Kapitalisasi Ibadah Haji Kian Menjadi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kapitalisasi Ibadah Haji Kian Menjadi

Oleh Irma Faryanti

Member Akademi Menulis Kreatif

 

Siapa yang tidak ingin naik haji? Semua pasti berharap bisa beribadah di tanah suci. Namun apa jadinya jika hal itu terganjal urusan materi? harapan pun akan menjadi sekedar mimpi, bak panggang jauh dari api. Semua hanya akan menjadi sebatas angan, yang jauh dari kenyataan.

Seperti itulah nampaknya gambaran yang akan terjadi jika benar pemerintah merealisasikan rencananya menaikkan biaya perjalanan haji. Tidak tanggung-tanggung, jumlah yang ditetapkan pun fantastis yaitu sebesar 69 juta rupiah, tentu lebih tinggi dari yang semula Rp. 39,8 juta. Hal ini disampaikan oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam Rapat kerja dengan Komisi VIII DPR di Kompleks MPR/DPR, Senayan Jakarta.

Ia menyatakan bahwa rata-rata BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah Haji) per jemaah diusulkan sekitar Rp. 98.893.909 dengan rincian: 70 persen untuk BPIH Rp. 69.194.733 dan 30 persennya untuk nilai manfaat yaitu Rp. 29.700.175. Yaqut berpendapat bahwa kebijakan ini ditetapkan agar dapat menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan, di mana BPIH harus mengedepankan prinsip keadilan dan menyeimbangkan besaran beban jemaah. (CNN indonesia, Jumat 20 Januari 2023)

Namun, selain ongkos haji yang naik, pemerintah justru menurunkan biaya hidup (living cost) jemaah haji dari 500 menjadi 100 Riyal, dengan alasan bahwa mereka sudah menerima layanan akomodasi, konsumsi dan transportasi selama di Arab Saudi. Sementara itu, kuota yang diberikan untuk Indonesia tahun ini adalah 221.000, dengan 201.27 (reguler murni), 1.543 pendamping dan 250 orang pembimbing yang terbagi dalam 820 kloter.

Demikianlah fakta pelaksanaan haji di negeri ini, ongkosnya yang melangit semakin membuat rakyat terhimpit dan menjerit. Terjadinya hitung-hitungan biaya ini konon bermula dari panjangnya antrean jemaah yang setiap tahunnya mencapai 5,5 juta. Jika ditotalkan dengan kuota yang diberikan, rata-rata masa tunggunya mencapai 25 tahun. Pada rentang waktu tersebut dana telah masuk pada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang pengelolaannya dilakukan oleh Badan Pelaksana Bidang Investasi Surat Berharga dan Emas. Lalu kemana dana umat tersebut?

Sebelum masuk ke BPKH, dana itu di bawah wewenang Kemenag yang kemudian diinvestasikan pada tiga instrumen yaitu deposito berjangka syariah, Surat Utang Negara (SUN), dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Namun meluas pada investasi lainnya sejak pengelolaan beralih pada BPKH. Demikianlah, hawa bisnis begitu kental di tengah semangat umat menunaikan rukun Islam yang kelima tersebut.

Itulah yang terjadi ketika kapitalisme dijadikan sebagai solusi. Ibadah haji pun tidak lepas dari perhitungan untung rugi secara materi. Dana pembayaran yang notabene adalah amanah dari umat justru dijadikan modal investasi. Mirisnya, pengelolaan ini sah di mata hukum karena tertuang dalam UU 34/2014 yang menyatakan bahwa dalam mengelola keuangan haji BPKH tidak hanya untuk penerimaan saja melainkan juga pengembangan, pengeluaran dan pertanggungjawabannya. Jadi jelas, bahwa kenaikan bukan hanya disebabkan oleh kurs rupiah tapi ada permainan bisnis di dalamnya.

Sebagai sistem yang menjadikan kebahagiaan materi di atas segalanya, tentu kapitalis akan mengutamakan perhitungan untung rugi dalam segala hal. Bahkan pengaturan masalah peribadatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara pun dijadikan sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Urusan rakyat yang seharusnya diayomi tidak lebih dianggap sebagai sebuah transaksi dalam sebuah regulasi.

Berbeda dengan kapitalis, Islam memiliki prinsip pengembangan harta yang khas. Di mana sang pemilik dapat bekerja sama dengan pengelolanya. Cara yang ditempuh berupa investasi dana jemaah jelas kabur dan tidak sesuai konteks karena tidak adanya manfaat bagi umat. Untuk itu perlu ada transparansi dalam pengaturan kuota haji per tahun yang berorientasi pada pengayoman urusan umat.

Sebagai rukun Islam kelima, momen haji tentu menjadi saat yang sangat dinantikan. Orang-orang yang telah merasa mampu sangat berharap bisa menunaikan kewajiban tersebut dan berangkat ke tanah suci. Pelaksanaannya telah menjadi syariat Allah Swt. sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR. Muslim dari Abu Hurairah:

“Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.”

Adapun terkait syarat wajibnya haji, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Qudamah ada lima, yaitu: Islam, berakal, balig, merdeka dan mampu. Kategori mampu itu sendiri meliputi dua hal yaitu dari sisi bekal dan kendaraan. Siapapun yang telah memenuhi persyaratan tersebut dan berkemampuan, maka saat itu ia telah berkewajiban melaksanakannya.

Di dalam Islam tidak akan pernah muncul masalah antrean yang panjang, karena negara akan menetapkan kuota yang realistis. Edukasi bagi para jemaah juga akan diberikan oleh negara agar umat lebih memahami tentang ibadah haji itu sendiri dan merindukan untuk dapat mengunjungi Baitullah dengan fasilitas yang nyaman, aman dan tidak dipersulit oleh administrasi serta birokrasi. Begitu pula dalam masalah ongkos, akan disesuaikan dengan kuota yang ditargetkan per tahun dengan biaya riil, sehingga tidak akan terjadi penumpukan pendaftar yang terus mengular, dengan rentang waktu yang sangat lama.

Demikianlah, dalam naungan Islam tidak akan didapati komersialisasi dalam penyelenggaraan ibadah haji. Penguasa muslim akan melaksanakannya sesuai dengan ketetapan syariat, memberi kenyamanan dalam pelayanan, membangun infrastruktur dan berbagai fasilitas haji lainnya. Semua hanya bisa dilaksanakan dalam sebuah kepemimpinan Islam, di mana hukum Allah akan diterapkan sebagai solusi kehidupan.

Wallahu a’lam Bishawwab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *