Jebakan Mata Uang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Maftukhah (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Bank Indonesia (BI) dan China telah sepakat membentuk kerangka kerja untuk mendorong penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung (Local Currency Settlement).

Kesepakatan itu meliputi penggunaan kuotasi nilai tukar secara langsung dan perdagangan antarbank untuk mata uang Yuan dan Rupiah.
Artinya, kesepakatan yang dilakukan tak lagi menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (AS). (https://finance.detik.com/moneter/d-5194316/bye-bye-dolar-as-ri-china-kini-dagang-pakai-yuan–rupiah)

Saat ini, dolar AS memang masih menjadi mata uang resmi di perdagangan internasional. Sehingga dolar AS dipakai dalam transaksi antar negara.

Sebelum bersepakat dengan China, Indonesia sebenarnya sudah melakukan kesepakatan dengan Thailand dan Malaysia untuk tidak memakai dolar AS untuk transaksi dagang dan investasi. Pembayaran transaksi diganti dari dolar AS menjadi rupiah, baht Thailand dan ringgit Malaysia.
Kesepakatan itu terjadi sejak 2017, saat Bank Indonesia (BI) dipimpin Agus Martowardojo.
Di akhir 2019, Indonesia juga melakukan kesepakatan dengan Jepang untuk melakukan transaksi dagang dan investasi dengan menggunakan mata uang masing-masing negara.

Kesepakatan beberapa negara untuk tidak menggunakan dolar AS tapi menggunakan mata uang negara yang sedang bertransaksi, bagi sistem keuangan negara yang bersangkutan, gejolak nilai tukar masing-masing mata uang bisa lebih terjaga dan stabil, sehingga bisa memberi dampak pada pertumbuhan ekonomi masing-masing negara.

Namun, tetap saja, jika mata uang yang ada masih berpotensi untuk bergejolak. Sentimen pasar, kebijakan sebuah negara, peristiwa regional ataupun internasional pasti akan mempengaruhi nilai tukar mata uang suatu negara. Termasuk utang luar negeri juga akan mempengaruhi kestabilan nilai tukar mata uang.
Karena sistem keuangan dunia masih berpijak pada sistem Kapitalis.

Dalam Kapitalisme, nilai tukar mata uang suatu negara mudah untuk berubah karena sistem keuangan yang ada berbasis pada kepercayaan semata. Tidak dibackup oleh sesuatu yang hakiki sehingga mudah dihegemoni oleh negara yang lain. Dalam hal ini, dolar AS adalah mata uang yang masih kuat di dunia internasional. Artinya, dolar AS menghegemoni mata uang negara-negara yang lain.
Dan faktanya, dolar AS masih menjadi mata uang resmi di perdagangan internasional.

Ingat peristiwa saat George Soros menarik investasinya besar-besaran dari Indonesia, yang membuat tingkat kepercayaan pada rupiah juga akhirnya turun. Kondisi yang menyebabkan krisis ekonomi 1998.

Ini berbeda dengan Islam, yang sistem keuangannya berdasarkan pada emas dan perak. Jadi berlandaskan pada sesuatu yang hakiki. Tidak mudah diintervensi oleh mata uang negara lain. Karena nilainya ditopang dengan emas dan perak, kekuatan yang hakiki. Nilai yang tertera sama dengan satuan mata uang itu sendiri.

Faktanya, negara Islam yang menerapkan sistem keuangannya berdasarkan emas dan perak, tak mudah mengalami krisis, dan memang tak pernah mengalami krisis. Wallahu a’lam[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *