Waspadai Politik Pecah Belah Dalam Masa Kampanye

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Waspadai Politik Pecah Belah Dalam Masa Kampanye

Oleh Nining Ummu Hanif

Kontributor Suara Inqilabi

 

Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi momen krusial bagi masyarakat Indonesia dalam menentukan pemimpin dan wakil rakyat. Tahapan kampanye peserta Pemilu 2024 sudah dimulai sejak Selasa (28/11/2023) dan akan berlangsung selama 75 hari menjelang pemilihan presiden pada bulan Februari mendatang. Kampanye menjadi tahapan memperkenalkan calon presiden dan calon anggota legislatif ke masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri masa kampanye sangat rawan propaganda dan kampanye hitam (black campign) yang bisa mencoreng nama baik seorang capres atau politisi.

Dilansir dari jambi.bawaslu.co.id, Ketua Bawaslu Provinsi Jambi, Wein Arifin mengingatkan agar dalam pelaksanaan masa kampanye, peserta pemilu untuk menaati aturan yang berlaku dalam melakukan kampanye. Sesuai dengan UU 7/2017 dan PKPU 15/2023 tentang kampanye. Ketentuannya terkait dengan pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga dan kampanye di media sosial. Wein juga mengimbau untuk menghindari black campign dengan menyebarkan berita hoax atau bohong dan yang mengandung unsur SARA.

Namun, politik pecah belah dalam kampanye marak dilakukan, yakni taktik untuk mengadu domba masyarakat dengan menciptakan konflik agar mendapatkan dukungan politik. Berkaca pada Pemilu 2019, kontestasi politik tidak sedikit diwarnai dengan nuansa permusuhan. Kemudian politik SARA dapat memicu situasi masyarakat menjadi panas, terlebih dibumbui ujaran kebencian sehingga menimbulkan gangguan kerukunan dan bisa berakhir pecah konflik terbuka.

Tipu-tipu dalam Pemilu

Dalam agenda pemilu negara demokrasi, masyarakat memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR/ DPRD, serta anggota DPD RI. Kegiatan kampanye sering diwarnai kecurangan oleh oknum tidak bertanggung jawab. Bentuk kecurangan seperti politik uang atau dikenal dengan suap. Pemberian suap bisa berupa uang secara langsung atau barang oleh simpatisan, kader, atau bahkan pengurus partai politik.

Kemudian penggelembungan suara atau mengubah data hasil pemilu yang semula kecil menjadi besar. Biasanya ada pihak yang menjanjikan keuntungan bagi para oknum yang melakukannya. Sudah jelas tujuannya adalah menambah suara bagi satu calon tertentu dan merugikan bagi calon yang lain. Belum lagi gangguan kerukunan masyarakat akibat saling ngotot membela calon yang diusungnya hingga menimbulkan saling olok, provokasi dan intimidasi.

Tidak hanya kecurangan, banyak janji manis juga dengan mudah terlontar hanya untuk menarik suara dari para calon pemilih. Mulai dari janji membangun infrastruktur sampai dengan tawaran jaminan lapangan kerja dan kesejahteraan yang nyatanya hanya hilang terbawa angin ketika para oknum tersebut berhasil dipilih menjadi wakil rakyat.

Mahalnya Biaya Politik Dalam Demokrasi

Politik dalam demokrasi itu “mahal”. Caleg dalam kampanye politik, pasti mengeluarkan biaya besar untuk iklan televisi, media online, media cetak, pembuatan materi kampanye, pertemuan publik, membuat dan menghadiri acara kampanye dalam upaya mempengaruhi pemilih. Para calon, tentu saja tidak berupaya sendiri dalam memenuhi ongkos politiknya. Apalagi mereka didukung oleh negara yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis. Para caleg akan menggandeng para kapital/ pemilik modal. Mereka bersimbiosis mutualisme (saling menguntungkan) dengan melakukan berbagai cara agar masing-masing bisa mendapatkan manfaat. Para caleg mendapatkan dana segar untuk ongkos politiknya sedangkan para kapitalis dalam hal ini pengusaha akan menagih janji berupa proyek kepada pejabat baru tersebut.

Seorang caleg yang berhasil menjadi pejabat akan dihadapkan pada dua tanggungan beban keuangan yang harus dilunasi, yakni kontribusi iuran kepada partai dan tuntutan balik modal biaya yang dikeluarkan selama kampanye pemenangan. Pada tahap inilah para caleg terpilih memasuki ruang yang sangat longgar untuk berperilaku koruptif. Pengaruh kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki anggota legislatif rentan disalahgunakan.

Mahalnya ongkos politik secara tidak langsung telah menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak pidana korupsi. Tanggungan ongkos politik pada akhirnya mengubah orientasi kinerja pejabat legislatif, yang seharusnya bekerja sebagai wakil rakyat malah terbelengu dengan kepentingan politik partai. Begitulah kondisi pemilu dalam sistem demokrasi kapitalis. Sistem yang rusak dan bathil yang aturannya dibuat oleh manusia yang kemampuannya serba terbatas. Pasti akan menimbulkan kerusakan, perselisihan dan kedzaliman.

Memilih Pemimpin dalam Islam

Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kepemimpinan melahirkan kekuasaan dan wewenang yang semata-mata untuk memudahkan dalam menjalankan tanggung jawab meriayah rakyat. Semakin tinggi kekuasaan, hendaknya semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Bukan sebaliknya, digunakan sebagai peluang untuk memperkaya diri, bertindak zalim dan sewenang-wenang. Balasan dan upah seorang pemimpin sesungguhnya hanya dari Allah SWT di akhirat kelak, bukan kekayaan dan kemewahan di dunia.

Seorang pemimpin di suatu wilayah tertentu nantinya akan menjadi seorang ulil amri, jika ada pemimpin yang tidak mengurus kepentingan rakyat, maka ia bukanlah pemimpin yang sesungguhnya. Sebagaimana dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 59 : “Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Islam memiliki mekanisme pemilihan terbaik. Dengan dasar aqidah Islam, pelaksanaan proses pemilihan pemimpin akan berjalan dengan tertib, lancar dan penuh kebaikan. Oleh karena itu kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits. Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin karena hasil pilihan mereka adalah “cerminan“ siapa mereka. Nabi SAW bersabda : “Sebagaimana keadaan kalian, seperti itulah pemimpin kalian” (HR Al-Baihaqi)

Tujuan politik Islam bukan hanya tentang memilih pemimpin yang baik namun juga untuk mewujudkan sistem kehidupan Islam yang baik pula. Sistem kehidupan Islam yang menjadi wadah bermasyarakat dan bernegara hanya bisa terwujud dalam Daulah Islam/ khilafah yang dipimpin oleh khalifah.

Wallahu’alam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *