Lapas Berbasis Pesantren, Solusikah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Lapas Berbasis Pesantren, Solusikah?

Azzahra Zaenab

Kontributor Suara Inqilabi 

Kriminalitas di Indonesia kian marak terjadi. Kamtibmas mencatat pada awal tahun 2022 sudah terjadi 300 kejahatan/hari dan melonjak menjadi 830 kejahatan/hari. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga mencatat, 276.507 kejahatan terjadi di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 7,3% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 257.743 perkara. Begitu juga pada tahun sebelumnya, masa pandemi menyebabkan tingkat kriminal mengalami peningkatan sebesar 7% karena ekonomi masyarakat mengalami goncangan akibat diberlakukannya lockdown (Megapolitas, 18/5/20).

Semakin meningkatnya angka kriminilatas mengakibatkan semakin banyaknya jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) melaporkan, jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Indonesia sebanyak 273.822 orang per 27 April 2022 (Dataindonesia.id, 3/1/23).

 

Menginisiasi hal tersebut, pemerintah mencanangkan program lapas berbasis pesantren agar dapat membantu narapidana dalam berproses menjadi lebih baik dengan dibimbing pada aspek spiritual sehingga siap untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat nantinya.

Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Suliki, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat, diresmikan sebagai lapas pertama di Sumbar berbasis pesantren, pada Senin 06 Maret 2023. Lapas berbasis Pesantren diresmikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sumatera Barat, Haris Sukamto, didampingi oleh Kepala Divisi Administrasi Ramelan Suprihadi, Kepala Divisi Pemasyarakatan M. Ali Syeh Banna, serta Kepala Lapas Kelas III Suliki. Kepala Kanwil Kemenkumham Sumbar Haris Sukamto mengapresiasi inovasi pembinaan yang dilakukan Lapas Suliki terhadap Narapidana yang berjumlah sekitar 100 penghuni. Inovasi ini dianggap dapat menjadi contoh bagi Lapas lainnya. Dukungan pemprov Sumbar juga akan diaplikasikan pada penyediaan alat hapus tato yang mendukung pembinaan pendidikan agama seperti layaknya pesantren (Zona Sumbar, 7/3/23).

*Lapas Berbasis Pesantren*

Berdasarkan prinsip pemasyarakatan, narapida dibina dengan menggunakan dua prinsip utama, yakni pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

 

Dalam pembinaan kepribadian, narapidana dibina dalam beberapa hal, salah satunya kesadaran beragama dan kesadaran bernegara. Pada pembinaan ini narapidana diberikan binaan tentang aspek ibadah dalam beragama dan memperkuat kecintaan pada kesatuan NKRI yang terdiri dari keberagaman agama, suku dan bangsa. Narapidana diberikan pemahaman islam modern yang nyatanya bersifat sekulerisme dengan mengedepankan prinsip pemahaman yang keliru. Hal ini dapat memudarkan pemahaman dan hukum islam yang kaffah karena berisikan pemahaman dalam penerapan islam yang setengah-setengah dengan alasan negara Indonesia bukan negara islam. Padahal penerapan islam secara kaffah wajib dilaksankan oleh setiap muslim dimanapun dan kapanpun.

Maka dari itu, alih-alih penanggulangan dengan pembinaan berbasis pesantren, masyarakat hendaknya diberi pemahaman akan islam sedari kecil karena maraknya kasus kriminalitas yang terjadi dimasyarakat saat ini disebabkan oleh faktor inti, yakni hilangnya ketakwaan kepada Allah Taala.

 

Apabila manusia tersebut beriman pada Allah Swt. dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah menetapkan syariat-Nya dalam segala lini kehidupan untuk mengatur berjalannya kehidupan manusia sebagaimana seharusnya. Dengan itu pastinya mereka tidak akan melakukan cara yang haram dalam menjalankan kehidupan dalam bermasyarakat. Namun, ketakwaan tidak bisa tumbuh apabila sistem yang digunakan adalah sistem sekuler.

*Penjara dalam Islam*

Kejahatan atau kerusakan sudah ada sejak diciptakannya manusia pertama, yakni nabi Adam dan pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil yang didasarkan motif iri hati. Sudah qodratnya manusia berbuat salah, seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al Baqarah: 30).

Dari ayat di atas telah disampaikan oleh malaikat bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbuat kerusakan di muka bumi.

 

Oleh karena itu agama memberikan aturan sebagai pengendali dari kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Hukuman yang diberlakukan didalam islam yang melanggar aturan dapat berupa jinayah yang berhubungan dengan nyawa dan anggota tubuh manusia yang dilukai dan jarimah yang berhubungan dengan mencuri, berzina, mabuk dan murtad.

Penjara dalam Islam termasuk pada hukum ta’zir. Hukum ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam Alquran dan hadis. Para narapidana memiliki hak fisik dan moral di dalam penjara, salah satunya dengan dibina untuk bertaubat dan diberikan pengajaran islam yang haq.

 

Maka dari itu dalam Islam penjara merupakan hukuman yang diperbolehkan dengan tujuan pemberian efek jera dan rehabilitasi untuk para narapidana.

Tidak hanya memberikan hukuman sebagai bentuk pemberian efek jera, Islam juga meminimalisir kejahatan dengan melakukan pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan karena sejatinya manusia diberikan potensi berupa pemenuhan kebutuhan jasmani, naluri dan akal yang dapat dijadikan alat untuk meminimalisir kejahatan tersebut.

 

Potensi yang dimiliki manusia ini dapat di arahkan pada kebenaran. Kebenaran yang sempurna ialah bersumber dari aqidah yang lurus dan penerapan hukum-hukum syara’ di tengah-tengah masyarakat. Jika ini telah dilaksanakan maka akan menjadi solusi yang lebih baik karena merupakan bentuk pencegahan bukan penanggulangan.

*Solusi*

Sejatinya, lapas berbasis pesantren bukanlah solusi yang dapat menjawab permasalahan dari akarnya. Hal yang paling tepat untuk meminimalisir kejahatan dapat dilakukan dengan pencegahan kejahatan tersebut. Tindakan untuk meminimalisir kejahatan adalah dengan menerapkan aturan islam secara sempurna di negara tercinta. Dengan aturan yang bersumber dari al-quran, hadist dan ijtima’ para ulama maka akan mendatangkan keridhoan Allah SWT sehingga negara akan menjadi aman, tentram dan damai. Masyarakat akan dibimbing dari semenjak kecil dalam menuntut ilmu agama sehingga akidahnya semakin kuat. Jika akidah setiap manusia sudah kuat maka akan semakin kecil kemungkinan terjadinya resiko kejahatan di tengah-tengah masyarakat.

 

Kejahatan di tengah masyarakat terjadi karena aturan islam dijalankan hanya setengah-setengah. Kondisi seperti ini hanya akan mendatangkan kemudaratan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini. Manusia sebagai makhluk ciptaan tidak akan pernah bisa menciptakan aturan yang menjadi solusi di segala aspek kehidupan. Maka dari itu peran negara yang tidak menerapkan syariat islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan ditengah rakyat.

 

Fungsi negara bukan sekedar regulator sebagaimana sistem hari ini, melainkan sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus) rakyat. Islam memandang bahwa agama harus menjadi pedoman hidup manusia yang dapat menyelesaikan seluruh urusan umat manusia.

Negara harus secara tegas memposisikan sistem yang digunakannya. Apabila ingin memperbaiki semua kerusakan, maka solusi yang harus diterapkan adalah solusi yang menjawab permasalahan inti dari masalah tersebut.

 

Negara yang menggunakan sistem islam, aturan yang digunakan adalah aturan yang tidak dapat di ganggu gugat yakni aturan islam yang bersumber dari Allah SWT. Allah yang paling tau akan ciptaanNya telah mengatur setiap aspek kehidupan mulai dari hal yang terkecil, maka dari itu tidak ada lagi alasan kita sebagai manusia untuk melakukan trial and eror dalam memutuskan aturan yang terbaik di tengah-tengah masyarakat. Saat negara sudah memakai aturan islam, maka InsyaAllah setiap permasalahan dapat diminimalisir dan Lapas Berbasis Pesantren, Solusikah

Kriminalitas di Indonesia kian marak terjadi. Kamtibmas mencatat pada awal tahun 2022 sudah terjadi 300 kejahatan/hari dan melonjak menjadi 830 kejahatan/hari. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga mencatat, 276.507 kejahatan terjadi di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 7,3% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 257.743 perkara. Begitu juga pada tahun sebelumnya, masa pandemi menyebabkan tingkat kriminal mengalami peningkatan sebesar 7% karena ekonomi masyarakat mengalami goncangan akibat diberlakukannya lockdown (Megapolitas, 18/5/20).

