TREN ABORSI MENINGKAT, DAMPAK PERGAULAN BEBAS
Oleh: dr. Reda Hayati Manik
Di tengah carut marut negeri ini, angka Aborsi tidak aman (rd: ilegal) melambung tinggi, menambah problem yang harus segera diatasi. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN, 2023) memperkirakan bahwa kasus aborsi setiap tahunnya mencapai 2,4 juta jiwa, dimana sekitar 700.000 kasus terjadi pada remaja.
Tak hanya merambah di kalangan yang belum menikah, bahkan yang telah memiliki pasangan dengan ikatan pernikahan pun kasusnya banyak melakukan aborsi untuk menutupi hubungan terlarang yang mereka lakukan. Seperti kasus yang baru saja terjadi, sepasang kekasih berinisial DKZ (23) dan RR (28) ditangkap polisi karena melakukan aborsi di Pegadungan, Kalideres. DKZ diketahui telah mengandung delapan bulan. (Kompasiana.com/30/8/2024). “Mereka berdua mencari obat untuk mengguguran kandungan dan mendapatkan obat melalui online dengan harga Rp.1 juta,” kata Kapolsek Kalideres Kompol Abdul Jana. (detiknews 2/9/2024)
Aborsi merupakan salah satu bukti tindakan keji yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, menghilangkan benih yang tidak berdosa secara paksa. Dewasa ini, praktek aborsi sudah menjadi hal biasa dan mudah dilakukan dengan membeli obat maupun ramuan yang banyak beredar apatah lagi menggunakan aplikasi berbelanja berbasis online.
Kasus diatas hanyalah segelintir dari banyaknya kasus diluar sana, bak fenomena gunung es terlihat dibagian puncak sedikit, ternyata dibawah sudah menjamur namun tidak terdata. Pergaulan bebas yang menjadi salah satu latar belakang dan memberi sumbangsih angka-angka fenomenal aborsi tersebut. Miris, namun tidak bisa menutup mata bahkan acapkali hubungan seks dilakukan oleh remaja terutama pelajar. Seperti dilansir pada rri.co.id (16/3/24), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, hubungan seks luar nikah remaja 15-19 tahun mengalami peningkatan. Kasus pada perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 59 persen, sedangkan pada laki-laki pada angka 74 persen. Kenakalan remaja seolah mewajarkan hal-hal negatif yang dilakukannya atas dasar keingintahuan tanpa memikirkan efek dari perbuatan yang mereka lakukan. Alih-alih supaya gaul dan tidak dikatain cupu, malah menggali lubang kehancuran menuju masa depan.
Masa muda merupakan masa untuk mencari jati diri. Namun, jika remaja yang tumbuh di tengah-tengah gaya hidup masyarakat yang liberal dan hedonis, tentu hal ini akan mempengaruhi arah hidupnya. Ketika suatu lingkungan yang mengajarkan keburukan, maka remaja tersebut menganggap keburukan atau kemaksiatan yang dilakukan merupakan bukan sebuah pelanggaran. Generasi yang disetir pemikirannya oleh Barat, mengajarkan gaya hidup bebas sebebas-bebasnya hingga tak ada batasan sama sekali. Mulai dari Food, Fun and Fashion yang berkiblat ke barat. Apatah lagi, seolah “fardhu ‘ain” bagi remaja untuk merayakan New Year, V-Day, April Mop dan perayaan lain dari Barat. Menjadikan event-event tersebut untuk berbuat maksiat dan melakukan free sex.
Aborsi berkaitan erat dengan Angka Kematian Ibu (AKI). Data Sensus 2020 menunjukkan bahwa AKI masih di 189 per 100.000 kelahiran hidup, jauh dari target 70 per 100.000 kelahiran hidup dalam rencana pembangunan berkelanjutan. World Health Organization (2020) memprediksi aborsi berkontribusi sebanyak 4,7% – 13,2% terhadap AKI. Penelitian Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes, 2012) menemukan bahwa 4,1% AKI di Indonesia berkaitan dengan komplikasi akibat keguguran, termasuk aborsi. Tindakan aborsi ini mempertaruhkan nyawa si Ibu. Sudahlah melakukan hal yang salah, membunuh janin, ditambah menukar nyawa dengan kenikmatan hawa nafsu semata.
