Bullying Makin Merajalela, Butuh Solusi Nyata
Suaibah, S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Umat)
Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari berbagai macam kekerasan. Namun di negeri ini kekerasan seolah menjadi budaya, dan kasusnya semakin meroket dari tahun ke tahun.
Sebagaimana yang diberitakan Kompas.com, pada Senin 15 Mei 2023 menyebutkan bahwa MHD (9 tahun) bocah kelas 2 disalah satu sekolah dasar negeri (SDN) di kecamatan Sukaraja kabupaten Sukabumi Jawa barat, meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya.
Pun, dilansir Detik.com pada 23/2, siswa SMA berinisial ART (15 tahun) di kendari Sulawesi tenggara diduga dibully dan dianiaya senior saat mengikuti Diklat organisasi viral di media sosial. Keluarga korban telah melaporkan kasus ini ke polisi.
2 kasus diatas hanya secuil kasus yang mencuat di media lalu viral. Masih banyak kasus-kasus serupa yang tak terungkap media padahal lebih sadis dan tak beradab bahkan data terkait kasus bullying di lingkungan pelajar jumlahnya dari tahun ke tahun makin meningkat.
Sebagaimana yang dilansir oleh Republika.co.id, Jakarta pada tanggal 6 Maret 2023 menyebutkan bahwa Federasi serikat guru Indonesia (FSGI) menyoroti maraknya tindak kekerasan atau perundungan disatuan pendidikan yang terjadi beberapa waktu belakangan. Berdasarkan catatan FSGI, sepanjang dua bulan pertama pada 2023 sudah tercatat ada 6 kasus tindak perundungan atau kekerasan fisik dan 14 kasus kekerasan seksual disatuan pendidikan.
Fakta dan data ini menambah daftar kekerasan pada anak-anak. Data ini terus meningkat dari waktu ke waktu. Banyak faktor yang menjadi penyebab bullying diantaranya: kurikulum pendidikan, pola asuh keluarga, kondisi masyarakat, dan tontonan.
Dalam sistem sekuler kurikulum pendidikan hanya fokus pada pencapaian akademik yang mengesampingkan norma agama. Jadi sangat wajar jika alumni pendidikan saat ini memiliki prestasi tinggi namun minim akhlak bahkan ada yang sampai mempermainkan agama dan menghina nabi bahkan mengobok-obok kitab suci.
Pola asuh orang tua sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku anak, Keluarga adalah pendidik yang pertama dan utama yang merupakan benteng terbaik untuk mencegah anak-anak berbuat kekerasan. Namun sayangnya, hari ini benteng itu telah rusak seiring dengan rapuhnya institusi keluarga.
Para kaum ibu telah berbondong-bondong keluar rumah untuk bekerja demi membantu mencari nafkah keluarga akhirnya telah mencabut eksistensi ibu sebagai pihak pendidik yang pertama dan utama melakukan pendidikan terhadap anak dalam keluarga. Sementara para ayah merasa perannya adalah hanya mencari nafkah dan berlepas tangan terhadap pendidikan sang anak. Akibatnya, lahirlah generasi motherless dan fatherless yang haus akan kasih sayang dan perhatian sehingga mereka tidak memiliki rasa simpati dan empati.
Selain rusaknya benteng keluarga, masyarakat juga tak kalah rusaknya. Masyarakat yang seharusnya menjadi kontrol sosial tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya karena sistem hidup kapitalisme menjadikan orang bersikap individualis. Beratnya beban hidup yang dihadapi masyarakat saat ini menjadikan setiap orang sibuk memikirkan dirinya sendiri sehingga abai terhadap persoalan sekitar.
Tontonan yang berbau kekerasan sangat berperan dalam membentuk karakter bengis pada anak. Begitu banyak kasus-kasus kekerasan anak yang berawal dari tontonan. Budaya bully dianggap biasa, dianggap candaan padahal sejatinya telah merusak mental korban. Negara yang seharusnya berperan sentral sebagai perisai dan penjaga calon generasi dari kerusakan termasuk bullying ternyata perannya mandul.
Akar masalah dari banyaknya kasus bullying yang makin marak terjadi adalah akibat diterapkannya sistem sekuler kapitalis dinegeri ini khususnya dan dunia pada umumnya. Karena maraknya kasus bullying ini ternyata tidak hanya marak di Indonesia saja, akan tetapi telah menjadi permasalahan global.
Maraknya kasus bullying ini menunjukkan ada yang salah dalam sistem ini. Dalam sistem sekuler kapitalis saat ini, benar salah dan baik buruk itu diserahkan kepada akal manusia yang terbatas maka suatu hal yang wajar jika menimbulkan kerusakan salah satunya adalah maraknya kasus bullying maupun kekerasan fisik.
Penanganan kasus bullying tidak hanya dibebankan kepada individu dan orang tua saja namun harus ada peran negara. Negara abai dalam memberikan pendidikan dalam rangka membentuk kepribadian yang islami kepada anak.
Ini semua disebabkan asas sekularisme yang mendasari kehidupan kita. Mulai dari sikap keluarga, masyarakat hingga regulasi negara, semuanya sekuler. Walhasil, solusi Islam tidak dipakai dalam menanamkan aqidah yang kuat kepada calon generasi penerus, mereka bahkan justru dijauhkan dari Islam. Akibatnya, mereka menjadi pelaku bullying yang seharusnya sebagai calon pemimpin masa depan justru menjadi pelaku kekerasan. Padahal, mereka punya potensi yang luar biasa untuk menjadi harapan umat pada masa mendatang.
Untuk mengeluarkan para calon generasi penerus dari budaya kekerasan bullying ini, maka tak ada jalan yang lain selain kembali kepada Islam. Karena Islam berasal dari yang Maha benar yakni Allah SWT yang sudah pasti akan membawa kebaikan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, sekaligus merupakan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi. Bullying merupakan perbuatan dosa, olehnya itu harus dijauhi bagi tiap individu termasuk anak-anak.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰۤى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَآءٌ مِّنْ نِّسَآءٍ عَسٰۤى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۚ وَلَا تَلْمِزُوْۤا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَا بَزُوْا بِا لْاَ لْقَا بِ ۗ بِئْسَ الِا سْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِ يْمَا نِ ۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْن
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”
(QS. Al-Hujurat 49: Ayat 11)
Untuk mencetak generasi yang anti bullying maka dibutuhkan sinergitas 3 lembaga pendidikan, yakni: pendidikan informal, formal dan non formal.
Pertama, Pendidikan Informal (keluarga). Keluarga adalah pendidik pertama dan utama untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada anak untuk menjadi bekalnya mengarungi samudera kehidupan agar selamat di dunia dan akhirat. Menjadi individu yang memiliki aqidah yang kuat, sehingga takut untuk melakukan perbuatan maksiat termasuk budaya masalah bullying.
Kedua, Pendidikan Formal (Sekolah). Dalam Islam tujuan pendidikan adalah mencetak generasi yang berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami. Sehingga para out put pendidikan adalah orang-orang yang terikat dengan hukum Syara’, sehingga jauh dari budaya bully atau kekerasan pelajar.
Ketiga, Pendidikan Nonformal (masyarakat). Masyarakat sebagai kontrol sosial, melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah umat. Hingga celah untuk melakukan kekerasan itu bisa dihilangkan termasuk budaya bullying.
Negara memiliki kewajiban untuk memberikan tontonan yang mencerdaskan umat, sehingga tidak ada celah untuk melakukan perbuatan dosa termasuk bullying. Jika masih ada pelaku yang melakukan bullying maka negara akan menindak tegas dengan hukum Islam.
Wallahu a’lam bishshawwab.