My Sadness is Small and Their Sadness is Greater

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Yusuf Kushandiansyah (Santri SMP Bina Insan Mandiri Ponpes Al Ihsan Baron Nganjuk)

Bagiku kakek Cak memiliki ruang tersendiri dihatiku. Beliau adalah abang kandung dari datok Min kakek dari pihak ayah. Sedangkan aki adalah kakek dari pihak ibu. Datok Min dan Aki telah berpulang ke hadirat Allah SWT saat aku masih kecil. Sehingga kenangan bersamanya tidak sebanyak kenangan diriku bersama kakek Cak.

Kakek Cak sangat aku sayangi. Umurnya tidak muda lagi. Beliau sudah tua dan renta. Namun masih bisa berjalan walaupun beberapa meter saja. Beliau orang yang ringan tangan bukan dalam artian suka memukul, melainkan suka membantu orang, dermawan, selalu memberi uang bukan saja kepadaku. Beliau menyanyangiku meskipun aku bukan Cucu kandungnya.

Ketika mondok dan lautan lepas jarak yang memisahkan kami, aku selalu teringat dirinya. Sudah lama aku tidak berjumpa dengannya dan ingin bertemu dengannya.

Tiba saatnya perpulangan dari pondok setelah berbulan bulan lamanya aku di sana. Akhirnya pulang kerumah adalah suatu kebahagian, bertemu dengan orangtuaku dan juga kakek Cak.

Berita itu datang sekaligus membuatku sedih. Berita tentang beliau yang sering sakit-sakitan. Ketika aku bersambang kerumahnya, beliau sedang terbaring lemas di kasurnya. Penyakit gula darahnya kambuh. Dan luka dikakinya itu semakin membesar. Sehingga beliau tidak bisa berjalan kesana kemari lagi.

Sampai tiba aku harus kembali ke pondok beliau masih sakit. Dan keesokan harinya aku pulang ke pondok.

Setelah satu minggu di pondok, berita kesembuhan kakek Cak, ayah sampaikan via telpon.

Hari demi hari, bulan demi bulan aku lewati hingga waktu perpulangan pun tiba untuk ke dua kalinya. Aku pulang ke kampung halamanku.

Setelah beberapa lama di pondok aku sangat rindu dengan orangtuaku dan tak lupa kakek tersayang.

Ketika aku datang ke rumahnya aku disambut dengan suka cita. Kakekku sangat bahagia ketika aku datang. Beliau berpesan “ cuk, kalau kamu akan balik ke pondok jenguk dulu Kakek, ya”.

Sudah dua minggu aku tidak kerumah kakek Cak. Suatu sore, dimana besoknya mengharuskanku untuk pulang ke pondok, aku dan ayah medapat kabar bahwa kakek telah meninggal dunia.

Aku terkejut dan menangis tanpa suara dan air mata ini mengalir bagai bah. Namun itu tidak dapat merubah semuanya. Ini adalah takdir dari Allah SWT.

Pelajaran yang bisa kuambil dari peristiwa ini adalah pergunakanlah waktu sebaik mungkin untuk menyenangkan keluarga kita dan jangan lengah dari beribadah kepada Allah SWT. Karena kematian sungguh dekat dengan hidup kita.

Dua minggu sudah, aku berada di pondok. Wajah yang keriput dan renta masih terbanyang dipelupuk mataku dan benakku. Kesedihan yang sangat mendalam di hatiku. Namun pada hari ini kutemukan kesedihan yang tidak sebanding dengan kesedihan yang kurasakan.

Yakni kesedihan yang di rasakan oleh saudara saudara kita muslim Uighur di China.
Mereka kehilangan pekerjaan, tempat tinggal, orangtua, anak, kerabat, aqidah, masa depan dan harga diri mereka.

Siksaan itu dilakukan pemerintah china supaya mereka mengingkari keyakinannya. Persis seperti apa yang dialami Rasulullah Saw dan para sahabat ketika mempertahankan keyakinan.

Penyiksaan kaum kafir quraisy sama dengan penyiksaan penguasa Cina pada muslim Uighur. Luka, darah dan airmata tidak lepas dari keseharian mereka.

Sungguh betapa sakitnya hidup seperti yang mereka alami. Tiada hari tanpa penyiksaan. Ayah dan ibu mereka di culik dan di bunuh. Anak-anaknya dicekoki paham komunisme.

Kita disini, dibumi Indonesia dengan penduduk muslim terbesar didunia, pemerintahnya bersikap “bodo amat” tidak peduli dengan penderitaan mereka. Dikarenakan terhalangi batas beda negara.

Bukankah umat muslim itu adalah satu bangunan. Ketika salah satu tiang roboh, maka akan merobohkan seluruh bangunan itu?

Kita sebagai umat muslim seiman, haruslah membantu saudara kita di china sana. Baik fisik maupun batin dengan doa-doa, kita kerahkan untuk saudara kita di china.

Aku merasa kesedihan mereka melebihi kesedihanku saat kehilangan kakekku tersayang.

Sudah waktunya untuk bersatu. Jangan biarkan waktu berlalu tanpa meninggalkan jejak kebaikan. Karena sesungguhnya waktu lebih berharga dari pada harta. Dan kini waktunya untuk meyelamatkan harga diri kita, khususnya umat muslim dengan menegakan hukum dari Yang Maha Pencipta. Hukum yang adil dan sangat menghargai harga diri umat muslim dan non muslim in the world. Wallahu’alam bish shawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *