Oleh : Muslihah
Sebelumnya tak ada yang terlihat berbeda, semua baik-baik saja.Tiba-tiba separuh badan sebelah kiri ayah mertua tak bisa digerakkan. Orang menyebutnya mati separuh. Saat itu ayah mertuaku tidak bisa menerima kenyataan itu. Menjadikan mudah tersinggung dan marah. Selalu minta perhatian jika ditinggal sendiri. Menjadikan putrinya merasa kesel dan capek. Kemudian ayah mertua minta pulang ke rumahku.
Aku bersyukur bisa merawat di penghujung kehidupannya. Padahal di masa lalu tak sekalipun mau tahu kediamanku karena penghasilan suamiku yang hanya cukup untuk menutup kebutuhan kami, bahkan sering kurang.
Aku menyadari hal demikian karena beliau dibayangi kejayaan masa lalunya. Saat masih bersama orang tua, beliau adalah orang kaya. Namun saat berumah tangga dan punya anak, pelan-pelan kekayaan pun habis. Bahkan saat aku menikah dengan anaknya beliau tidak punya rumah. Bisanya kontrak sebuah rumah petak yang kecil dan kumuh.
Bisa jadi beliau selalu memimpikan kehidupannya yang berjaya bisa kembali, mungkin dari anak-anaknya. Hal ini beliau melihat bisa terealisasi dari putri pertamanya yang menjadi istri seorang tentara, yang dibanggakannya. Apalagi secara finansial bisa mencukupi kebutuhan beliau sehari-hari. Sementara anak-anak yang lain tidak ada yang punya kekayaan lebih. Jadilah putri pertama dan menantunya menjadi kebanggaan.
Ternyata itu tidak mutlak, kebanggaan terhadap purti pertama dan menantunya menjadikan beliau tak keberatan melakukan pekerjaan rumah. Dari memasak bahkan sampai mencuci baju. Hal ini berjalan bertahun-tahun disaksikan cucu-cucunya, anak-anak putri pertama. Seiring pertumbuhan mereka sejak kecil hingga dewasa. Entah apa dan bagaimana mereka menjadi tidak memulyakan kakeknya, malah cenderung seperti menganggap remeh dan merendahkan kakeknya.
Hingga suatu hari saat sang kakek sakit dan seperti biasa minta dirawat di rumah putri pertamanya, salah satu cucunya berkata dengan sinis,
“Ma, mengapa kakek jika sakit selalu di rawat di sini? Bukankah anak kakek bukan hanya Mama?”
Dan ucapan itu didengar telinganya sendiri. Sedih hatinya serasa bagai teriris sembilu. Bersama itu suamiku menawarkan untuk menginap di rumah kami. Saat beliau bersedia aku gembira karena bisa berbakti di masa tuanya.
Saat itu ayah mertua belum terkena stroke. Ternyata hanya seminggu beliau menginap di rumah kami. Padahal kupikir tak lagi meninggalkan rumah kami menuju rumah kakak ipar, karena disakiti hati oleh cucunya. Tapi aku salah.
Dua minggu setelah meninggalkan rumahku itulah beliau terkena serangan stroke. Separuh badan sebelah kiri tak bisa digerakkan. Dalam sakitnya beliau minta pulang ke rumahku.
“Ayo pulang ke rumahmu, Le”
Itulah yang diucapkan saat dijenguk suamiku.
“Antar aku ke rumah Ipung,” pintanya kepada putrinya.
Bahkan sampai dua minggu di rumahku, beliau masih minta diantar ke rumah kami. Hingga suatu hari kusuapi beliau dengan menu yang khas yang tak pernah ia rasakan di tempat lain selain di rumahku.
“Seperti di rumahmu, ya, Nduk?”
“Iya, Pak, ini memang rumah saya. Perhatikanlah, di rumah ini hanya ada saya dan anak-anak saya, tidak ada orang lain. Bapak memang di rumah saya”
Sejak saat itu beliau tak minta diantar kemanapun. Beliau cenderung diam, apalagi sejak terkena stroke ucapannya menjadi tidak jelas.
Merawat ayah mertua yang sakit membuka lebar mataku bahwa kekuatan manusia itu hanya titipan. Hanya pinjaman dari Yang Maha Kuat.
Awalnya anggota tubuh kanan masih bisa digerakkan, baik tangan maupun kakinya. Berucap sepatah dua patah kata masih mampu. Saat dimandikan didudukkan dikursi dengan bersandar di tembok masih bisa.
Seminggu kemudian kemampuan itu sudah berkurang, tak mampu lagi di dudukkan, meski bersandar di tembok. Lalu tak bisa menggerakkan semua anggota badannya. Dan selanjutnya tak mampu menelan makanan yang aku suapkan, meskipun bubur sekalipun. Bahkan kemudian untuk menelan air saja tidak mampu.
Dalam keadaan demikian kami meminta bantuan seorang perawat yang kami kenal agar memasang infus pengganti makan minumnya. Cukup menghabiskan satu botol infus. Selanjutnya pasang sonde untuk bisa memasukkan makanan dan minuman langsung ke lambung tanpa melalui mulut.
Aku ingat kepada ayahku yang juga sudah tua. Segera kutelepon beliau.
“Assalamualaikum”
“Wa alaykumussalam”
“Bagaimana keadaan bapak? Bapak sehat?”
“Iya. Bapak sehat”
“Masih bisa merasakan nikmatnya makan nasi kan, Pak?”
“Ya, iya. Ada apa kok tanya demikian?”
“Bapak mertua sudah tak bisa menikmati nasi lagi,” ucapku sambil menahan tangis.
“Beliau sudah tak mampu menelan”
Dua hari kemudian ayah dan ibuku menjenguk ayah mertua di rumahku.
Ayah dan ibu prihatin melihat besannya yang tidak berdaya diatas tempat tidur.
Makan dan minum lewat sonde berlangsung selama dua minggu, kemudian Allah memanggil ke haribaanNya. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Tiga bulan aku merawat ayah mertua. Ya, hanya tiga bulan. Terimakasih, Gusti, Kau beri aku kesempatan merawat beliau. Kau beri aku kesempatan untuk berbakti.
Demikianlah manusia lemah tak punya daya kekuatan apapun kecuali Allah memberikannya. La haula wa la quwwata illa bilLah