Kelola Tarif PDAM dengan Islam
Oleh Dewi Istiharoh
(Kontributor Suara Inqilabi)
Selama ini kita mengetahui bahwa Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, termasuk sumber daya air di dalamnya. Bahkan, Indonesia menyimpan enam persen potensi air dunia atau dua puluh satu persen di Asia Pasifik. Dengan curah hujan tinggi, bahkan rutin diguyur hujan selama 4-6 bulan per tahun.
Namun, kondisi ini tidak berbanding lurus dengan apa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mereka harus mengeluarkan uang untuk mendapatkan air sebagai pemenuhan sehari-hari. Bahkan, baru-baru ini dikabarkan tarif PDAM naik.
Kenaikan tarif PDAM ini terjadi di beberapa daerah. Misalnya, di Surabaya telah naik dari Rp. 600,- menjadi Rp2.600,- per meter kubik. Hal itu disampaikan secara langsung oleh Eri Cahyadi Walikota Surabaya saat berada di Ruang Kerja Balai Kota Surabaya pada Kamis (24/11/2022). Kenaikan tarif PDAM juga akan terjadi di Indramayu sebesar 30% dari tarif sebelumnya.
Para perempuan dari berbagai kalangan yang tergabung dalam Koalisi Perempuan Indonesia atau KPI cabang Indramayu menolak rencana kenaikan tarif air bersih Perundam Tirta Dharma Ayu Kabupaten Indramayu. Penolakan itu disampaikan kepada para wakil rakyat, dalam audensi di gedung DPRD Indramayu, Jumat (27/1/2023).
Menurut mereka kenaikan ini sangat memberatkan. Para pedagang kecil seperti pedagang makanan baru mulai bangkit dari pandemi. Mereka juga mengeluhkan dagangan belum kembali ramai seperti dulu tapi sekarang malah dihadapkan pada rencana kenaikan tarif PDAM.
Sangat wajar jika warga mengeluhkan kebijakan kenaikan PDAM ini. Dari sisi masyarakat mereka sedang berjuang untuk kembali bangkit setelah pandemi yang membuat perekonomian mereka terpuruk. Beban hidup yang semakin lama semakin mahal juga tidak bisa dihindari oleh warga. Namun, realitanya banyak terjadi PHK, ekonomi mengalami Resesi, masyarakat harus pontang-panting memutar otak agar bisa tetap hidup.
Jadi ketika ada kebijakan tarif dasar PDAM naik jelas memberatkan warga karena air adalah kebutuhan dasar setiap orang. Jika tarifnya naik maka beban biaya hidup semakin bertambah.
Apa yang dialami oleh masyarakat ini sejatinya adalah bentuk kezaliman akibat penerapan sistem kapitalisme oleh penguasa. Sistem ini melegalkan liberalisasi sumber daya alam yang sejatinya adalah milik umum atau rakyat. Konsekuensi liberalisasi pasti akan terjadi komersialisasi. Akhirnya kekayaan umum yang seharusnya bisa dinikmati oleh rakyat justru dijadikan sebagai ladang bisnis. Prinsip inilah yang digunakan oleh penguasa kapitalisme ketika melayani kebutuhan warga negaranya.
Penguasa kapitalisme tidak bisa berkutik di depan para swasta pemilik modal yang menguasai sumber daya alam. Jika pun dikelola oleh negara, negara akan melakukan kerjasama dengan swasta atau bisa jadi pelayanan yang diberikan menganut prinsip untung rugi karena negara juga butuh pemasukan anggaran. Akhirnya pelayanan yang seharusnya didasari atas prinsip jaminan sosial yang gratis justru diberikan dengan prinsip bisnis. Maka, tidak heran air yang notabenenya adalah sumber daya alam yang bisa dinikmati rakyat secara gratis, justru hanya bisa dinikmati ketika berbayar.
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang disebut Khilafah ketika mengurus hajat atau kebutuhan rakyat. Dalam pandangan Islam, kekayaan alam adalah harta kepemilikan umum Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,
“Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli : air, rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hammal,
“Abyadh pernah meminta izin untuk mengelola tambang garam kemudian Rasulullah SAW menyetuju hal itu. Kemudian Rasulullah diingatkan oleh salah seorang sahabat, Wahai Rasulullah tahukah anda apa yang telah anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mau al-iddu).” (HR. Al Bukhori). Rasul SAW kemudian bersabda,
“Ambil kembali tambang tersebut dari dia”. (HR. At-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus menerus. Hadits tersebut merupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Syekh Taqiyuddin an Nabhani memberi penjelasan terkait hal ini yaitu Ketika Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengetahui bahwa tambang tersebut laksana air yang mengalir yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis seperti mata air dan air bor. Maka beliau mencabut kembali pemberian beliau ini karena sunnah Rasulullah SAW dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.
Inilah prinsip ekonomi Islam mengelola kekayaan milik umum. Pertama, tidak boleh ada privatisasi dan kedua, jumlah sumber daya alam itu sangat besar. Kekayaan sumber daya alam dikelolaan negara dan hasilnya harus diberikan kepada warga seluruhnya.
Terkait pemanfaatannya Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitabnya Nidhzam Iqthishadiyah dan Syekh Abdul Qodim dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah menjelaskan ada dua kelompok. Pertama, kekayaan alam yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh warga. Contohnya seperti sungai, laut, padang rumput, sumber air dan sejenisnya. Dalam hal ini khilafah cukup mengatur dan mengawasi pemanfaatannya agar bisa dinikmati oleh seluruh warga dan tidak menimbulkan kemudharatan atau bahaya. Maka jika dalam Khilafah PDAM gratis dinikmati karena air termasuk ke dalam kelompok ini.
Kedua, kekayaan alam yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh warga. Contohnya seperti barang tambang emas, perak, batubara, minyak bumi dan sejenisnya. Agar hasilnya bisa dinikmati diperlukan proses eksplorasi, eksploitasi, tenaga ahli, biaya yang besar dan alat-alat yang canggih. Maka pengelolaan jenis yang kedua ini dibebankan kepada negara dan hasilnya diberikan kepada rakyat baik secara langsung dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung dengan memberikan jaminan kebutuhan publik seperti Kesehatan, pendidikan dan keamanan secara gratis. Karena dibiayai dari pengelolaan sumber daya alam Mandiri ini.
Dengan demikian kenaikan tarif PDAM merupakan akibat masalah sistemik sehingga diperlukan solusi sistemik pula yakni dengan penerapan syariah dalam naungan Khilafah.
Wallahu a’lam bishshawwab.