Budaya Kekerasan pada Generasi  Cermin Bobroknya Sistem Kehidupan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Budaya Kekerasan pada Generasi 

Cermin Bobroknya Sistem Kehidupan

Oleh Aisyah Humaira 

(Aktivis Muslimah)

Pemuda merupakan generasi manusia yang idealnya sedang dalam masa kuat dan produktif menjalani aktifitasnya untuk membawa perubahan yang bermanfaat sebagai manusia untuk sesama. Darinya peradaban mulia diharapkan dapat ditegakkan. Tapi apa jadinya jika pada kenyataanya pemuda yang diharapkan menjadi penentu lahirnya peradaban yang mulia ini justru menghinakan arti manusia itu sendiri? Inilah fenomena yang akhir-akhir ini kembali menggegerkan Indonesia.

 

Kasus kekerasan di kalangan anak muda memang semakin marak terjadi. Faktanya, dapat dilihat dari 3 kasus tindakan kriminal berikut oleh generasi muda yang belakangan ini sedang viral. Pertama, melansir dari laman website cnnindonesia.com (25/02/23) diketahui kasus penganiayaan terhadap Cristalino David Ozora (17) oleh Mario Dandy Satriyo (20). Mario Dandy memukul, menendang, dan menginjak kepala David beberapa kali. Jahannamnya, Mario Dandy ternyata tidak sendiri, bersama beberapa temannya yang masih berumur belasan tahun juga terseret kasus ini. Diduga karena mereka memprovokasi Mario Dandy dan membiarkannya melakukan kekerasan terhadap David.

 

Berikutnya bersumber dari laman website kompas.com (25/02/23) yang juga viral adalah pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP berinisial J yang berumur 14 tahun di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Korban meninggal usai diperkosa secara beramai-ramai oleh beberapa temannya yang juga masih berusia 15 tahun. Yang ketiga, dari laman website jurnalpolri.com (22/02/23) diketahui lima orang pemuda berumur 18-19 tahun melakukan pencurian dengan aksi kekerasan di Purwakarta. Mereka tercatat masih berstatus sebagai siswa SMK di Purwakarta. Kelima pemuda ini membacok punggung korban dengan celurit saat mencoba merampas ponsel korban.

 

Sederet kasus yang disajikan di atas tentu saja hanyalah secuil dari sekian banyaknya kasus kriminal yang terjadi. Apalagi ini adalah beberapa yang terdata karena terlaporkan dan viral. Bagaimana dengan yang tidak? Sejatinya memang banyak. Mengutip dari laman website fkkmk.ugm.ac.id (14/03/2018), diketahui data UNICEF tahun 2016 menyatakan bahwa kekerasan terhadap sesama rejama di Indonesia mencapai 50%. AMAZING! Setengah dari pemuda negeri sudah tidak sehat.

 

Data World Health Organization (WHO) pada 2020 menunjukkan bahwa setiap tahunnya terjadi 200 ribu pembunuhan di kalangan pemuda usia 12-29 tahun. Sebanyak 84 persen kasus melibatkan pemuda laki-laki. Dari fenomena yang terjadi tidak dipungkiri bahwa pada faktanya yang menjadi korban tidak hanya para pelajar tetapi juga menyasar ke penduduk yang lewat. Apalagi kekerasan yang dilakukan anak muda di jalanan, seakan-akan telah menajadi tradisi turun-temurun sehingga cukup sulit untuk memutuskan mata rantai kriminalnya.

 

Menanggapi ngerinya persoalan ini, hingga WHO menyatakan bahwa kekerasan di antara pemuda telah menjadi isu kesehatan dunia. Kasus seperti kekerasan fisik, perundungan, kekerasan seksual, dan bahkan pembunuhan oleh pemuda terjadi hampir di seluruh penjuru dunia. Ini menunjukkan bahwa kekerasan oleh pemuda bukan kasuistik, tetapi merata di berbagai negara.

 

Merujuk pada pendapat Stanley Hall yang mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa “storm and stress” sehingga rawan terjadi konflik dengan teman sebaya. Juga rumusan tahapan perkembangan psikososial oleh Erik Erikson bahwa remaja ada pada rentang usia 12–18 tahun. Pada masa ini mereka mengalami krisis identitas. Fisiknya seperti orang dewasa, tetapi jiwanya seperti anak-anak. Jika mata dan pikiran kita lebih dibuka maka kita kan sepakat bahwa ini tidak sepenuhnya benar dan cukup menjadi alasan. Ada banyak persoalan yang berkelindan dalam negeri yang menjadi penyebab meledaknya masalah kriminal di tengah anak muda.

 

Gejolak jiwa muda tidak akan menimbulkan konflik jika dalam prosesnya bertumbuh dan beradaptasi dilandasi dan dibekali pedoman hidup yang benar bukan? Sayangnya, anak muda hari ini terabaikan dari pedoman yang menjadi tuntunan hidup yang benar dari Pencipta. Yakinlah, jika sedari dini mereka mendapatkan pendidikan yang baik dari keluarga, tentu akan tumbuh menjadi sosok yang matang pada usia balig. Tidak ada masa krisis identitas karena identitas dirinya telah terbentuk melalui proses pendidikan oleh keluarga selama bertahun-tahun sejak ia bayi.

 

Untuk itulah, yang menjadi benteng utama terbaik yakni pendidikan dalam keluarga perlu dikuatkan dan ditegakkan. Sayangnya, sistem kapitalisme dengan akidahnya yang memisahkan agama dari kehidupan atau sekuler membuat rapuh institusi keluarga sehingga benteng utama inipun retak dan akhirnya jebol.

 

Kapitalisme, sistem rusak nan bathil yang menaungi kita saat ini menjadikan ibu-ibu berbondong keluar rumah untuk bekerja mencari nafkah bagi keluarga hingga lupa bahkan ada yang rela mencabut eksistensi peran utamanya sebagai pihak utama yang mendidik anak dalam keluarga hanya demi harta. Begitupun para ayah, banyak yang dimandulkan perannya akibat persepsi bahwa tugasnya hanyalah mencari nafkah hinga rela berlepas tangan terhadap pendidikan anak.

 

Belum lagi didalam kehidupan bermasyarakat yang seharusnya menjadi kontrol sosial tidak berjalan karena sistem hidup kapitalisme menjadikan manusia zaman sekarang bersikap individualis. Orientasi hidup manusia kapitalistik di dalamnya mengedepankan keuntungan materi semata dimana beban hidup menjadikan setiap orang sibuk memikirkan dirinya sendiri sehingga abai terhadap permasalahan sekitar.

 

Akibatnya, sebagimana yang kita saksikan saat ini dimana lahirlah generasi motherless dan fatherless yang galau mencari identitas diri dalam peer group yang senasib. Kegalauan para pemuda ini bertemu dalam kebingungan yang sama hingga mendorong mereka untuk memperoleh pengakuan terhadap eksistensi dirinya dengan berbuat kriminal. Ketika pemuda rusuh beraksi hingga tindak kriminalpun terjadi, banyak masyarakat yang justru abai diam membisu. Sekalipun di depan mata, tidak berani mencegah ataupun melerai. Ada yang bahkan memilih menghindari sebab takut menjadi saksi.

 

Ditambah lagi negara yang abai jelas menjadi biang keladi, maka lengkaplahlah sudah keburukan sistem kapitalisme ini. Negara yang seharusnya berperan sentral sebagai benteng penjaga generasi muda juga ternyata mandul. Slogan revolusi mental dan merdeka belajar nyatanya gagal membawa pemuda menemukan jati dirinya yang hakiki. Segala aspek tak terkecuali pendidikan dijauhkan dari agama hingga para pemuda yang berupaya taat untuk belajar Islam kaffahpun dituduhnya radikal.

 

Akibatnya, alih-alih menemukan jati dirinya sebagai hamba dan khalifah di muka bumi, para muda justru makin dalam terjebak budaya kekerasan. Ketika budaya kekerasan sudah memakan banyak korban, baru pemerintah pun mulai kelimpungan mencari solusi. Mirisnya,tidak ada yang menyolusi secara tuntas. Banyak remaja pelaku kekerasan tidak bisa diberi sanksi tegas, karena upaya pemberian sanksi justru mentok pada batasan umur anak yang sampai 18 tahun padahal mereka sudah balig.

 

Potensi besar pemuda sebagai calon pemimpin masa depan umat justru terbajak untuk hal yang merugikan masyarakat. Ini semua disebabkan asas sekularisme yang mendasari kehidupan kita. Mulai dari sikap keluarga, masyarakat hingga regulasi negara, semuanya menjadi sekuler karena dijauhkan dari agamnya. Akhirnya yang terjadi pemuda bukannya tampil sebagai problem solver melanikan trouble maker. Astagafirullahaladzim.

 

Berbeda dengan sistem Islam yakni Khilafah. Sistem berlandaskan akidah Islam yang aturannya langsung dari sang Pencipta, Allah Swt. bukan buatan manusia yang jelas akalnya lemah dan terbatas seperti yang terjadi saat ini. Menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan merupakan sebuah kewajiban bagi umat Islam, sekaligus merupakan solusi atas berbagai masalah yang mereka hadapi. Firman Allah Swt. dalam Al-Maidah: 48,

وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتٰبِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْ عَمَّا جَاۤءَكَ مِنَ الْحَقِّۗ

“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”

 

Terhadap masalah budaya kekerasan pada pemuda, Khilafah membangun sistem pendidikan berasaskan akidah Islam yang bertujuan untuk membentuk sosok berkepribadian Islam, yaitu sosok yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan output berkepribadian Islam ini, tentu para pemuda akan menjadi orang-orang yang taat pada syariat dan jauh dari budaya kekerasan karena mereka tidak akan berbuat selain yang diketahui dibenarkan syariat.

Sebagaiman firman Allah Swt. dalam QS. Al-Isra Ayat 36 yang artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya,”

 

Khilafah juga merevitalisasi peran keluarga sebagai madrasah pertama bagi anak, juga peran masyarakat sebagai kontrol sosial yakni pelaku amar makruf nahi mungkar. Dengan demikian, tiga benteng kokoh tegak untuk melindungi generasi muda dari berbuat kriminal. Jika masih ada pemuda yang berbuat kriminal, jika dia sudah baligh akan diberi sanksi tegas sesuai syariat.

Dari sini dapat dipahami bahwa Islam memiliki solusi yang komprehensif dan mampu menuntaskan. Dengan solusi komprehensif yang ditegakkan Khilafah ini, budaya kekerasan akan hilang dan generasi muda Islam menjadi pemuda harapan umat, pembangun peradaban Islam yang mulia. So, cabut asas sekuler dari pemikiran umat dan perjuangan khilafah.

 

Wallahu alam bi shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *