Oleh : Susi Herawati (Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Dakwah)
Kasus Covid-19 di India terus meningkat pada tingkat yang belum dapat diprediksi, saat rumah sakit dalam situasi kewalahan dengan jumlah pasien yang membludak. Penerbangan dari luar negeri dengan tujuan India pun dilarang. Lonjakan kasus tersebut dikaitkan dengan varian baru virus Covid-19 yang menurut badan kesehatan dunia WHO pertama kali terdeteksi di India musim gugur lalu. (CBC,23/4/2021)
Varian baru virus Corona itu oleh WHO diberi nama B. 1.617 atau disebut juga “Mutan ganda”. Sejauh ini data masih terbatas apalagi mutasi ini lebih menular dan mematikan. Para ahli masih memperdebatkan apakah varian baru virus Corona “mutan ganda” adalah faktor pendorong utama terjadinya lonjakan di India. Varian baru virus B.1.617 memiliki dua mutasi dalam lonjakan protein yang digunakan si virus untuk mengikat dirinya ke reseptor sel manusia dan masuk ke dalam sel, dari situlah istilah “mutan ganda” masuk.
Dr. Cora Coustanti Nesco dari Rumah Sakit Alberta Calagary menyatakan B.1.617 tampaknya lebih dapat ditularkan setidaknya 20%. Pada bulan maret kementerian kesehatan melaporkan B.1.617 ditempuh 15-20% pada yang diurutkan dari negara bagian Maharashta yang terpukul keras oleh Covid-19 dan menyumbang lebih dari 60% dari semua kasus aktif di India.
Sementara Dr. Zain Chagle seorang ahli penyakit menular dari MC Master University di Halmiltoa Ontario mengatakan kepada The Canadian Press bahwa faktor lain di India yang mungkin berkontribusi dalam penyebaran yang cepat di sana yaitu karena kepadatan penduduk dan rumah multi generasi dengan ruangan berventilasi buruk yang banyak di India. (Dilansir dari kompas.com)
Kondisi padatnya penduduk, rumah yang multi generasi dan kondisi kemiskinan yang terjadi di India serupa dengan kondisi di Indonesia. Peristiwa tsunami Covid-19 yang terjadi di India semestinya menjadi pelajaran agar pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang komprehensif untuk menghentikan sebaran virus. Namun kenyataannya kebijakan yang dikeluarkan tidak menampakkan kejelasan. Apakah ingin menuntaskan penyebaran virus atau perbaikan ekonomi sehingga yang nampak keduanya tidak segera teratasi. Ini menandakan pemerintah tidak sepenuh hati dalam menyelesaikan pandemi.
Sudah lazim diketahui, sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini telah menempatkan kepentingan ekonomi di atas segalanya. Tak peduli apakah situasi sedang terjadi wabah atau tidak. Karena itulah sampai hari ini para penguasa negeri sangat menggenjot perekonomian dan membiarkan rakyat beraktifitas seperti biasanya. Hanya dengan imbauan menjaga protokol kesehatan selama beraktifitas, tak menutup kemungkinan gelombang baru pandemi Covid-19 menghampiri negeri ini.
Harusnya negeri ini mencontoh negara yang wilayahnya pernah menjadi episentrum wabah dan menyelesaikan wabah dalam waktu yang relatif singkat. Adapun negara tersebut bernama Khilafah. Khilafah yang berideologi Islam, seutuhnya menggunakan aturan dalam segala kebijakannya, tidak terkecuali dalam hal penanganan wabah.
Sebagaimana yang dicontohkan pada masa Rasullulah Saw. dan para sahabat, dimana wabah menular dengan cepat dan menyebabkan tidak sedikit korban yang terkena dampaknya. Pada saat itu wabah yang sering terjadi adalah kusta dan lepra. Sebagai tindakan pencegahan, Rasulullah Saw. memerintahkan untuk tidak berdekatan dengan penderitanya maupun wilayah yang terkena wabah.
Konsep karantina di wilayah ini seperti di ungkapkan dalam HR. Bukhari yang artinya:
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya tapi jika terjadi wabah di tempat kalian berada maka jangan tinggalkan tempat itu.”
Dari hadis tersebut dijelaskan bahwa Islam memberikan solusi sempurna dalam menghadapi wabah penyakit dengan konsep karantina untuk menyelamatkan manusia dari ancaman kematian akibat wabah penyakit menular.
Wallahu’allam bi shawab.