Adapun dampak lain dari pergaulan bebas (Free Sex) yang dilakukan yaitu tertularnya berbagai penyakit Infeksi Seksual seperti Gonorhea, Ulkus Mole, Sifilis, dan sejenisnya. Paling mengerikan dan mematikan, orang-orang yang melakukan seks bebas, bergonta-ganti pasangan akan terjangkit HIV/AIDS yang sampai saat ini belum ada obatnya. Kementerian Kesehatan melaporkan kasus HIV/AIDS di Indonesia masih terbilang tinggi. Kemenkes memprediksi ada 500 ribu lebih kasus HIV yang tercatat hingga September 2023. Berdasarkan jumlah kasus estimasi sampai September 2023, tercatat ada 515.455 orang dengan HIV (ODHIV) di RI. Dari total tersebut, sebanyak 454.723 orang atau sekitar 88 persen di antaranya sudah terdeteksi atau mengetahui status HIV dirinya. Secara umum, HIV/AIDS ditularkan melalui jarum suntik, tranfusi darah, namun yang paling banyak menyumbang jumlah penderita HIV/AIDS ditularkan melalui hubungan seks.
Di tanah air tercinta ini, juga sedang menghadapi seabrek masalah mulai dari stunting masih dengan angka yang tinggi, pornografi yang tanpa batas aksesnya, judi online kian merajalela merusak anak-anak, narkoba tak pernah tuntas. Sekulerisme, pemisahan agama dari kehidupan dan Hak Asasi Manusia (HAM), dua hal yang menjadi tameng ampuh bagi pelaku pornografi dan free sex dalam melancarkan misinya untuk merusak generasi. Setiap warga Negara diberikan jaminan untuk kebebasan berperilaku, mengekploitasi tubuhnya sendiri. Sehingga, siapapun yang melarang atau mengintervensi, termasuk agama sekalipun dianggap melanggar HAM.
Belum lagi, sekolah yang harusnya menjadi tempat kedua setelah keluarga memberikan hal-hal baik dan mendidik pelajar sebagaimana mestinya. Namun, sering terjadi kasus-kasus guru atau tenaga pendidik melakukan pelecahan hingga berzina dengan muridnya, sesama guru, sesama murid, seolah lumrah perlakuan yang menjijikkan itu. Bukannya menjadi contoh tapi merusak image dari pendidik. Sanksi dan hukuman yang diberikan di sistem ini tidak memiliki efek jera sehingga pelaku melakukan berulang-ulang kesalahan yang sama, tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Fakta-fakta diatas, begitu menyayat hati, generasi yang seharusnya menjadi aset negara demi menuju Indonesia Emas 2045, ledakan bonus demografi hanyalah anak-anak yang jauh dari harapan bangsa. Bukannya membawa negeri ini menjadi lebih maju, malah terbelakang karena sikap yang merusak diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan Negara. Pantaskah kita hanya diam berdiam diri dan menonton kehancuran waktu demi waktu? Tentu tidak, menyelamatkan para generasi merupakan keharusan yang kita lakukan, ambilah peran walau kecil demi membentuk anak-anak yang berakhlak baik yang dapat bermanfaat bagi negeri ini, bukan hanya menjadi sampah masyarakat.
Dimulai dari unit terkecil dalam Negara yaitu keluarga, tempat awal anak dibentuk dari segala sisi. Wadah pembelajaran bagi seorang anak yang menentukan tindak tanduk kedepannya saat terjun ke tengah-tengah masyarakat. Orang tua harus memahami pentingnya dalam mendidik anak sesuai usianya, menancapkan aqidah yang benar sebagai poros utama dalam menjalani kehidupan, sehingga menjadi sosok yang memiliki ketakwaan. Tak hanya itu, masyarakat yang menjadi lingkungan ketika anak keluar dari tempat ternyamannya yaitu keluarga haruslah menjadi tempat yang aman, mensupport dan amar ma’ruf nahi munkar. Bentuk penjagaan kita dan tanggungjawab bahwa saling menasehati dalam kebajikan dan ketaatan.
Dan yang paling penting, Negara juga harus ikut andil dalam mencetak generasi emas, berakhlakul karimah. Menyiapkan sekolah-sekolah dengan kurikulum yang baik, menata pergaulan antar perempuan dan laki-laki, menutup segala celah mengarah ke zina yang berdampak dilakukannya aborsi, memantau dan mengontrol secara berkala terhadap tayangan-tayangan baik di offline maupun online yang merusak, membuat kebijakan dan sanksi yang tegas terhadap pelaku atau pelanggar.
Ketiga pilar ini yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan aturan yang diterapkan Negara harus sinergis satu sama lain berjalan secara simultan untuk menghasilkan generasi bersakhsiyah Islam. Pemikiran, perasaan dan peraturan yang satu hanya dapat terealisasi ketika Islam diterapkan secara kaffah, di setiap sendi-sendi kehidupan, tujuannya untuk menjaga umat manusia dalam kebaikan dan ketaaatan kepada Allah dan RasulNya.
Wallahu’alam Bish-shawwab