Kurikulum Merdeka dan Kapitalisme Pendidikan 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Kurikulum Merdeka dan Kapitalisme Pendidikan 

Citra Amalia

Kontributor Suara Inqilabi

Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau yang sering disingkat MBKM merupakan bagian dari kurikulum pendidikan terbaru Indonesia yang diluncurkan sejak Desember 2019 oleh menteri pendidikan dan kebudayaan, riset dan teknologi, Nadiem Makarim. Secara sederhana program merdeka belajar dan kampus merdeka adalah bagian dari kurikulum pendidikan Indonesia yaitu kurikulum merdeka yang lahir di masa pandemi sebagai solusi dari permasalahan pembelajaran yang serba adaptif di masanya. Apabila ditelusuri dari tujuan dan arahannya, MBKM sendiri yang hadir di Indonesia di masa pandemi dan setelahnya selalu dianggap sebagai solusi terhadap permasalahan pendidikan saat ini. Bahkan telah menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah dalam kurun waktu terakhir sehingga sangat terlihat semakin populer di kalangan akademisi dan semakin banyak penerapannya di sekolah hingga perguruan tinggi.

Kurikulum Merdeka disebutkan memiliki rancangan yang lebih sederhana dan fleksibel sehingga diharapkan akan membuat guru fokus pada materi esensial dan peserta didik pun lebih aktif sesuai dengan minatnya. Namun, meskipun sebagian pihak menganggap memberikan angin segar, problematika berkelanjutan pun justru semakin terlihat, dimulai dari bengkaknya dana, kesalahan informasi, kesibukan yang luar biasa dari para guru untuk mengikuti pelatihan, tak lupa tentu saja kebingungan siswa, guru, mahasiswa, dosen hingga akademisi lainnya.

Kesejahteraan semu yang ditawarkan ketika kelulusan tercapai dan segera diserap pasar karena skill mumpuni serta kemajuan palsu yang digadang-gadang akan membawa Indonesia muncul di mata dunia terus distandarkan pada hasil akhir semata. Akibatnya terlihat jelas, pemuda makin jauh dari haknya terhadap tujuan pendidikan dan menuntut ilmu serta untuk mengurai permasalahan yang ada di masyarakat.

Lebih dari itu, masa depan pemuda dan negeri ini makin terbajak akibat karakter sistem ekonomi kapitalisme yang makin eksploitatif hingga pada potensi berpikir. Artinya, transformasi sistem pendidikan agenda MBKM malah semakin memperkuat tujuan sekularisasi, berakibat pada sistem pendidikan yang menempuh arah yang makin salah. Pemuda dan negeri ini makin terbebani krisis sistem pendidikan yang makin parah dengan berbagai dimensinya yang menghasilkan lulusan bermental pekerja saja, minus pemikir dan pengamal.

Namun sebagaimana disebutkan bahwa kehadirannya di tengah bangsa Indonesia saat ini justru membingungankan, sehingga semakin menyingkap kegagalan peradaban kapitalisme-liberalisme untuk memberikan masa depan cerah bagi generasi muda masa depan.

Bagaimana tidak, transformasi sistem pendidikan yang terjadi semakin menunjukkan hegemoni peradaban kapitalisme-liberalisme dunia yang sedang berlangsung. Kegagalan yang dapat langsung kita lihat adalah pada aspek krisis moral dan akhlak yang semakin menjadi-jadi di balik kata merdeka belajar. Berbagai programnya senantiasa mengusung program inklusi dan toleransi, sehingga atas nama kebebasan dan kemerdekaan membawa Indonesia justru semakin dekat dengan liberalisasi nyata sebagaimana yang terjadi di sekolah-sekolah Barat.

Fakta pergaulan bebas hingga dispensasi menikah karena married by accident (mba) semakin menjadi berita lumrah di era kurikulum merdeka ini. Belum lagi ketidaktegasan terhadap kaum LGBT yang dapat aman terlindungi dengan kata inklusif namun di sisi lain sangat tegas ketika aturan yang berkenaan dengan aturan agama seperti misalnya berjilbab atau menutup aurat.

Sekularisasi atau pemisahan aspek dunia dan akhirat dalam sistem pendidikan saat ini pun nyatanya makin terlihat ketika berbagai program ditunjukkan untuk menguatkan kompetisi SDM generasi muda untuk kompetisi global, agar dapat dilihat dunia, yang mana berorientasi kepada materi dan hasil semata (contoh PISA dan TIMSS). Guru dan pendidik pun dibuat senantiasa sibuk dengan program Sekolah, pelatihan dan pembinaan yang menimbulkan pertanyaan dibenak kita tentang sebenarnya apakah tugas utama guru sebagai pendidik.

Kepentingan Sekularisme ini pun secara tidak langsung didukung oleh rezim berkuasa melalui Kemendikbudristek di laman resminya tentang “kompetensi global” sebagai kompetensi yang harus dicapai dan ditambah “berkarakter Pancasila” sebagai karakter yang harus dibentuk. Dinyatakan bahwa, “Melalui visi Merdeka Belajar, Guru Penggerak diharapkan dapat mencetak sebanyak mungkin agen-agen transformasi dalam ekosistem pendidikan yang mampu menghasilkan murid-murid berkompetensi global dan berkarakter Pancasila. (kemendikbud.go.id).

Hal ini pun semakin diperkuat dengan kesesuaiannya dengan program turunannya yaitu moderasi beragama yang senantiasa dianggap sebagai solusi bagi ekstrimis sayap kiri dan kanan yang ada, yang pada kenyataannya justru juga memperkuat sekulerisme dan memberi ruang perlindungan untuk bertumbuhnya komunitas minoritas seperti LGBT.

Pendidikan pun secara langsung akan diarahkan untuk memiliki tujuan utama yakni bisa mencetak “pekerja” sesuai dengan keinginan industri. Dengan demikian, kampus yang sejatinya sebagai pencetak intelektual berubah menjadi sekedar pencetak tenaga terampil bagi kepentingan korporasi. Tak ada lagi motto pengabdian masyarakat, yang ada justru insan penghamba kapitalis.

Permasalahan output dari lembaga pendidikan tidak semata-mata ada pada persoalan pengangguran terbuka. Namun, generasi muda lulusan perguruan tinggi ini dididik menjadi insan yang individualistik tak peduli dengan kondisi permasalahan umat, tersibukkan dengan kondisi keuangan semata. Bahkan sekolah hanya untuk mengejar gelar. Lalu dengan dimunculkannya program ini justru akan “semakin” memperparah kondisi generasi muda kita yang seolah kuliah untuk hanya sebatas untuk bisa kerja.

Padahal di dalam pendidikan Islam ilmu tak hanya dilihat dari hasil akhirnya saja, proses yang dilalui dan cara yang digunakan menjadi tolak ukur. Sistem pendidikan Islam pun jelas prinsipnya yang bersumber dari pedoman umat muslim yang menjadi jawabannya dan menuntut kita untuk berjuang mengubah kondisi masyarakat bersama. Sebagaimana Allah Swt. telah mengingatkan perkara ini,

“Sesungguhnya, Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)

Wallahu’alam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *