Ketika Tampuk Kekuasaan Dianggap Pertunjukan Dagelan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Ketika Tampuk Kekuasaan Dianggap Pertunjukan Dagelan

Oleh Irma Faryanti 

Pegiat Literasi 

Beberapa waktu lalu, sebuah aksi dilakukan oleh ribuan massa, mulai dari buruh, mahasiswa bahkan kalangan pesinetron dan komika pun turut serta. Mereka berdemonstrasi di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat (DPR/MPR) di Kawasan Senayan, Jakarta.

 

Demonstrasi ini digelar dalam rangka menolak revisi Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang hendak menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Nampak dalam aksi tersebut sejumlah artis, sineas hingga komika turut serta, bahkan aktor Reza Rahadian berorasi menyampaikan pendapatnya bahwa ia tidak bisa tinggal diam melihat adanya upaya membegal MK. (www.voaindonesia.com, Kamis 22 Agustus 2024)

 

Sebelumya MK telah mengeluarkan keputusan agar parpol atau gabungan partai politik peserta pemilu agar mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerahnya, walaupun tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini dimaksudkan agar muncul jumlah kandidat yang banyak sehingga pilihan masyarakat tidak terlalu sempit. Namun sayangnya, sehari setelah dikeluarkannya putusan, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mendadak menggelar rapat dan sepakat untuk mengesahkan revisi UU Pilkada.

 

Bak membuahkan hasil, rapat paripurna pun ditunda karena tidak mampu memenuhi kuorum (jumlah minimum anggota atau organisasi yang harus hadir). Walau sempat ditunda 2 kali tapi masih tetap belum terpenuhi. Pertemuan itu hanya dihadiri oleh 176 orang, di mana 89 diantaranya hadir secara fisik dan 87 lainnya izin tidak menghadiri secara langsung. Hanya sekitar 30 persen saja dari total 575 anggota DPR RI, padahal persyaratan kehadiran adalah 50% plus 1.

 

Walau rapat batal, namun massa masih bertahan menyuarakan pendapatnya. Mereka bahkan mampu menjebol gerbang depan DPR di jalan Gatot Subroto dan bentrok dengan petugas keamanan yang ada di sekitar kompleks. Inilah wujud geram mereka atas putusan Baleg DPR yang menetapkan ambang batas syarat pencalonan Kepala Daerah tetap 20 persen kursi di parlemen. Hal ini jelas bertentangan dengan ketetapan MK yang justru telah menghapusnya. Arjuna Putra Aldino selaku Ketua Umum DPP GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) menilai hal itu sebagai cacat hukum atau inkonstitusional.

 

Dugaan adanya politik dinasti menjadi salah satu alasan demonstrasi digelar. Keputusan MK yang menetapkan syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 untuk wakilnya terhitung saat penetapan pasangan calon bukan ketika dilantik, membuat salah seorang anak dari orang nomor satu di negeri ini harus terganjal cita-citanya untuk maju menduduki tampuk kekuasaan. Sehingga muncul rencana untuk merevisi UU tersebut dari pihak DPR.

 

Berbagai kebijakan yang berbau kapitalistik telah ada sejak masa orde baru, hal ini tampak dari masuknya perusahaan asing pertama ke Indonesia untuk berinvestasi. Pada saat itu negara menandatangani kontrak karya pertama kalinya dengan Freeport Sulphur Company.Inc milik Amerika yang disepakati kerjasamanya akan terus berlanjut hingga 2061. Kekayaan alam Papua berupa emas habis dikeruk dan menyisakan kesengsaraan bagi warga setempat, alih-alih sejahtera kehidupan mereka pun jauh dari kata layak.

 

Namun tidak hanya berhenti disitu, kebobrokan kapitalis pun terus berlanjut hingga masa kepemimpinan saat ini. Sebagai contoh adalah lahirnya UU cipta kerja dan mega proyek IKN yang begitu menegaskan adanya liberalisasi dan eksploitasi tenaga kerja. Sementara bagi para pengusaha diberi keleluasaan hak guna usaha (HGU) hingga 190 tahun lamanya. Para investor asing diberi kemudahan, sementara rakyat pribumi hanya dibiarkan menonton dan merelakan tanahnya digusur demi ambisi investasi.

 

Inilah fakta rusaknya pengayoman dalam negara penganut kapitalis demokrasi. Berbagai kebijakan tak hentinya membawa kesengsaraan bagi rakyatnya sendiri. Wajar jika akhirnya mereka mulai tersadar akan kondisi yang tengah terzalimi sehingga memicu terjadinya gelombang protes menuntut perubahan, masyarakat mulai gerah dengan segala kesewenangan yang terjadi. Sistem ini hanya menciptakan kesenjangan dan menambah beban hidup rakyat. Alih-alih sejahtera, yang ada justru semakin menderita.

 

Ketika mustahil berharap terwujudnya perubahan dalam sistem kapitalis, Islam justru memiliki konsep yang jelas. Tentu dengan mengacu pada apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dengan mendalami perjuangan beliau akan didapati bahwa untuk bisa berubah setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu: Pertama: pembinaan kader dakwah. Beliau membina para sahabat dengan akidah dan pemikiran Islam, berinteraksi dengan masyarakat, menyerang tradisi dan aturan rusak yang ada di tengah mereka.

 

Kedua, mengubah rezim dan sistem. Hal ini tampak pada hijrahnya beliau dari Mekkah ke Madinah, mendirikan negara di sana dan meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan melalui penerapan syariat secara menyeluruh. Tidak pernah sekali pun Rasulullah saw. mengambil jalan kompromi dengan sistem jahiliyah. Beliau melakukan kontak secara intens dengan kabilah-kabilah Quraisy untuk membongkar segala bentuk kerusakan.

 

Inilah jalan yang ditempuh Rasulullah saw. untuk mewujudkan perubahan yang hakiki. Oleh karenanya dibutuhkan adanya kelompok dakwah yang akan membina dan memahamkan umat akan makna perjuangan untuk berubah sesuai syariat. Keberadaannya sangat strategis dan mampu membentuk kesadaran serta pemahaman politik yang benar. Umat dibina agar memahami pandangan dan falsafah hidup Islam.

 

Jika hanya Islam yang bisa diandalkan dengan konsepnya yang jelas, maka dengan alasan apa lagi masih bertahan dalam sistem kapitalis yang jelas rusak dan merusak. Saatnya kembali pada tegaknya syariat Allah Swt. di bawah naungan sebuah kepemimpinan yang akan mengantarkan pada perubahan yang hakiki.

Wallahu’alam Bish-shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *