FOMO, Pembajakan Potensi Remaja Gaya Baru
Oleh. Ukhti Nuril Fathi
(Pendidik dan Aktivis Dakwah)
Penggunaan media sosial di era globalisasi kian meluas. Ibarat pisau bermata dua, media sosial memiliki nilai positif juga negatif, tergantung bagaimana cara menyikapinya. Salah satu pengaruh negatifnya muncul fenomena “Fear of Missing Out” atau yang dikenal dengan FOMO. Kondisi ini merupakan sebuah perasaaan takut tertinggal sesuatu yang baru, seperti trend, informasi, atau pengalaman. Adanya FOMO ini menimbulkan gaya hidup yg hedonis, konsumtif, pragmatis bahkan apatis. Naudzubillah.
Berdasarkan artikel yang dilansir dari bandungbergerak.id (10/1), menurut survei UNICEF 2019 menemukan 35% remaja Indonesia mengalami kecanduan internet yang berdampak pada kesehatan mental. FOMO membuat remaja selalu merasa perlu memeriksa media sosial bahkan saat belajar dan bersosialisasi. Akibatnya muncul perasaan cemas, depresi, hingga gangguan tidur karena terbebani konten media sosial. Secara umum, remaja perempuan lebih rentan mengalami FOMO dan perbandingan diri yang merusak harga diri dibandingkan dengan remaja laki-laki.
Tidak hanya itu, bahkan lebih parahnya lagi trend FOMO ini bisa mengakibatkan pelakunya tega melakukan tindakan yg keji. Sebagaimana dilansir dari laman cnbcindonesia.com (23/8), mengenai pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) karena terjerat pinjol akibat dari FOMO. Karena takut tertinggal trend terbaru, mahasiswa ini memaksakan diri untuk mengikuti trend yang sedang hype tanpa melihat tingkat kemampuan ekonominya sendiri. Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bernama Altafasalya Ardnika Basya (23) tega membunuh juniornya sendiri, Muhammad Naufal Zidan (19). Altaf mengaku membunuh Naufal bukan karena ada dendam namun terjerat pinjaman online akibat FOMO, sehingga berkeinginan menguasai harta milik korban untuk melunasi hutang-hutangnya.
Sistem kapitalis-sekuler yang diterapkan saat ini melahirkan gaya hidup liberal dan memandang semuanya berdasarkan materi. Akibatnya para pemuda hanya disibukkan oleh perihal food, fashion, fun dan film tanpa mengindahkan potensi yang seharusnya di manfaatkan sebaik mungkin. Usia remaja memiliki potensi dan rasa keingintahuan yang cukup tinggi, sehingga harus dikelola dengan baik dan benar. Apabila tidak dikelola dan diarahkan dengan baik dan benar, alhasil mereka hanya disibukkan oleh pemenuhan syahwat dan perut saja.
Negara yg menerapkan sistem Islam memandang pemuda sebagai tonggak peradaban untuk kebangkitan islam. Oleh karena itu, Islam memiliki tiga pilar pembentuk dan penjagaan generasi. Pertama, peran orangtua. Islam menganjurkan kepada setiap orang tua agar memberikan pendidikan agama dan pengasuhan terbaik kepada anak-anaknya, sehingga membentuk individu yang bertakwa. Kedua, peran masyarakat. Masyarakat tidak bersikap apatis, tapi berpartisipasi melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Ketiga, peran negara. Negara akan menerapkan kurikulum yang menghasilkan generasi bertaqwa dan cerdas, kurikulum yang dilandasi keimanan. Negara ini pula yang akan mengatur infokom sehingga tidak ada satu pun situs atau tayangan televisi yang merusak akhlak generasi.
Inilah tiga pilar untuk membentuk masyarakat yang berakhlak. Tidak hanya menyelesaikan masalah generasi, tapi juga menyelesaikan masalah umat (muslim dan non muslim) yang lainnya. Dengan potensi luar biasa yang dimiliki kaum muda inilah, insyaallah dapat mewujudkan kembali kejayaan peradaban yang pernah dicapai oleh umat Islam.
Wallahu ‘alam bish-shawwab.