Adakah Asuransi dalam Islam?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Siti Maftukhah (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menyepakati untuk mengucurkan dana Rp 22 triliun, Selasa (6/10/2020). Suntikan itu dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN) melalui PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PBUI) sebagai holding asuransi.

Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, menyatakan bahwa PMN ini dilakukan untuk membentuk perusahaan asuransi jiwa baru, yakni IFG Life yang akan bergabung dengan holding seluruh perusahaan asuransi. (https://www.idntimes.com/business/economy/auriga-agustina-3/jiwasraya-disuntik-modal-rp22-triliun-kemenkeu-itu-jadi-aset-negara)

Sebenarnya, kenapa asuransi muncul saat ini, bahkan semakin banyak? Karena negara dalam sistem Kapitalis hanyalah berfungsi sebagai regulator saja. Negara memberi peluang kepada investor (baca: swasta) untuk mengelola sumber daya atau kekayaan negeri ini. Padahal kekayaan itu sejatinya milik rakyat yang bisa mencukupi kebutuhan rakyat.

Maka di saat yang bersamaan, lembaga asuransi dipelihara oleh negara. Dibiarkan tumbuh subur. Karena lembaga asuransi ini ‘membantu’ negara dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dari sisi jaminan kebutuhan dasarnya. Karena kesejahteraan rakyat, yang indikasinya adalah terpenuhinya kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar, merupakan tanggung jawab negara.

Inilah penerapan kapitalisme dalam negara ini, yang menjadikan negara hanya sebagai regulator semata. Penyediaan kebutuhan rakyat disediakan tapi bukan melalui negara langsung. Pihak swasta yang menyediakannya, karena aset/kekayaan yang ada dikelola oleh swasta. Tentu saja, dikembalikan kepada rakyat dengan disertai perhitungan untung dan rugi.

Berbeda dengan Islam, dimana negara yaitu Khilafah yang akan memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyatnya. Kebutuhan pokok rakyat dijamin secara tidak langsung, yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Sehingga para laki-laki yang berkewajiban untuk menafkahi keluarganya mampu berpenghasilan.

Jika seseorang tersebut tidak mampu bekerja sehingga tidak mmapu memberi nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, maka kewajibannya akan beralih kepada wali yang lain yang memiliki kemampuan. Jika tak ada wali yang mampu, maka tanggung jawab menafkahi itu dikembalikan kepada negara.

Dan jika seseorang itu mampu bekerja, namun tidak memiliki modal, maka negara membolehkannya untuk bekerja sama dengan warga negara lain baik yang Muslim ataupun non-Muslim. Negara juga akan membiarkan seorang warga negara untuk mengelola tanah mati agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Untuk kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan, maka kebutuhan itu dijamin oleh negara secara langsung. Bahkan negara akan memberikannya secara gratis. Pendidikan, kesehatan dan keamanan memang tidak bisa ditanggung secara individu, maka butuh negara untuk menyediakannya.

Dana yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar publik tersebut akan diambilkan dari Baitul Mal. Yaitu pos kepemilikan umum seperti barang tambang emas, minyak bumi, gas dll. Dan diambilkan dari pos kepemilikan negara seperti kharaj, fa’i dll.

Maka dalam Khilafah, tidak ada tempat bagi asuransi, baik asuransi pendidikan, kesehatan dan masa tua. Atau lembaga keuangan dengan produk keuangan seperti deposito dll. Karena kebutuhan individu dan kolektif telah ditanggung oleh negara. Wallahu a’lam[]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *