Oleh: Yahya Abdurrahman
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “man kharaja minath thâ’ati wa fâraqal jamâ’ata tsumma mâta mâta mîtatan jâhiliyyatan wa man qutila tahta râyatin ‘ummiyyatin yaghdhabu lil ‘ashabiyati wa yuqâtilu lil ‘ashabiyati falaysa min ummatî wa man kharaja min ummatî ‘alâ ummatî yadhribu barrahâ wa fâjirahâ lâ yatahâsya min mu`minihâ wa lâ yafî bidzi ‘ahdihâ falaysa minnî”
“Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jemaah lalu mati, dia mati dengan kematian jahiliah. Dan siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok maka dia bukan sebagian dari umatku. Dan siapa saja yang keluar dari umatku memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya dan tidak takut akibat perbuatannya terhadap orang mukmin dan tidak memenuhi perjanjiannya maka dia bukanlah sebagian dari golonganku” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai).
Hadis ini menjelaskan beberapa perkara: Pertama, haram keluar dari ketaatan kepada imam/khalifah dan haramnya memecah belah jamâ’atul Muslimîn (jemaah kaum Muslim). Yang dimaksudkan dengan jamâ’atul Muslimîn di dalam hadis maksudnya adalah jemaah kaum Muslim yang dipimpin oleh seorang imam/khalifah. Ketentuan ini juga dinyatakan dalam banyak hadis yang lain.
Kedua, haram bagi sebagian kaum Muslim memerangi sebagian lainnya, perang yang tidak dibenarkan. Larangan ini berlaku secara individu maupun kelompok. Larangan ini juga ditegaskan dalam banyak hadis lain. Dalam hadis lain, Rasul SAW menegaskan bahawa darah, harta dan kehormatan seorang Muslim haram bagi Muslim lainnya. Larangan ini tidak mencakup perang yang dibenarkan, misalnya memerangi khalifah kedua yang dibaiat, perang ta’dzib terhadap pelaku bughat, dsb.
Ketiga, haramnya menyeru, membela dan berperang untuk assabiyyah. Meskipun hadis di atas redaksinya berita, karena disertai celaan maka maknanya ia merupakan bentuk larangan. Qarinah yang ada menunjukkan ketegasan larangan itu, iaitu qarinah “falaysa min ummatiy“ atau “faqitlatuhu jâhiliyyatun“ atau disebut sebagai râyah ‘ummiyah.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Sahih Muslim menyatakan: “râyah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur. Ishaq bin Rahwaih berkata: ini seperti saling berperangnya suatu kaum karena assabiyyah”.
Ali al-Qari di dalam Mirqatu al-Mafâtîh mengatakan: di dalam kamus al-‘ummiyyah maksudnya kesombongan (al-kibru) dan kesesatan (adh-dhalâl). Al-Qari melanjutkan: “yaghdhabu yakni hâl (keterangan) menjelaskan keadaan dia marah karena assabiyyah iaitu kebiasaan yang dinisbatkan kepada assabiyyah, maksudnya bukan untuk meninggikan kalimat thayyibah. “Aw yad’û -menyeru-“ yakni menyeru yang lain untuk assabiyyah. “Aw yanshuru –menolong-“ yakni dengan perbuatan, pukulan dan perang secara assabiyyah. Imam an-Nawawi berkata: maknanya berperang tanpa pandangan dan pengetahuan disebabkan sikap ta’ashub (taksub/fanatisme) seperti perang jahiliah dan tidak mengetahui yang benar dan yang batil, melainkan ia marah karena assabiyyah bukan karena menolong agama, dan assabiyyah adalah menolong kaumnya di atas kezaliman. Ath-Thaibiy berkata: sabda Rasul “tahta râyah ‘ummiyyah merupakan kinâyah (kiasan) dari jemaah yang berkumpul atau berhimpun di atas perkara yang tidak jelas, benar atau batil.”
Assabiyyah itu berasal dari ushbah (kelompok) dan ashabah (kerabat lelaki). Assabiyyah maknanya ikatan kelompok baik kelompok keturunan maupun yang lain. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jemaah,, kemazhaban, dan seumpamanya, termasuk dalam makna assabiyyah.
Hanya saja larangan atau keharaman ikatan assabiyyah itu bukan bermaksud tidak boleh mencintai suku, daerah, keluarga, jemaah, kelompok, golongan, atau mazhab tertentu. Melainkan maknanya adalah tidak boleh atau haram menjadikan ikatan assabiyyah itu di atas segalanya, di atas kebenaran dan di atas ikatan Islam dan keimanan, di atas ukhuwah Islamiah.
Oleh sebab itu, dalam Islam tidak ada istilah negara saya betul, negara saya salah, ini negara saya, ini bangsa saya, ini mazhab saya, ini jemaah saya dan lain-lain. Dalam Islam tidak ada slogan, “benar atau salah, yang penting negara saya, bangsa saya, mazhab saya, jemaah saya, jemaah saya, guru saya, dan lainnya. Sikap assabiyyah (fanatisme kelompok) itu mesti ditinggalkan seperti yang diperintahkan Rasul SAW.
Sikap assabiyyah itulah boleh menyebabkan berbagai persoalan besar di tengah umat. assabiyyah boleh menyebabkan orang menolak kebenaran, merendahkan orang atau pihak lain juga boleh menjejaskan ukhuwah Islamiah. Bahkan assabiyyah itu boleh menyebabkan orang atau kelompok mempersekusi orang lain atau kelompok lain. Bahkan lebih dari itu, assabiyyah boleh membuat kelompok bahkan bangsa saling berperang dan saling membunuh tanpa alasan yang dibenarkan. Maka assabiyyah menuntun kepada kehidupan jahiliah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]