Agar Tak Terbajak, Gen Z Wajib Melek Politik
Oleh Khaulah
Aktivis Dakwah
Buta yang paling buruk atau parah adalah buta politik. Kurang lebih, begitulah ungkapan dari Bertolt Brecht, penyair asal Jerman. Ia melanjutkan, orang yang buta politik itu tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Mereka sejatinya tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat, semuanya tergantung pada keputusan politik.
Ungkapan tersebut memberi indikasi bahwa orang yang buta politik akan menjadi pihak yang mudah terbajak. Hal ini karena ia tidak menaruh perhatian pada perpolitikan, tetapi suaranya justru dipakai untuk menambah banyaknya suara pasangan calon tertentu. Ini terjadi hari ini, di alam demokrasi di mana banyaknya suara menjadi prioritas. Sehingga kita bisa melihat, banyak paslon yang menggaet suara semata, pada pihak yang sejatinya tidak melek politik, khususnya Gen Z.
Apalagi Gen Z (penduduk yang lahir antara tahun 1997–2012) menduduki posisi teratas dalam hal jumlah dibandingkan dengan generasi lainnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah generasi Z di Indonesia pada tahun 2023 adalah 74,93 juta jiwa atau 27,94% dari total populasi. Jumlah yang fantastis ini tentu tidak disia-siakan oleh paslon yang tujuannya mendulang suara semata. Bukankah dalam demokrasi, suara orang yang buta politik dan cerdas bernilai sama?
Maka tampak di hari-hari menjelang Pilkada 2024, para calon kepala daerah mencoba mendulang suara gen Z dengan berbagai cara dan juga berbagai tawaran “menarik”. Tentu saja dengan janji, hidup Gen Z akan menjadi lebih baik dalam kepemimpinan mereka, mulai dari penyediaan lapangan pekerjaan, pelatihan kewirausahaan, dan lainnya.
Misalnya saja Ridwan Kamil, mengaku melakukan pendekatan dengan Gen Z di tempat yang menjadi tongkrongan anak muda yaitu media sosial seperti Tik Tok. Maka tidak mengherankan, hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada Selasa, 5 November 2024, yang memperlihatkan Ridwan Kamil-Suswono berhasil meraih dukungan terbesar dari gen Z. Ditambah janji kampanyenya untuk mengatasi maraknya PHK, yakni memberikan dana kekuatan sosial selama 3 bulan.
Hal yang sama dilakukan Calon Gubernur Jawa Timur, Tri Rismaharini. Risma menyatakan niatnya untuk menggandeng Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dalam menjangkau dan mengembangkan potensi para Gen-Z di Jawa Timur. (cnnindonesia.com, 10 November 2024). Dalam forum temunya dengan anak muda di Kediri, Risma juga berjanji menyiapkan latihan kewirausahaan bagi Gen Z.
Jika dipikir-pikir, bukankah segala janji yang digaungkan paslon saat kampanye adalah sesuatu yang mestinya dilakukan saat menjabat? Lantas mengapa harus bersaing dalam hal memberi janji? Tentu saja karena demi mendulang suara rakyat. Rakyat, khususnya Gen Z mana yang mudah termakan janji para calon pemimpin? Tentunya, rakyat dan Gen Z yang tidak paham dan seakan lupa dengan dinamika politik yang terjadi tiap lima tahun sekali ini.
Semestinya Gen Z tidak boleh lupa bahwa dalam sistem demokrasi yang diterapkan hari ini, mereka hanya dibutuhkan suaranya untuk memenangkan pilkada. Setelah itu, nasib mereka tidak akan ada perubahan, sebagaimana masa-masa sebelumnya. Tidakkah mereka bisa mengambil pelajaran, menolak untuk memberi suara?
Gen Z harus menyadari bahwa dalam negara sekuler demokrasi mereka hanya dipandang sebagai aset ekonomi. Gen Z seringkali lebih dilihat atau dianggap sebagai sumber daya yang berharga dalam hal ekonomi. Artinya, mereka mungkin lebih dihargai berdasarkan kontribusi mereka terhadap perekonomian, seperti sebagai tenaga kerja atau sebagai konsumen. Ini selaras dengan fokus negara sekuler-demokrasi yakni pada keuntungan ekonomi semata.
Kita juga bisa menelaah perbedaan mendasar pengelolaan urusan umat termasuk Gen Z dalam sistem hari ini dengan sistem Islam. Dalam sistem hari ini, kepemilikan umum seperti sumber daya alam justru diberi hak pengelolaannya pada asing dan swasta. Inilah yang mengakibatkan maraknya pengangguran juga kemiskinan yang berdampak pada sulitnya mengakses pendidikan.
Di sini, mestinya Gen Z sadar, segala janji kampanye dari paslon nyatanya tidak akan pernah bisa mengubah hidup mereka. Mengapa demikian? Karena permasalahan negeri ini berawal dari asasnya, sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Sehingga, segala sesuatu yang diatur dalam sistem hari ini, seperti pengelolaan kepemilikan umum tidak akan pernah bisa menyejahterakan.
Gen Z mestinya sadar dan melek bahwa selama negara menggunakan aturan selain dari Yang Maha Tahu, Allah Swt., kita akan selalu berada pada “kesempitan” kendati sudah berganti pemimpin. Oleh karena itu, agar hidup sejahtera, Gen Z membutuhkan tegaknya negara yang berasaskan akidah sahih. Negara ini akan terwujud melalui penerapan Islam secara kafah dalam bingkai negara Khilafah.
Sudah saatnya Gen Z mengeliminasi sistem sekuler demokrasi dan memahami sistem politik Islam agar menyadari jalan perjuangan yang harus ditapaki, dan tidak dibajak oleh demokrasi. Sudah saatnya Gen Z harus memutar haluan untuk ikut memperjuangkan tegaknya Islam kafah. Saatnya Gen Z (wajib) melek politik, bukan semata ikut andil dalam memberi loyalitas buta.
Wallahu alam bishashawab.