Semakin meningkatnya angka kriminilatis mengakibatkan semakin banyaknya jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) melaporkan, jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Indonesia sebanyak 273.822 orang per 27 April 2022 (Dataindonesia.id, 3/1/23). Menginisiasi hal tersebut, pemerintah mencanangkan program lapas berbasis pesantren agar dapat membantu narapidana dalam berproses menjadi lebih baik dengan dibimbing pada aspek spiritual sehingga siap untuk berinteraksi kembali dengan masyarakat nantinya.

Lembaga Pemasyarakatan Kelas III Suliki, Kabupaten 50 Kota, Provinsi Sumatera Barat, diresmikan sebagai lapas pertama di Sumbar berbasis pesantren, pada Senin 06 Maret 2023.

Lapas berbasis Pesantren diresmikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Sumatera Barat, Haris Sukamto, didampingi oleh Kepala Divisi Administrasi Ramelan Suprihadi, Kepala Divisi Pemasyarakatan M. Ali Syeh Banna, serta Kepala Lapas Kelas III Suliki. Kepala Kanwil Kemenkumham Sumbar Haris Sukamto mengapresiasi inovasi pembinaan yang dilakukan Lapas Suliki terhadap Narapidana yang berjumlah sekitar 100 penghuni. Inovasi ini dianggap dapat menjadi contoh bagi Lapas lainnya. Dukungan pemprov Sumbar juga akan diaplikasikan pada penyediaan alat hapus tato yang mendukung pembinaan pendidikan agama seperti layaknya pesantren (Zona Sumbar, 7/3/23).

Lapas Berbasis Pesantren

Berdasarkan prinsip pemasyarakatan, narapida dibina dengan menggunakan dua prinsip utama, yakni pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Dalam pembinaan kepribadian, narapidana dibina dalam beberapa hal, salah satunya kesadaran beragama dan kesadaran bernegara. Pada pembinaan ini narapidana diberikan binaan tentang aspek ibadah dalam beragama dan memperkuat kecintaan pada kesatuan NKRI yang terdiri dari keberagaman agama, suku dan bangsa.

Narapidana diberikan pemahaman islam modern yang nyatanya bersifat sekulerisme dengan mengedepankan prinsip pemahaman yang keliru. Hal ini dapat memudarkan pemahaman dan hukum islam yang kaffah karena berisikan pemahaman dalam penerapan islam yang setengah-setengah dengan alasan negara Indonesia bukan negara islam. Padahal penerapan islam secara kaffah wajib dilaksankan oleh setiap muslim dimanapun dan kapanpun.

Maka dari itu, alih-alih penanggulangan dengan pembinaan berbasis pesantren, masyarakat hendaknya diberi pemahaman akan islam sedari kecil karena maraknya kasus kriminalitas yang terjadi dimasyarakat saat ini disebabkan oleh faktor inti, yakni hilangnya ketakwaan kepada Allah Taala.

Apabila manusia tersebut beriman pada Allah Swt. dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah menetapkan syariat-Nya dalam segala lini kehidupan untuk mengatur berjalannya kehidupan manusia sebagaimana seharusnya. Dengan itu pastinya mereka tidak akan melakukan cara yang haram dalam menjalankan kehidupan dalam bermasyarakat. Namun, ketakwaan tidak bisa tumbuh apabila sistem yang digunakan adalah sistem sekuler. Sedari kecil masyarakat tidak mengenal agamanya secara utuh. Mereka tidak paham berbagai nilai ajaran Islam.

Penjara dalam Islam

Kejahatan atau kerusakan sudah ada sejak diciptakannya manusia pertama, yakni nabi Adam dan pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil yang didasarkan motif iri hati. Sudah qodratnya manusia berbuat salah, seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al Baqarah: 30).

