Mendudukkan Hukum Internasional (PBB) Dalam Syariat Islam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Mendudukkan Hukum Internasional (PBB) Dalam Syariat Islam

Nahdoh Fikriyyah Islam

 (Dosen dan Pengamat Politik)

Pernyataan tanpa dasar dan sandaran yang jelas sering kali muncul dalam pernyataan segelintik orang. Baik itu dari kalangan umum tanpa latar belakang keilmuwannya, bahkan yang menjadi basik keilmuannya. Mungkin sebagian menganggap, “tidak masalah. Terserah mereka yang ngomong apapun”. Tetapi tunggu dulu. sebelum mengeluarkan respon demikian coba dipikirkan matang-matang.

Benar. Ucapan seseorang adalah tangugungjawab masing-masing pelakunya. Tetapi ada efek atau dampak yang ditimbulkan dari suatu omongan atau pendapat. Apalagi jika pendapat tersebut mendapatkan ruang yang luas di publik seperti media massa. Bisa menjadi opini umum yang terbangun di tengah-tengah masyarakat walaupun sebenarnya salah dan tidak berdasar pada sandaran yang kuat dan shahih.

Salah satu contohnya adalah pernyataan yang disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf yang menyampaikan bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bisa menjadi sumber hukum bagi umat Islam. Ketum PBNU tersebut mengatakan bahwa piagam PBB bersifat legal dan sumber hukum yang mengikat bagi negara dan penduduk bangsa termasuk negeri Musllim. (liputan 6.com)

Ia pun mengulas keabsahan Perdana Menteri India Narendra Modi sebagai wakil bagi warga India, khususnya untuk umat Islam. Termasuk juga yang menandatangani Piagam PBB yakni Perdana Menteri Jawaharlal Nehru yang juga seorang non muslim.

Gus Yahya menyampaikan, Piagam PBB dan organisasinya bukanlah sesuatu yang sempurna dan bebas dari masalah, yakni pada realisasinya pun menyisakan kekurangan. Namun di sisi lain, Piagam PBB juga mengakhiri konflik yang pernah terjadi. Hal tersebut juga menandakan berdirinya negara-bangsa dan mencegah terjadinya kekacauan, termasuk peperangan dan penderitaan kemanusiaan.

Tidak ketinggalan, ia juga menyinggung soal kekhilafahan yang oleh sebagian umat Islam dijadikan sebagai alternatif tatanan politik. Malahan, ada pandangan bahwa di mana ada kekhalifahan, maka orang kafir menjadi objek diskriminasi.

Sementara kini, kata Gus Yahya, kekhalifahan yang representatif bagi umat Islam sudah tidak ada lagi. Tidak ada otoritas politik yang mempersatukan umat Islam sejak runtuhnya kekhalifahan Umayyah yang dimulai 150 tahun pascawafat Nabi.

Ketika negara Islam memiliki banyak penguasa, pandangan fiqih berpendapat bahwa mempersatukan umat Islam merupakan nilai luhur yang harus dicapai muslim di mana pun berada. Namun ia mempertanyakan apakah gagasan idealis terkait khilafah itu pantas dianut oleh umat Islam dan hanya bernaung dalam satu otoritas politik. Serta apakah piagam PBB bisa menjadi landasan berfikir untuk gagasan khilafah tersebut.

Pernyataan terkait mejadikan piagam PBB bisa menjadi bahkan dianggap legal sebagai sumber hukum bagi negara bangsa termasuk negeri Muslim sebenarnya tidak bisa dijawab ya atau tidak begitu saja. Tanpa adanya penjelasan yang rinci dan standar yang kuat. Sikap menghalalkan segala sesuatu tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan sikap yang diperintahkan kepada kaum Muslim.

