Ketika Idealisme Tergadai Demi Ambisi Partai
Oleh Irma Faryanti
Pegiat Literasi
Suasana perpolitikan masih ramai mengenai pemberitaan pecah kongsinya PKS dengan Anies Baswedan terkait Pilgub Jakarta 2024. Hal ini kemudian dikomentari oleh Pengamat Politik UIN Adi prayitno yang menyatakan bahwa prinsip utama dalam berpolitik adalah keuntungan pribadi dan kelompok, apapun caranya kekuasaan menjadi tujuan utama. Maka tidak heran jika hari ini lawan, besok bisa jadi kawan. Maka tidak heran, untuk mengejar ambisinya mereka kerap brutal dan membabi-buta, walau harus mengorbankan pertemanan dan persahabatan, mengumbar dan ingkar pada janji manis, bahkan rela berkhianat pada partainya sendiri. (Liputan6.com, Ahad 11 Agustus 2024)
Lebih lanjut Adi mengatakan bahwa idealisme dalam berpolitik hanya ada di ruang kelas dan keranjang sampah, hanya sebatas teori saja. Pilkada yang ada saat ini adalah fenomena demokrasi elit, karena yang akan menentukan seseorang untuk maju adalah murni kehendak dari para petinggi partai.
Di sisi lain, Muhammad Khalid selaku juru bicara dari PKS menegaskan bahwa pencalonan Anies Baswedan dan Shohibul Iman (IMAN) untuk pilkada DKI Jakarta 2024 telah kadaluwarsa. Karena surat keputusan (SK) yang mengusungnya hanya berlaku dari 25 Juni hingga 4 Agustus. Dan pihaknya belum menerima surat rekomendasi dari partai lain untuk bisa maju sendiri karena kurang kursi.
Karena 22 kursi masih belum terpenuhi, maka PKS pun mulai membuka komunikasi dengan partai lain untuk pengusungan calon gubernur dan wakilnya pada pilkada ini. Salah satu opsi yang dipilih adalah dengan membangun komunikasi dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk membahas alternatif lain ketika pasangan AMAN tidak bisa maju karena kekurangan dukungan. Sementara itu dari kubu Nasdem dan PDI Perjuangan masih belum memberikan rekomendasi. Menurut Khalid PDIP sepertinya memiliki calon lain untuk diusung dan pihaknya menghormati itu.
Dominasi para elite partai untuk menentukan calon kepala daerah mempersempit ruang partisipasi publik, padahal peran masyarakat dibutuhkan agar esensi pilkada langsung dapat benar-benar terlaksana. Jelang pendaftaran calon (27-29 Agustus), biasanya ketua parpol akan terus melakukan pertemuan untuk menawarkan jagoannya. Dalam hal ini Ketua umum memiliki andil besar dalam menentukan siapa yang akan mereka usung untuk maju.
Felia Primaresti selaku Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII) melihat besarnya peran elite parpol dalam penentuan calon kepala daerah ini telah ditetapkan oleh UU pilkada. Kandidat yang terpilih harus mendapat dukungan dari partai. Nantinya akan menjadi ajang tawar menawar di antara mereka, dan kriteria modal, finansial dan koneksi yang kuat, akan menjadi standar prioritas. Adapun sosok yang dipilih dan didambakan masyarakat, tidak sedikit pun menjadi bahan pertimbangan.
Politik demokrasi terbukti gagal dalam menjamin pelayanan urusan rakyat secara adil. Setidaknya hal ini nampak dari dua sisi, yaitu: Pertama, efisiensi penggunaan anggaran. Seperti yang kita ketahui bersama, sistem ini membutuhkan dana yang sangat besar dalam proses politiknya. Ada banyak tingkatan pemilihan yang mesti dilalui, dari skala nasional (presiden, wapres dan anggota legislatif) hingga daerah (gubernur, bupati/walikota, kepala desa dan dusun). Dari tiap tahapan pasti ada anggaran yang dibutuhkan. Namun dana yang besar ini tidak juga memberi perubahan yang berarti, kebijakan yang ditetapkan lebih ditujukan untuk para pemilik modal.
Kedua, sisi stabilitas politik dan solidaritas pemerintahan. Seperti yang kita ketahui, demokrasi mengusung kebebasan individu (liberalisme). Namun keberadaannya ternyata hanya melahirkan pemerintahan yang tidak stabil dan solid. Bahkan memungkinkan terjadinya perpecahan baik antara individu dengan partainya atau pecah kongsi antara dua partai yang awalnya bersatu dan saling mendukung.
Hal ini menjadi sesuatu yang memungkinkan terjadi karena model kepemimpinannya didasari oleh politik kepentingan. Rakyat hanya dilibatkan saat proses pemilihan dengan hasil yang tidak luput dari manipulasi dan kecurangan. Saat kekuasaan sudah diraih, mereka sibuk membagikan hasilnya pada partai pendukungnya. Berbagai kebijakan yang ditetapkan pun rentan dengan berbagai kesepakatan politik yang minim akan transparansi.
Lain halnya dengan Islam, sistem ini mampu mengatasi kegagalan yang dialami demokrasi dan mewujudkan keadilan bagi umat. Adapun cara yang ditempuh: Pertama, menjalani proses pemilihan pemimpin secara efisien. Rakyat dilibatkan dalam proses pemilihan dan pengangkatan penguasa yang nantinya akan menjadi wakil rakyat dalam menerapkan dan menjalankan syariat, sementara kedaulatan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Adapun kepemimpinan politik yang diusung adalah tunggal, tidak terpisah antara kepala negara dan pemerintahan. Sementara rakyat hanya dilibatkan dalam proses pemilihan dan pengangkatan penguasa saja. Seorang pemimpin dalam Islam berwenang mengangkat siapa saja yang dianggap memiliki kemampuan untuk membantu Khalifah menjalankan pemerintahan seperti: muawin (wakil kepala negara), wali (setingkat gubernur), amil (bupati) dan struktur negara lainnya. Melalui mekanisme ini pembiayaan maupun soliditas akan berjalan efisien.
Kedua, melakukan proses pengambilan hukum secara efisien. Sebagai kepala negara, Khalifah berwenang mengadopsi syariat untuk dijadikan sebagai hukum yang mengikat seluruh warga negara baik muslim maupun non-muslim. Adapun penggalian hukum dilakukan oleh mujtahid, tidak secara kolektif yang memungkinkan adanya kompromi dalam penetapannya.
Transparansi penetapan hukum pun terjamin, dan mampu dipahami oleh setiap muslim. Karena proses penggalian bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah, sehingga proses pengadopsian telah dianggap sah menurut syariat. Kewajiban untuk merujuk pada kedua sumber itu diperintahkan Allah Swt. dan tercantum dalam HR. malik, al Hakim, al Baihaqi, Ibnu Nashr dan Ibnu Hazm:
Allah telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang pada keduanya, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.”
Demikianlah cara Islam menyolusikan permasalahan kekuasaan. Tidak perlu mengorbankan idealisme dan memelas dukungan untuk bisa berkuasa. Faktanya hanya Islam yang mampu mewujudkannya, dengan menerapkan syariat secara menyeluruh di bawah naungan sebuah kepemimpinan.
Wallahu alam Bissawab