Mengkaji Islam Intensif, Solusi Pembinaan Diri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Yumna

Agama Islam adalah salah satu agama dengan jumlah penganut terbesar di dunia. Dilansir dari World Population Review, Rabu (8/4/20),  ada sekitar 1,9 miliar muslim di dunia, menjadikan Islam agama terbesar kedua di dunia di belakang agama Kristen.  Negara muslim terbesar adalah Indonesia, dengan perkiraan sekitar 229 juta penduduk muslim. Ini adalah 87,2% dari populasi Indonesia 263 juta dan sekitar 13% dari populasi muslim dunia. (m.gomuslim.co.id)

Namun, faktanya hari ini, betapa banyak kaum muslim yang tidak mengamalkan agamanya sendiri. Banyak kaum muslim yang merasa puas ketika sudah mengerjakan shalat lima waktu, zakat, dan shaum pada bulan Ramadhan. Pun ketika sudah berhasil menunaikan ibadah haji, merasa dirinya telah mengamalkan puncak amal tertinggi dalam Islam. Namun di sisi lain, dari segi ekonominya mengambil sistem ribawi. Memiliki kebiasaan membicarakan dan menggunjing saudara dan tetangganya. Berlangganan asuransi dengan harapan dapat “menjamin” jiwanya. Yang muslimah senang untuk menampakkan auratnya, dengan alasan “yang penting hatinya dulu yang dihijab”. Bagi yang remaja, suka pacaran, baik pacaran “sehat” maupun bablas. Padahal kesemuanya itu merupakan bentuk aktivitas yang bertentangan dengan Islam.

Hal ini dikarenakan kaum muslim tersebut tidak mengenal agamanya, yang disebabkan jarangnya mengikuti kajian-kajian Islam. Bahkan ada yang menganggap tidak pentingnya mengkaji Islam. Sebelumnya, perlu diketahui ada perbedaan antara majlis taklim dan pembinaan atau tasqif (Halaqah). Majlis taklim identik dengan para penceramah hanya menyampaikan saja, dan seusai taklim, peserta pulang tanpa dipantau kembali oleh penceramah tadi; dan biasanya pesertanya massif. Sementara pembinaan atau tasqif, seorang pembina (musyrif) adalah seperti orang tua yang mengayomi dan mendidik anak-anak binaannya agar memiliki karakter dan kepribadian Islam.

Kajian pembinaan merupakan kajian yang rutin, memiliki target, dan bentuk kajian seperti inilah yang akan menjadikan kaum muslim tersebut mengenal dan mengamalkan agama Islam, yang sayangnya sebagian besar kaum muslim tidak mengikutinya. Kita bisa melihat adanya kontras antara antusiasme masyarakat terhadap hal-hal yang sifatnya duniawi dengan kajian Islam. Misalnya apabila ada seminar beasiswa atau seminar toko bisnis online, betapa banyak peminatnya bahkan sampai panitia kewalahan menyeleksi peserta. Sementara di satu sisi, apabila ada ajakan untuk mengkaji Islam, alasan untuk menolaknya banyak.

Setidaknya, ada empat faktor pentingnya mengkaji Islam. Pertama, mengkaji Islam adalah fardhu ‘ain. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, yang artinya, ”mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”.

Para ulama menafsirkan bahwa mencari ilmu agama adalah fardlu ‘ain, sementara mencari ilmu dunia adalah fardlu kifayah. Apabila kita semangat dalam mempelajari ilmu di sekolah, pun seharusnya kita memberikan porsi yang besar juga untuk mencari ilmu agama.

Kedua, identitas kita sebagai seorang muslim mengharuskan kita mengkaji Islam dan sejarahnya. Coba saja kita tanya pada teman-teman kita, berapa banyak diantara mereka yang mengenal nama sahabat-sahabat Rasul dengan dalam? Bandingkan dengan membicarakan pertandingan sepakbola, pasti frekuensinya sangat berbeda. Ada jugakah diantara kita yang hapal terhadap perang-perang yang dilakukan oleh Rasul? Atau fiqih serta hukum-hukum dalam Islam? Namun di sisi yang lain, mungkin kita sangat hapal terhadap lagu-lagu yang sedang hits di kalangan remaja.

Dengan mengkaji Islam, Allah akan menaikkan derajat kita, sebagaimana dalam firman Allah al-Mujadalah ayat 11, yang artinya:

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ketiga, karena kita butuh aturan di dunia sementara aturan yang pantas kita terapkan hanya Islam. Mengenai hidup kita butuh aturan, segala yang kita lakukan tentu pasti harus ada aturannya. Misalnya, apabila kita mau diterima sebagai siswa di sekolah favorit kita, maka harus menempuh berbagai aturan. Dari mulai tes masuk, persyaratan administrasi, lalu ketika kita sudah masuk pun, ada aturan seperti penggunaan seragam dan jadwal masuk. Kita mengikutinya dengan baik kan? Apa yang terjadi apabila kita melanggar aturan yang ditetapkan sekolah? Sekolah akan memberikan teguran, sanksi, bahkan akan mengeluarkan kita. Begitupun kalau kita berkendara di jalan raya. Berbagai aturan lalu lintas ada dan harus dipatuhi oleh setiap pengendara. Apa yang terjadi apabila ada yang melanggar aturan, misalnya menerobos lampu merah? Kemungkinan besar akan kecelakaan, atau ditilang oleh polisi.

Aturan dibuat agar semuanya teratur dan selamat. Lalu, siapa lagi yang paling mengetahui aturan yang pas untuk manusia selain aturan dari Yang Menciptakan manusia itu sendiri? Nah, peraturan-peraturan dalam hidup kita tersebut hanya kita ketahui lewat mengkaji Islam saja, bukan yang lain.

Keempat, kita akan dihisab oleh Allah dan ditanyai amal-amalan kita selama di dunia, yang akhirnya akan menghantarkan kita kepada surga atau neraka, tergantung hasil penghisabannya. Ingat, bahwa Allah swt Maha Teliti. Allah tidak akan salah dalam menghitung aktivitas yang dikerjakan dengan manusia. Berbeda dengan manusia, yang sering lupa dan salah. Pernah ngga kamu ketika di sekolah, mendapatkan nilai ujian dan setelah kamu periksa, ternyata guru salah menilai? Atau bagi yang kerja, pernahkan mendapatkan gaji yang tidak seharusnya pada nilai yang disepakati di awal akad kerja? Atau bahkan seorang koruptor yang sudah terbukti dengan jelas sudah mengkorup uang rakyat sebanyak ratusan juta, milyaran, atau bahkan triliunan rupiah, mengakibatkan kerusakan serta kerugian orang banyak, namun setelah diadili malah bebas? Hal-hal seperti ini seringkali ditemui di dunia. Tapi tidak nanti dengan Allah. Allah tidak mungkin salah dalam menghisab, dan pengadilan di Padang Mahsyar nanti merupakan pengadilan yang seadil-adilnya, yang tidak mungkin ada seseorang yang bisa lolos dari pengadilannya.

Lalu, bagaimana mungkin kita bisa selamat dari penghisaban Allah dan jurang azab-Nya, apabila kita tidak mengamalkan amal-amalan yang dicintai oleh Allah? Tujuan kita di dunia ini cuman satu, teman-teman, yaitu mendapatkan ridho-Nya (ridwanullah). Ibaratnya ada seseorang yang ingin “menembak” lawan jenis nya untuk menjadi pacar. Pasti seseorang ini akan berusaha mencari tahu apa kesukaannya, dimana tempat hang out nya, apa hobi nya, dan sebagainya, agar bisa memenuhi keinginan-keinginan sehingga mau menerima tembakannya. Hal yang sama pun begitu. Kalau kita ingin mendapatkan ridho Allah, ya lakukanlah apa yang Allah cintai. Masih ingat kan kisah Habil dan Qabil? Untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka, mereka harus memberikan kurban (persembahan) dan kurban siapa yang diterima, maka ialah yang memenangkan perselisihan tersebut. Salah satu dari mereka memberikan persembahan yang terbaik yang ia miliki, sementara yang lainnya asal-asalan, dan Allah menerima yang terbaik di antara mereka, walaupun sejatinya seluruh alam semesta pun milik Allah semata.

Apabila kita tahu bahwa kita akan dihisab dan apapun aktivitas kita di dunia ini akan berakibat pada nasib kita nanti di akhirat, maka sudah wajib bagi kita untuk mengkaji Islam agar kita tahu, mana aktivitas yang akan menyelamatkan kita, dan mana aktivitas yang akan mencelakakan diri kita sendiri. Untuk itu, mengkaji Islam adalah wajib bagi kita.

Terakhir, perlu menjadi catatan kita, bahwa dalam Islam, ilmu bukanlah untuk dikoleksi saja. Bertambahnya ilmu haruslah menjadikan bertambahnya ketaqwaan kita. Niat kita mengkaji Islam bukanlah biar dipanggil ustadz ustadzah atau meninggikan diri, justru sebaliknya, dengan mengkaji Islam semakin malulah diri kita dan semakin merendahlah diri kita di hadapan Allah swt Yang Maha Mengetahui. Setelah kita memiliki ilmu, tentu kita harus mengamalkannya, bahkan mendakwahkannya sebisa diri kita, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, yang artinya “sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”.

Yuk Ngaji!

Wallahu ‘alam bish shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *