Hapus Beban Pajak! Islam Punya Cara Lebih Adil
Shabrina Nibrasalhuda
Mahasiswi
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% merupakan bagian dari penyesuaian pajak yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN sebelumnya sebesar 10% telah dinaikkan menjadi 11% sejak 1 April 2022, dan akan kembali naik menjadi 12% paling lambat pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pencapaian target penerimaan pajak dalam RAPBN 2025 sebesar Rp2.189,3 triliun.
Selain itu, pemerintah juga memberlakukan PPN atas kegiatan membangun rumah sendiri (KMS). Berdasarkan UU HPP, tarif PPN untuk KMS akan naik dari 2,2% menjadi 2,4% mulai 1 Januari 2025. Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo, menegaskan bahwa PPN KMS bukanlah kebijakan baru, melainkan telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 1994. Penerapan PPN ini bertujuan menciptakan keadilan, karena pembangunan rumah melalui kontraktor dikenakan PPN, sehingga pembangunan mandiri pun seharusnya diperlakukan serupa. Meski demikian, muncul pertanyaan apakah kebijakan ini benar-benar adil.
Dampak kebijakan kenaikan PPN juga dirasakan oleh masyarakat kelas menengah. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelompok kelas menengah turun signifikan dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024, atau berkurang hampir 10 juta orang. Selain itu, alokasi pengeluaran untuk pajak oleh kelompok ini meningkat dari 3,48% pada 2019 menjadi 4,53% pada 2024.
Data ini menunjukkan bahwa kenaikan pajak memberikan beban tambahan bagi masyarakat, terutama kelas menengah, yang justru menjadi pilar utama perekonomian. Kebijakan ini dinilai kurang mempertimbangkan kesejahteraan rakyat, sehingga menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak sepenuhnya memperhatikan kepentingan masyarakat luas. Akibatnya, banyak pihak yang merasa semakin tertekan oleh keputusan tersebut.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu instrumen utama kebijakan fiskal. Kebijakan ini dianggap mampu membantu negara menjaga stabilitas ekonomi dengan menyesuaikan pengeluaran pemerintah berdasarkan pendapatan pajak yang diperoleh. Salah satu cara yang dianggap paling mudah untuk mendapatkan dana tambahan guna menutupi defisit anggaran dan membayar utang negara yang membengkak adalah dengan mengandalkan pajak sebagai solusi penyelamatan keuangan.
Pemerintah secara agresif mengejar penerimaan pajak, sejalan dengan karakteristik sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama negara. Setiap tahun, target pajak terus meningkat, diikuti dengan perluasan subjek dan objek pajak. Dampaknya, masyarakat harus menanggung beban pajak yang semakin berat.
Padahal, Indonesia memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, yang jika dikelola secara optimal, dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. SDA termasuk kategori kepemilikan umum yang semestinya dikelola demi kepentingan bersama. Namun, pengelolaan SDA justru banyak diserahkan kepada pihak asing. Akibatnya, alih-alih memberikan kemudahan bagi rakyat, kebijakan ini semakin membebani mereka yang sudah mengalami kesulitan ekonomi. Kondisi ini dinilai sebagai bentuk ketidakadilan pemerintah terhadap rakyatnya.
Dalam Islam, pemimpin memiliki tanggung jawab besar terhadap kebutuhan rakyat. Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang diberi amanah untuk mengurusi urusan kaum Muslim tetapi ia menutup diri dari kebutuhan dan kefakiran mereka, maka Allah tidak akan mempedulikan kebutuhannya dan kefakirannya pada Hari Kiamat.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Hadis ini mengingatkan bahwa penguasa yang abai terhadap kesejahteraan rakyat akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Pendapatan negara dari kekayaan alam sangat besar sehingga mampu memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk penyediaan perumahan. Dengan pemasukan sebesar itu, negara tidak membutuhkan pajak sebagai sumber pendapatan utama. Dalam sistem Islam, pajak hanya dikenakan dalam kondisi tertentu yang bersifat sementara, dan hanya dibebankan kepada laki-laki kaya saja.
Dalam Islam, konsep pajak seperti dalam sistem kapitalisme—di mana hampir semua barang seperti rumah, kendaraan, bahkan makanan dikenai pajak—tidak dikenal. Nabi Muhammad saw tidak pernah memberlakukan pajak pada masyarakat. Bahkan, ketika mengetahui ada pajak yang dipungut di perbatasan atas barang dagangan yang masuk, beliau melarangnya. Rasulullah saw bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad, disahihkan oleh Al-Hakim). Larangan ini menegaskan bahwa praktik pemungutan pajak seperti dalam kapitalisme bertentangan dengan prinsip Islam.
Meski demikian, Islam mengenal konsep pajak yang disebut “dharibah.” Namun, penerapan dan pengaturannya sangat berbeda dengan konsep pajak dalam kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa dharibah adalah harta yang diwajibkan kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan mendesak ketika kas negara atau Baitulmal tidak mencukupi. Pajak ini bukan sumber pendapatan tetap, melainkan hanya diterapkan dalam kondisi insidental, seperti saat terjadi bencana alam, peperangan, atau kebutuhan mendesak lain, dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, pajak harus dihentikan.
Syariat Islam telah menetapkan bahwa kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat tetap berlaku, baik ada maupun tidak ada dana di Baitulmal. Jika kas negara kosong, beban ini dapat dialihkan kepada kaum Muslim yang mampu secara finansial untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi masyarakat. Namun, pajak ini hanya boleh diambil sesuai dengan kebutuhan mendesak, tanpa tambahan, dan hanya dari kelebihan harta orang kaya setelah kebutuhan dasar mereka terpenuhi.
Kesimpulannya, pajak dalam Islam hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu, bersifat sementara, dan terbatas pada orang kaya. Dalam sejarah Islam, kebutuhan akan pajak sangat jarang terjadi, karena pendapatan tetap negara—seperti dari fai, kharaj, jizyah, dan hasil pengelolaan kekayaan alam—sudah mencukupi untuk membiayai kebutuhan negara dan rakyatnya.
Wallahualam bissawab.