Ketika yang dibenturkan adalah hukum manusia atau makhluk dengan hukum Allah yaitu Islam yang berisi syariat yang mulia dan komplit, maka standar kebenarannya tentu harus dikembalikan kepada syariat Islam itu sendiri. pertanyaannya adalah, bagaimana mendudukkan piagam PBB dalam pandangan hukum Islam? Kemudian khilafah yang disinggung, sebagai apa dan bagaimana hukumnya juga menurut pandangan Islam?

Pertama, terkait dengan piagam PBB yang dianggap bisa menjadi sumber hukum bagi umat Islam dengan alasan mampu mengakhiri konflik dunia, perlu bukti dan fakta yang kuat. Sebelumnya, harus diketahui dulu PBB itu dibentuk dengan tujuan apa dan siapa yang mendirikannya?

Secara singkatnya, bahwa PBB itu didirikan sebagai dampak dari horor kekejaman perang dunia ke II (1939-1945) yang diharapkan perang tersebut tidak terjadi lagi di dunia di masa depan. PBB didirikan pada tahun 1945 pada perang dunia ke dua oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB ( Republik Tiongkok, Prancis, Uni Soviet, Britania Raya, Amerika Serikat). Artinya, pendiri PBB ternyata negara-negara penguasa dan pencetus perang dunia II tersebut.

Konon, Perang dunia II melibatkan banyak sekali negara di dunia—termasuk semua kekuatan besar—yang pada akhirnya membentuk dua aliansi militer yang saling bertentangan: Sekutu dan Poros. Perang ini merupakan perang terluas dalam sejarah yang melibatkan lebih dari 100 juta orang di berbagai pasukan militer.

Dalam keadaan “perang total”, negara-negara besar memaksimalkan seluruh kemampuannya. Ditandai oleh sejumlah peristiwa penting yang melibatkan kematian massal warga sipil, termasuk Holokaus, dan pemakaian senjata nuklir dalam peperangan. Perang dunia kedua berdasarkan data Wikipedia bebas telah menjatuhkan korban jiwa sebanyak 50-70 juta jiwa dan merupakan konflik paling mematikan sepanjang sejarah umat manusia.

Kedua, terkait dengan Piagam PBB yang dikatakan bisa menjadi sumber hukum Islam. Selain bukan berasal dari Al-Qur’an, Hadis, ijmak sahabat, juga bukan Qiyas, melainkan disahkan di San Francisco pada 26 Juni 1945 oleh kelima puluh anggota asli PBB. Piagam ini mulai berlaku pada 24 Oktober 1945 setelah diratifikasi oleh lima anggota pendirinya.

Sebagai sebuah Piagam ia adalah sebuah perjanjian konstituen, dan seluruh penanda tangan terikat dengan isinya. Selain itu, Piagam tersebut juga secara eksplisit menyatakan bahwa Piagam PBB mempunyai kuasa melebihi seluruh perjanjian lainnya. Ia diratifikasi oleh Amerika Serikat pada 8 Agustus 1945, yang membuatnya menjadi negara pertama yang bergabung dengan PBB. Piagam PBB terdiri dari sebuah pembuka (‘preambule’), yang secara garis besar disusun mengikuti preamble Konstitusi AS.

Sungguh tidak rasional sebenarnya. Secara sederhana saja manusia berfikir, bagaimana mungkin digdaya perang dunia II, pembuat kerusuhan dunia, penjajah dunia, menawarkan damai dengan membentuk satu lembaga yang menaungi negara-negara dunia kemudian dipercaya begitu saja mampu menyeelsaikan konflik atau perang? siapa Amerika dan kelima negara keamana Dewan PBB itu di kancah perpolitikan global? Para penjajah bukan?

SAKTI MENGAKHIRI KONFLIK ATAU PERANG?

Kenyataannya, piagam PBB tidak mampu menghentikan konflik yang baru pasca perang dunia II. Artinya, sejak PBB berdiri, justru terjadi 250 konflik bahkan mungkin lebih hingga hari ini, yang belum selesai di seluruh dunia.

Seperti pembantaian massal di Rwanda tahun 1999 yang menewaskan hampir satu juta nyawa. Pembanataian Srebrenica, perang Kongo, perang di Suriah, pembaitana etnis Rohingya, Muslim Uyghur di Tiongkok, pendudukan India di Kashmir, atau kebiadaban Israel terhadapa Palestina. Adakah penyelesaiannya oleh PBB?

Itulah kenyataannya. PBB justru tidak lebih dari sekedar alat permainan yang digunakan oleh kelima negara besar (pendiri PBB) untuk mengamankan kebijakan luar negerinya masing-masing. Piagam PBB juga terus gagal menerapkan berbagai resolusi dewan keamanannya.

Karena selalu tebang pilih dalam pemberlakuan aturan internasional (terlihat pada kasus-kasus konflik yang khususnya melibatkan Islam). PBB juga menunjukkan jati dirinya sebagai lembaga yang tidak efektif, lemah fungsi, dan hanya sebagai perpanjangan tangan negara imprealis (pada kasus Iraq).

Sehingga untuk menjawab pernyataan yang menyatakan piagam PBB bisa menjadi sumber hukum Islam, ditanya balik seharusnya. Layakkah pembuat konflik, penjajah dunia, dipercayakan menjaga keamanan dunia? Seperti apa hukum yang mereka bentuk? Bukankah hanya demi kepentingan mereka saja? ending

Khilafah dan Kebijakan Luar Negeri dalam Islam

Dugaan yang sering muncul mengopini di tengah-tengah masyarakat adalah bahwa khilafah itu seperti ancaman dan monster yang mematikan. Benarkah? Tentu jawabannya bisa dijawab singkat, Tidak! Karena apa? Karena khilafah adalah ajaran Islam.

Atau terkadang juga ada arus yang mencoba untuk membawanya ke memori masa lalu dengan mengatakan bahwa dalam khilafah terjadi diskriminasi atau kejahatan terhadap umat yang non-Muslim. Dalil itu harus diluruskan dan dipertanyakan lagi. Oh really? Are you sure? Kasih rujukan yang akurat dong!

Makanya, sebelum menyampaikan informasi, telusuri terlebih dahulu sumbernya apakah valid atau lemah. Jangan sampai malah hoax (kebohongan). Jika merujuk pada referensi historis, tentu sumbernya juga dicari yang mendekati kebenaran.

Salah satunya adalah dengan mengenali penulis sejarahnya. Sebab penulisan sejarah itu mayoritas subjektif. Sulit memang mencari yang objektif. Tetapi banyak sejarawan yang masih terus berupaya untuk menggali kebenaran sejarah. Tentunya akan sangat membantu untuk menemukan kebenaran yang dikubur dan dikabur.

Kenapa isu konflik agama selalu dibenturkan dengan syariat Islam? Karena yang menyampaikannya tidak tuntas mencari referensi yang berimbang. Munculnya isu perang agama antara Muslim-non Muslim apakah Nasrani dan Yahudi. Seperti perang salib yang terus disebarkan sebagai perlawanan oleh masyarakat Nasrani terhadap Daulah Islam.

Kalau untuk Yahudi, apakah hanya khilafah saja yang mengusir kaum Yahudi? Bagaimaan dengan masyarakat Eropa zaman kegelapan juga sangat benci dengan warga Yahudi. Kenapa tidak pernah dibahas? Islam justru mengarahkan bagaimana cara berinteraksi dengan non-Muslim baik Yahudi maupun Nasrani. Begitu juga dengan negara-negara mereka.

Non-Muslim selama baradab-abad itu hidup berdampingan dengan kaum Muslim di bawah naungan Islam dengan damai. Adapun perang yang terjadi adalah bentuk politik luar negeri khilafah untuk mengakhiri konflik dan menaklukan musuh hingga tidak lagi mengulangi kebiadaban mereka di masa depan.

Bersama warga Yahudi-Nasrani, khilafah memiliki aturan dan perjanjian yang harus disepakai kedua pihak sebagai jaminan hidup dan hak-hak warga negara lainnya sesuai aturan Islam. Sehingga terbangun suasan kedamaian dan rahmatan lil’alamin syariat Islam dapat dirasakan manusia semuanya tanpa melihat lagi suku, warna kulit, agama, ataupun jabatan.

Munculnya konflik Nasrani-Muslim awalnya dipicu oleh negara-negara Barat yang mayoritas dilakukan oleh Inggris, Perancis, dan Amerika. Negara Barat tersebut menciptakan kegoncangan dalam negeri khilafah ketika mereka masuk menyusup atas nama penyebaran ilmu (sains). Mereka mendirikan sekolah-sekolah misionaris. Setelah mendapat tempat di hati masyarakat Islam, mereka mulai mencari cara untuk memecah keamanan dan kedamaiannya.

Missionaris diistilahkan bagi negara-negara kolonial karean membawa misi. Misi untuk menguasasi dunia dengan segala cara. Ketika mereka melihat kedamaian khilafah dengan latar belakang warga yang berbeda bahkan dari segi agama. Dan mereka menilai bahwa keragaman agama dalam khilafah adalah persoalan yang bisa disulut menjadi api kebencian dan peperangan.

Mulailah mereka menjalankan misinya dengan memecah kaum Kristen terlebih dahulu yang ada di wialayah khilafah. Perancis berpihak kepada Kristen Maronit (sekte katolik), sementara Inggris dengan berpihak pada kaum Druze. Dan Amerika juga tidak ketinggalan mengirimkan seorang misionaris ke wilayah khilafah bernama Willie Smith. Bedanya, Amerika bergerak di bidang penerbitan dan sekolah-sekolah. Sementara Inggris dan Perancis memecah warga Non Muslim. Antara Nasrani (Kristen) dengan kaum Druze. Dan ini dimulai dari Malta, yaitu wilayah Syam (tepatnya di Lebanon sekarang).

Pecah kerusuhan antara Nasrani dan kaum Druz atas hasutan Prancis-Inggris, maka Khalifah menyelesaikan konflik dengan membagi dua wilayah Libanon. Sekaligus mengangkat pemimpinnya antara kedua kelompok, dengan pandangan untuk menyelesaikan konflik keduanya. Sayangnya tidak berhasil. Karena Perancis-Inggris terus menyulut api kebencian dan mengajak kedua masyarakat no-Muslim menolak solusi dari Khalifah. Hingga datanglah negara misisonaris Barat itu bak pahlawan untuk menyelesakikan konflik yang mereka kobarkan sendiri.

Artinya, tentu saja kepercayaan mereka kepada Khalifah akhirnya menurun. Dengan kata lain distrust terbentuk di kalangan masyarakat Daulah Khilafah. Dan asing campur tangan urusan dalam negeri khilafah sejak saat itu. Bisa dibayangkan bagaimana orang asing mencoba untuk jadi pahlwan yang sebenarnya penjahat? Hingga pada akshirnyaa menyulut kebencian kaum Druze dan Kristen terhadap umat Islam atas nama rasis (agama). Hingga uncullah perang salib.

Ketuka kaum non Muslim menyerang, tentu saja wajib membela diri dari serangan mematikan bukan? Seterusnya hingga hari ini, konflik antar agama selalu dijadikan dalih untuk menolak khilafah. Padahal akar persoalan konflik beda agama bukanlah ajaran Islam.

Ada khilafah saja bisa terjadi konflik, apalagi sekarang tidak ada khilafah. Selalu muncul konflik tanpa penyelesaian yang tuntas. Tetapi konflik dalam khilafah selalu beres diselesaikan dan tidak berulang. Karena penyelesaiannya tepat. Sesuai aturan Islam.

Oleh karena itu, keberadaan khilafah adalah sebagai institusi penegak hukum-hukum syara’. Dan para ulama masyhur serta shaleh juga para sahabat tentunya yang utama jadi rujukan setelah Rasulullah saw dalam menerapkan Islam, tidak berselisih tentang wajibnya menegakkan khilafah.

Meskipun dengan redaksi yang berbeda-beda, ulama Aswaja sepakat bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang tegak di atas akidah Islam. Dan memposisikan Khalifah sebagai pemimpin yang agung untuk seluruh umat Islam yang menerapkan Islam secara menyeluruh dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.

Allah berfirman dalam Quran surat al-baqarah ayat 30, “ingatlah saat Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sungguh Aku akan menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Ulama Aswaja dari empat mazhab menyatakan bahwa ayat di atas yaitu Quran Surat Al-Baqarah ayat 30 adalah dalil atas kewajiban mengangkat seorang Khalifah.

Imam Al-Qurthubi juga sepakat atas kewajiban mengangkat seorang Imam atau Khalifah yang didengar dan ditaati. dengan itulah kalimat persatuan umat disatukan dan hukum-hukum Khalifah diterapkan.

Khilafah merupakan ajaran Islam yang dalam istilah modern disebut dengan negara Islam (ad-daulah al-islâmiyyah) atau sistem pemerintahan Islam (nizhâm al-hukm fî al-Islâm). Dalam istilah para fuqaha terdahulu, khilafah disebut juga dengan sejumlah istilah yang kurang lebih semakna, yaitu Imâmah atau Dârul Islâm atau Imâratul Mukminin. (Wahbah Az-Zuhailî, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/407; Imam Nawawi, Al-Majmû’ Syarah Al-Muhadzdzab, 17/517).

Sungguh sangat banyak sekali dalil-dalil tentang kewajiban menegakkan khilafah. Bagi kaum Muslim, disamping merupakan janji Allah dan nubuwah bagi Rasul-Nya, kembalinya khilafah kedua adalah kabar gembira.

Kemudian, khilafah sebagai bentuk sistem pemerintahan atau negara, tentu meiliki kebijakan luar negeri. Seperti halnya Amerika dan Inggris hari ini. Khilafah juga pasti punya cara atau foreign policy terkait mendudukkan PBB dengan ajaran Islam, sebagai lembaga atau konstitusi internasional (internasional law).

Hakikatnya dalam ajaran politik luar negeri Islam /khilafah, yang boleh diikuti atau bergabung adalah norma internasional. Karena secara manusiawi tentu bisa membentuk satu opini umum internasional, misalnya menghilangkan ketidakadilan dan penindasan. Tentu dunia, negara manapun, agama apapun sepakat dengan ini. Dan inilah yang boleh diikuti bahkan diupayakan agar khilafah menjadi pionir utama dalam pembentukannya.

Sementara sekarang ini, norma internasional di bawah kendali adidaya kapitalis global yang malah merefleksikan dua konsep yang dikenal, dengan konvensi internasional dan keseimbangan internasional.

Konvensi internasional memperkenankan negara-negara yang memiliki agenda kooniloas untuk melakukan pertemuan dan perundigan yang membahsa isu global terkait mereka. Sementara keseimbangan internasional mengamanatkan agar jika satu negara berupaya memperluas wilayahnya dengan menyerang negara lain, maka seluruh negara harus berkonsolidasi mencegahnya. Pada intinya kedua norma yang mereka bangun adalah untuk menghadang tegaknya kembali khilafah.

Hasil pertemuan-pertemuan mereka yang mereka sebut sebagai norma intenasional tadi dibentuk menjadi seperangkat peraturan internasional dengan berbagai nama apakah deklarasi, piagam, protokol, dsb. Kemudian menjadi landasan bagi dikeluarkannya hukum internasional melalui lembaga internasional seperti PBB yang dibahas sebelumnya.

Maka model yang demikian harus dibubarkan dan khilafah harus menyampaikan kerusakan perjanjian atau peraturan inetrnasioanl yang hanya menguntungkan negara adidaya global.

Wallahua’lam Bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *