Desa Wisata di Sultra Digenjot, Mampukah Ciptakan Perubahan Ekonomi? 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Desa Wisata di Sultra Digenjot, Mampukah Ciptakan Perubahan Ekonomi? 

 Khaziyah Naflah (Freelance Writer) 

155 desa wisata di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) lolos dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).

Kepala Dinas Pariwisata Sultra, Belli Tombili mengatakan, dari 269 desa wisata di Sultra yang mendaftar di Jejaring Desa Wisata Indonesia (JADESTA), beberapa diantaranya dinyatakan tidak lolos, namun jumlah desa wisata yang dinyatakan lolos ADWI 2023 di Sultra terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Ia juga mengharapkan bahwa teman-teman di daerah untuk senantiasa mengoptimalkan potensi-potensi wisata di daerah masing-masing dan ikut dalam ADWI (kanosaranews.com, 27/02/2023).

Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI), diluncurkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pada tahun 2021. Event ini bertujuan menjadikan desa wisata Indonesia sebagai destinasi pariwisata berkelas dunia dan berdaya saing tinggi dan juga diharapkan mampu mendorong semangat pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif di desa wisata tersebut.

Jamak diketahui, jika saat ini sektor pariwisata terus digenjot oleh pemerintah. Pasalnya, sektor pariwisata diyakini mampu menjadi lokomotif kebangkitan ekonomi, sektor ini pula diyakini turut menjadi salah satu penyumbang terbukanya lapangan pekerjaan dan peluang usaha bagi warga sekitar. Namun, benarkah jika keberadaan pariwisata dapat mendongkrak ekonomi daerah?

Omong Kosong Pariwisata Dongkrak Ekonomi Rakyat

Patut disadari, di alam kapitalisme pariwisata merupakan salah satu sumber pemasukan devisa terbesar, maka dari itu berbagai cara akan dilakukan untuk mendongkrak sektor pariwisata tersebut, apalagi Indonesia dianugerahi panorama dan keindahan alam yang sangat luar biasa yang mampu menarik para wisatawan untuk berkunjung ke negeri ini.

Jika ditelisik, dibukanya berbagai pariwisata seyogianya tidak berpengaruh besar kepada ekonomi rakyat, sebab penguasa sesungguhnya di area pariwisata jelas para korporasi. Sedangkan warga sekitar dengan adanya sebuah pariwisata yang jelas akan memassifkan pembangunan infrastruktur dengan dalih menunjang keberhasilan pariwisata tersebut, baik disekitar area wisata ataupun akses menuju wisata akan membuat rakyat harus rela kehilangan mata pencaharian mereka yang hanya sebagai petani dan nelayan. Sebagai penggantinya rakyat ditawarkan pekerjaan menjadi buruh dengan upah gaji yang sangat minimum, seperti juru karcis, cleaning servis, penjaga resort, dll. itupun mereka harus berebut untuk mendapatkan pekerjaan tersebut, sebab terkadang lowongan pekerjaan tidak sebanding dengan para pencari kerja.

Tak sedikit pula akibat pembangunan pariwisata ini membuat rakyat kecil menjadi korban lagi. Dengan dalih harus ikut menyukseskan pembangunan untuk menunjang keberhasilannya, tanah rakyat yang tidak seberapa harus rela digusur, sedangkan kompensasi yang dijanjikan sebagai penggantinya pun terkadang tidak sebanding dengan diharapkan.

Bisnis-bisnis kecil seperti kios, restoran dan lainnya yang melengkapi wisata pun juga harus kalah dengan hotel atau resort-resort yang disediakan oleh para korporasi, sebab hotel-hotel tersebut tersedia berbagai kelengkapan yang tidak mampu diberikan oleh rakyat yang bermodal kecil. Sehingga, kembali para korporasi lah yang akan mendulang keuntungan dibalik pembangunan pariwisata tersebut.

Maka pembangunan pariwisata di alam kapitalis sekuler jelas omong kosong bagi kebangkitan ekonomi daerah, yang ada hanya demi keuntungan para korporasi. Apalagi, jamak diketahui jika apa-apa yang dilakukan penguasa senantiasa mengandeng korporasi atau pengusaha untuk melakukan investasi dalam pembangunan tersebut. Maka yakinlah jika rakyat akan terus menjadi korban dengan dalih kesejahteraan dan kemajuan desa mereka.

Pariwisata Membawa Petaka 

Selain itu, rakyat harus paham bahwa keberadaan pariwisata di alam kapitalisme pun tidak luput dari berbagai bisnis yang justru membawa keburukan dan kemurkaan sang Pencipta bagi negeri ini. Sebab dengan prinsip kebebasannya, bisnis pariwisata sangat kental dengan berbagai aroma bisnis haram, seperti legalisasi miras dan praktik prostitusi, dll. Padahal, aktivitas tersebut jelas diharamkan di dalam Islam bahkan dapat membawa petaka bagi negeri ini.

Rasulullah bersabda ;

“Aku didatangi oleh Jibril dan ia berkata: Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah melaknat khamar, melaknat orang yang membuatnya, orang yang meminta dibuatkan, penjualnya, pembelinya, peminumnya, pengguna hasil penjualannya, pembawanya, orang yang dibawakan kepadanya, penghidangnya dan orang yang minya dihidangkan kepadanya.” (HR Ahmad).

Kemudian Rasul SAW pernah bersabda,

“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah. (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Sehingga, tampak jelas bahwa jika tetap berada pada koridor kapitalisme, maka pariwisata bukanlah membawa kebaikan, namun sebuah petaka bagi negeri ini. Baik dalam ranah ekonomi, maupun budaya dan gaya hidup rakyatnya.

Pariwisata dalam Islam

Semua itu berbeda ketika pariwisata dibangun berasaskan pada sistem Islam. Dalam Islam, pariwisata tidak dijadikan sebagai sumber devisa, sebab Islam memiliki berbagai pemasukan tetap baik dari kharaj, fai, seperlima rikaz, zakat, dan hasil dari pengelolaan sumber daya alam, seperti tambang nikel, emas, aspal, dll. yang semua tersimpan di baitul mal. Baitul mal terbukti menjadi pos pemasukan dan pengeluaran terbaik yang mampu mensejahterakan rakyat.

Di dalam Islam pariwisata justru dijadikan sebagai syiar dakwah untuk memperlihatkan secara nyata kebesaran dan keagungan Allah swt. melalui berbagai ciptaannya. Memperkenalkan budaya Islam yang cantik melalui berbagai peningalan-peningalan sejarah Islam dan memperlihatkan keindahan alam yang menawan, sehingga para turis akan lebih memahami Islam.

Oleh karena itu, patut kita sadari jika pembangunan pariwisata hanya di dalam Islam lah yang akan membawa manusia pada puncak ketenangan jiwa, selain untuk menghilangkan kepenatan, tempat-tempat wisata juga bisa sebagai ajang untuk menguatkan keimanan kita kepada Allah. Dengan demikian tidak ada yang bisa membawa manusia pada kesejahteraan, melainkan hanya pada sistem Islam.

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *