisa berdampak pada psikologis korban. Apalagi bullying ini berjalan secara sistematis dan kontinu. Anak yang menjadi korban bullying lewat kata-kata secara terus-menerus bagaikan tebing yang dikikis air ombak, lama-lama ambruk. Mental manusia, apalagi anak-anak, punya daya tahan tertentu, terutama apabila orang di sekitarnya (seperti orang tua atau guru) tidak cukup membantu. Dalam kondisi puncak, sedikit saja kata-kata atau sikap yang menyayat perasaannya akan membuat ia ambruk.
Ketiga, bullying itu terbilang sulit dideteksi oleh orang dewasa atau sekolah karena biasanya mereka melakukannya secara tersembunyi dan halus. Mereka tahu kapan bisa leluasa merundung korban dan kapan menutup rapat-rapat perbuatan mereka. Selain itu, para pelaku bullying biasanya akan denial (menyangkal) perbuatan mereka disebut bullying. Mereka biasanya akan berdalih kalau ucapan mereka bukan hinaan, hanya main-main atau teguran; sebetulnya tepatnya adalah sindiran, lalu bisa balik menyalahkan korban yang dianggap baperan. Sering kali pelaku bullying itu anak-anak yang kelihatan baik dan berprestasi, bukan anak bermasalah. Itu karena mereka lihai menutupi bullying di depan orang tua atau guru-guru.
Keempat, ada dua model pelaku bullying, yakni mereka yang pernah jadi korban bullying sebelumnya lalu mencari pelampiasan. Ini perlu penanganan serius. Berikutnya adalah siswa-siswa yang merasa terganggu dengan sikap korban, misalnya karena kalah persaingan atau korban dianggap lancang karena mengganggu komunitas mereka—organisasi olahraga, OSIS, dan lain-lain—sehingga mereka takut kalah pengaruh, lalu secara bersama melakukan bullying agar korban jera.
Kelima, jenis bullying. Ada tiga bentuk bullying, yakni (1) Verbal dengan kata-kata, seperti mencemooh atau meremehkan kemampuan atau fisik korban, termasuk dalam hal ini melaporkan korban berkali-kali ke sekolah agar korban mendapatkan sanksi; (2) Secara fisik, seperti memukul, melempari kotoran, merobek buku, mempermalukan korban di depan kawan-kawan; (3) Relasional, memutuskan pertemanan dan mengucilkan korban. Biasanya pelaku bullying akan menghasut kawan-kawannya untuk menjauhi korban atau memusuhi orang yang berkawan dengan korban, tujuannya agar mereka akhirnya menjauhi korban. Dalam kasus lain yang termasuk bullying relasional adalah memberikan perlakuan beda pada korban. Misalnya, tidak mengundang korban ke acara salah seorang anggota circle pelaku atau ketika korban melanggar peraturan kelas atau komunitas, ia mendapat hukuman lebih berat daripada kawan-kawan yang masuk dalam circle pelaku bullying.
Keenam, kenapa guru dan orang tua sulit mendeteksi bullying? Di antaranya karena orang dewasa menganggap hal itu sebagai kenakalan biasa anak-anak. Sekarang bermusuhan, besok juga baikan. Penting bagi orang tua membedakan antara konflik insidental dan bullying yang berjalan sistematis. Oleh karenanya, orang tua dan guru perlu menelusuri perilaku anak-anak di sekolah, wajar atau tidak. Paling mudah adalah mengenali korban ketimbang pelaku yang sering lihai menutupi bullying. Kondisi korban justru paling kelihatan jelas. Apabila ada anak yang prestasinya merosot, tidak betah di kelas, duduk di bangku belakang terus-menerus, ekspresi wajahnya tidak semangat, menyendiri, sering tidak bersama kawan-kawannya, itu sebagian tanda-tanda ia adalah korban bullying.
Ketujuh, solusi yang diberikan orang dewasa, termasuk sekolah, sering kali kurang tepat, yakni dengan cara menangani korban dan menghukum pelaku. Bahkan, dalam beberapa kasus, yang dihukum adalah korban karena ketika ia sedang marah akibat bullying, ia tertangkap basah oleh sekolah. Ya wajarlah, karena anak yang sedang emosi lebih ekspresif ketimbang pelaku yang cukup bersikap sinis atau kata-kata sindiran sudah bisa melukai hati korban. Itu tidak tampak oleh orang dewasa atau sekolah.
Hukum Nasional vs Hukum Syariat
Hukum nasional umumnya berfokus pada pemberian sanksi setelah tindakan kekerasan terjadi, tetapi kurang memperhatikan pembentukan karakter moral masyarakat sejak dini. Hal ini karena hukum yang dibuat oleh manusia bersifat terbatas, sering berubah-ubah, dan rentan terhadap kesalahan atau kepentingan pribadi sehingga tidak bisa menyelesaikan masalah kekerasan, seperti bullying secara tuntas.
Sebaliknya, hukum syariat bersumber dari wahyu Allah Taala, yaitu Al-Qur’an dan Sunah. Prinsip hukum syariat adalah ketundukan penuh kepada perintah Allah. Hukum syariat mencakup seluruh aspek kehidupan, baik dari pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya sehingga kehidupan bernegara dan bermasyarakat harus selalu terikat pada aturan Allah. Hukum syariat bertujuan untuk menegakkan ketaatan kepada Allah Taala dan mencapai rida-Nya sehingga lebih efektif dalam menciptakan masyarakat yang harmonis, damai, dan bermoral tinggi.
Hukum syariat tidak hanya memberikan sanksi bagi pelaku kekerasan, tetapi juga menekankan pada pencegahan melalui pendidikan, pembentukan akhlak, dan penanaman nilai-nilai Islam. Hal ini karena Hukum syariat mengedepankan pendekatan yang lebih holistik dengan menciptakan masyarakat yang memiliki nilai moral kuat yang diharapkan dapat mencegah kekerasan sejak awal.
Solusi Islam Kasus Bullying
Berikut ini metode sistematis yang di tawarkan Islam dalam mengatasi persoalan bullying,
Pertama, Penerapan pendidikan berbasis akidah Islam sejak dini. Sistem pendidikan Islam mengutamakan pembentukan pola pikir dan pola sikap berlandaskan akidah Islam yang disebut syahsiah islamiah sehingga diharapkan dapat menjauhi tindakan kekerasan dan lebih menghargai orang lain.
Kedua, Keluarga dan masyarakat memiliki peran penting dalam mendidik dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menumbuhkan sikap antikekerasan. Orang tua, diharapkan memberikan teladan yang baik, mengajarkan anak-anak untuk menghormati orang lain, dan mengawasi perkembangan perilaku mereka. Sedangkan Masyarakat berperan dalam mengawasi dan membimbing anak-anak dan remaja agar tidak terjerumus dalam tindakan negatif. Solidaritas dan kepedulian masyarakat di bawah sistem Islam dianggap mampu menjadi benteng dalam mencegah perilaku agresif.
Ketiga, Sistem hukum yang tegas dan mendidik. Hukum syariat, jelasnya, menyediakan sanksi yang tegas, tetapi mendidik bagi pelaku kekerasan. Selanjutnya, tindakan yang merugikan atau menyakiti orang lain akan mendapatkan konsekuensi yang adil, baik berupa sanksi hukuman maupun proses rehabilitasi. Sanksi dalam syariat tidak hanya bertujuan menghukum, tetapi juga berfungsi sebagai pencegahan (baca: zawajir) dan perbaikan (baca: jawabir) sehingga pelaku dapat menyadari kesalahannya dan tidak mengulanginya.
Keempat, Penguatan iman dan takwa sebagai pencegah internal. Penanaman iman dan takwa merupakan solusi fundamental dalam mencegah segala bentuk kekerasan. Mereka percaya bahwa individu yang memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawabnya kepada Allah Taala akan terdorong untuk menjauhi perbuatan tercela. Dengan membentuk individu yang bertakwa, ia meyakini, akan terbentuk masyarakat yang lebih aman karena setiap individu terdorong untuk berbuat baik dan menghindari menyakiti orang lain.
Kelima, Peran negara dalam mengatur dan mendidik masyarakat. Negara dalam sistem Islam atau Khilafah, ujarnya, memiliki peran sentral membina masyarakat melalui kebijakan yang mendukung ketaatan kepada hukum Allah. Negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan islami, mengawasi interaksi sosial, dan menegakkan sanksi yang sesuai dengan syariat. Negara berperan dalam menyelesaikan konflik atau masalah sosial yang muncul sehingga bullying dan bentuk kekerasan lainnya dapat ditangani secara efektif.
Keenam, Lingkungan sosial yang islami. Ia menekankan, masyarakat islami akan terbentuk dari penerapan syariat secara kafah sehingga menjadi lingkungan yang saling menjaga dan peduli. Masyarakat Islam memiliki ikatan ukhuah atau persaudaraan yang kuat. Dalam lingkungan yang islami ini, perilaku bullying dianggap akan sangat minim karena masyarakat memiliki kontrol sosial yang kuat berdasarkan ajaran Islam.
Dengan penerapan sistem pendidikan Islam yang ditopang oleh seluruh sistem lainnya, maka generasi muda akan terjaga dari berbagai perilaku buruk termasuk bullying. Generasi Islam justru akan fokus pada pengembangan potensi diri karena mereka menyadari tujuan hidup yang sesungguhnya dan dibawah naungan Khilafah, bullying serta segala bentuk kekerasan dapat diminimalisasi, bahkan dihilangkan.
Wallahu ‘alam bish-shawwab