Oleh : Desi Anggraeni Putri (Penggiat Literasi dan Aktivis Muslimah Subang)
Apa yang akan dilakukan, ketika para perampok masuk ke dalam rumah? Mungkin seisi rumah dikeruk habis, tanpa menyisakan si pemilik rumah. Padahal seharusnya yang berhak menikmati itu semua adalah pemilik rumah. Namun, ia menjadi sengsara dirumahnya sendiri. Seperti itulah yang saat ini terjadi pada ibu Pertiwi. Salah satunya pada Provinsi Papua. Daerah yang dijuluki emas hitam ini kekayaan alam begitu luas sampai 40.546.360 hektare. Tak hanya itu, daerah ini merupakan wilayah bagian Indonesia yang menjadi paru-paru Dunia. Namun sayangnya semua telah dirampok habis-habisan oleh para kaum Kapital.
Mulai dari tambang emasnya dikeruk habis oleh perusahaan asal Amerika, Freeport McMoran. Hutannya terkikis karena pembukaan lahan korporasi kelapa sawit. Biota lautnya tereksploitasi genjotan pariwisata yang katanya memperbaiki perekonomian di Papua. Pembangunan infrastruktur digencarkan namun tak kunjung mengubah nasib Papua yang selalu terpinggirkan. Letak geografis dan kekayaan alamnya menjadi rebutan negara kapital besar.
Kebakaran Melanda Papua
Bukan hal pertama kali terjadinya kebakaran hutan yang ada di Indonesia. Semua terjadi atas keserakahan manusia dalam menguasai lahan demi sebuah kepentingan. Bahkan berani dengan cara yang ilegal. Seperti saat ini, Hutan di Papua sedang berada pada ancaman yang serius akibat perluasan kebun kelapa sawit. Yang dilakukan oleh perusahaan raksasa asal Korea Selatan yang bernama “Korindo”, salah satu perusahaan sawit dengan lahan terluas di daerah pedalaman Papua, yang secara sengaja dengan menggunakan api untuk membakar hutan. Namun, hal tersebut dibantahnya, tapi bukti yang kuat mematahkan bantahannya tersebut.
Investigasi visual oleh Forensic Architecture yang berbasis di Inggris menyelidiki hal itu. Dengan menggunakan petunjuk visual dari video udara yang diambil oleh Greenpeace Internasional pada 2013 serta sistem geolokasi, mereka menemukan kebakaran terjadi di konsesi PT Dongin Prabhawa—anak perusahaan Korindo.”Pola, arah dan kecepatan munculnya titik-titik api sangat sesuai dengan arah, pola, dan kecepatan pembukaan lahan di area konsesi. Ini adalah bukti bahwa kebakaran lahan terjadi secara disengaja. Jika api berasal dari luar area konsesi atau terjadi karena kondisi cuaca yang kering pola kebakarannya akan bergerak dengan arah yang berbeda,” ujar Samaneh Moafi, peneliti Forensic Architecture. Padahal di dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Perkebunan di Indonesia, hal itu tidak diperbolehkan atau melanggar dari hukum apabila ada perusahaan menggunakan api, karena menggunakan api adalah cara termurah bagi perusahaan untuk land clearing. Sedangkan dalam investigasi menunjukkan bahwa mereka terbukti menggunakan api dalam pembukaan hutan. (bbcnews.com 12/11/2020).
Hanya Sekedar Iming-iming Yang Menggiurkan
Siapa yang tidak tergoda, sebuah iming-iming dan janji yang sangat halus, dalam melabui rakyat. Hal ini dikarenakan akan ada pemberian uang yang besar dan janji manis yang berupa honor atau upah, biaya pendidikan, rumah bantuan, sumur air bersih, dan akses listrik. Asal rakyat mau memberikan lahannya untuk perusahaan. Tapi sayang, nyatanya, semua hanya lip service semata. Menurut masyarakat Papua justru perusahaan Korindo memberikan uang tidak sebanding dengan yang dijanjikan. Padahal Korindo merupakan perusahaan sawit yang memiliki lahan terluas dibandingkan perusahaan lainnya, bahkan luasnya saja lebih dari 57.000 hektare, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Bukan Sekedar Rugi Pada Ekonomi Dan Lingkungan
Demi sebuah kepentingan dalam berbisnis, para kapital terus semakin kuat mencengkeram situasi politik dan ekonomi Papua. Dengan leluasanya mereka, memainkan kepentingannya di sana dengan terus memanfaatkan lahan hutan, yang seharusnya mengindahkan keseimbangan alam, dan memiliki dampak pada masyarakat sekitar. Tak hanya itu ribuan hektare disana dikuasai korporasi.ajaibnya semua itu hanya terjadi di alam kapitalisme-demokrasi
Inilah bukti pada sistem Demokrasi yang tidak bisa menjaga kedaulatan rakyat, jangankan memberikan kesejahteraan, melindungi kekayaan alam saja dari pihak asing justru malah dibiarkan. Hanya demi keuntungan sepihak saja. Berbeda dengan sistem Islam (Khilafah), selain bisa mensejahterakan rakyat, juga bisa melindungi setiap jengkal tanah dan hak rakyat dari intervensi asing.
Karena takut dengan pengadilan Allah, seorang Khalifah justru akan lebih waspada dalam melakukan tindakan. Apalagi ini sebuah lahan, yang justru harus dinikmati oleh rakyat, dan dikelola oleh pemerintah. Seperti dalam sebuah hadits yang berbunyi :
“Kaum muslim bersekutu (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal : air, padang rumput dan api,” (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah).
Bukan seperti sekarang, dalam sistem Demokrasi justru tanah atau lahan bisa dibeli dengan uang. Makannya pantas, hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki modal besar. Siapa yang kaya, dia akan berkuasa.
Seperti dikutip pada media Muslimah Media Center, inilah langkah negara Khilafah dalam mengelola hutan:
Pertama, hutan termasuk dalam harta kepemilikan umum, bukan milik individu atau negara. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Kaum Muslim bersekutu (sama-sama memiliki hak) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ibn Majah)
Kedua, hak mengelola hutan sebagai harta milik umum berada di tangan negara, bukan swasta atau individu. Islam melarang penguasaan aset milik umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat kepada individu atau swasta. Dalam praktiknya, kepemilikan umum harus dikeola negara dan hasil pemanfaatannya dikembalikan pada masyarakat.
Ketiga, pengelolaan hutan yang terkategori pemanfaatan yang tidak mudah dilakukan individu seperti eksplorasi tambang gas, minyak, dan emas, dibutuhkan peran negara dalam mengelolanya. Sebab, pemanfaatan jenis ini membutuhkan keahlian khusus, sarana dan prasarana, serta dana yang besar dalam memanfaatkannya. Semua ini memerlukan peran sentral negara (Khilafah) sebagai wakil kaum muslim.
Keempat, pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan individu secara langsung dalam skala terbatas, misalnya, pengambilan ranting-ranting kayu, atau penebangan pohon dalam skala terbatas, atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan, dan air dalam hutan, negara melakukan pengawasan dalam kegiatan masyarakat di hutan tersebut. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan.
Kelima, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).
Keenam, hasil pengelolaan hutan dimasukkan dalam kas negara (Baitulmal) dan didistribusikan sesuai kemaslahatan rakyat menurut pandangan syariat Islam.
Ketujuh, negara wajib melakukan pengawasan serta mencegah pengrusakan hutan dan lingkungan sekitarnya. Fungsi pengawasan ini dijalankan lembaga peradilan, yaitu Muhtasib (qadhi hisbah) yang bertugas menjaga hak-hak masyarakat secara umum (termasuk pengelolaan hutan).
Kedelapan, negara memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggaran hutan seperti pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan. Sanksi ta’zir bisa berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.
Begitu indahnya Islam, yang memiliki aturan langsung dari pencipta, sehingga tak ada yang saling dirugikan, justru sama-sama saling menguntungkan. Kecuali mereka yang merasa rugi karena ingin menguasai sebab nafsu yang lebih diutamakan.
Wallahu a’lam bishawab.