Dari ayat di atas telah disampaikan oleh malaikat bahwa manusia itu adalah makhluk yang berbuat kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu agama memberikan aturan sebagai pengendali dari kejahatan yang dilakukan oleh manusia. Hukuman yang diberlakukan didalam islam yang melanggar aturan dapat berupa jinayah yang berhubungan dengan nyawa dan anggota tubuh manusia yang dilukai dan jarimah yang berhubungan dengan mencuri, berzina, mabuk dan murtad.

Penjara dalam Islam termasuk pada hukum ta’zir. Hukum ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan atas dasar kebijaksanaan hakim karena tidak terdapat dalam Alquran dan hadis. Para narapidana memiliki hak fisik dan moral di dalam penjara, salah satunya dengan dibina untuk bertaubat dan diberikan pengajaran islam yang haq. Maka dari itu dalam Islam penjara merupakan hukuman yang diperbolehkan dengan tujuan pemberian efek jera dan rehabilitasi untuk para narapidana.

Tidak hanya memberikan hukuman sebagai bentuk pemberian efek jera, Islam juga meminimalisir kejahatan dengan melakukan pencegahan. Pencegahan dapat dilakukan karena sejatinya manusia diberikan potensi berupa pemenuhan kebutuhan jasmani, naluri dan akal yang dapat dijadikan alat untuk meminimalisir kejahatan tersebut. Potensi yang dimiliki manusia ini dapat di arahkan pada kebenaran. Kebenaran yang sempurna ialah bersumber dari aqidah yang lurus dan penerapan hukum-hukum syara’ di tengah-tengah masyarakat. Jika ini telah dilaksanakan maka akan menjadi solusi yang lebih baik karena merupakan bentuk pencegahan bukan penanggulangan.

Solusi

Sejatinya, lapas berbasis pesantren bukanlah solusi yang dapat menjawab permasalahan dari akarnya. Hal yang paling tepat untuk meminimalisir kejahatan dapat dilakukan dengan pencegahan kejahatan tersebut. Tindakan untuk meminimalisir kejahatan adalah dengan menerapkan aturan islam secara sempurna di negara tercinta.

Dengan aturan yang bersumber dari al-quran, hadist dan ijtima’ para ulama maka akan mendatangkan keridhoan Allah SWT sehingga negara akan menjadi aman, tentram dan damai. Masyarakat akan dibimbing dari semenjak kecil dalam menuntut ilmu agama sehingga akidahnya semakin kuat. Jika akidah setiap manusia sudah kuat maka akan semakin kecil kemungkinan terjadinya resiko kejahatan di tengah-tengah masyarakat.

Kejahatan di tengah masyarakat terjadi karena aturan islam dijalankan hanya setengah-setengah. Kondisi seperti ini hanya akan mendatangkan kemudaratan seperti yang kita rasakan saat sekarang ini. Manusia sebagai makhluk ciptaan tidak akan pernah bisa menciptakan aturan yang menjadi solusi di segala aspek kehidupan.

Maka dari itu peran negara yang tidak menerapkan syariat islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan ditengah rakyat. Fungsi negara bukan sekedar regulator sebagaimana sistem hari ini, melainkan sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus) rakyat. Islam memandang bahwa agama harus menjadi pedoman hidup manusia yang dapat menyelesaikan seluruh urusan umat manusia.

Negara harus secara tegas memposisikan sistem yang digunakannya. Apabila ingin memperbaiki semua kerusakan, maka solusi yang harus diterapkan adalah solusi yang menjawab permasalahan inti dari masalah tersebut. Negara ynag menggunakan sistem islam, aturan yang digunakan adalah aturan yang tidak dapat di ganggu gugat yakni aturan islam yang bersumber dari Allah SWT.

Allah yang paling tau akan ciptaanNya telah mengatur setiap aspek kehidupan mulai dari hal yang terkecil, maka dari itu tidak ada lagi alasan kita sebagai manusia untuk melakukan trial and eror dalam memutuskan aturan yang terbaik di tengah-tengah masyarakat. Saat negara sudah memakai aturan islam, maka InsyaAllah setiap permasalahan dapat diminimalisir dan akan ada solusi terbaiknya.

Wallahu a’lam bishshawab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *