Wacana Penutupan Argo Parahyangan Demi KCJB, Negara Dipihak Siapa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Wacana Penutupan Argo Parahyangan Demi KCJB, Negara Dipihak Siapa?

Oleh: Endang Widayati, S.E

(Komunitas Tinta Pelopor)

 

Pada Juni 2023 mendatang, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) ditargetkan akan mulai beroperasi dan digunakan oleh masyarakat. Imbasnya, mulai muncul berbagai bentuk wacana demi menarik penumpang kereta cepat salah satunya dengan menghentikan  KA Argo Parahyangan. Wacana ini pun menuai pro dan kontra, termasuk yang datang dari Prof. Arief Anshory Yusuf, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran.

Dilansir dari Kompas.com (8/12/22), beliau berpendapat sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru mematikan operasional KA Argo Parahyangan saat kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi. Dia mengatakan bahwa jika dari sisi kecepatan, praktikalitas, dan keterjangkauan terbukti lebih baik KCJB daripada KA Argo Parahyangan, biarkan konsumen beralih secara alamiah dari KA Argo Parahyangan ke kereta cepat. Oleh karena itu, kebijakam seharusnya tidak dibuat berdasarkan asumsi semata.

Jika pemerintah bersikeras untuk menutup layanan Argo Parahyangan, secara ekonomi sangat mungkin akan banyak penumpang yang beralih ke transportasi lain, salah satunya adalah angkutan shuttle bus. Hal ini dapat dilihat dari Argo Parahyangan memberikan transportasi dari pusat kota ke pusat kota, dari Stasiun Bandung ke Stasiun Gambir, tanpa harus transit terlelbih dahulu menggunakan transportasi pengumpan (feeder).

Untuk itu, menutup layanan Argo Parahyangan yang mampu mengangkut sekitar 8.000 penumpang per hari dan beralih ke layanan kereta cepat dengan target angkut 30.000 penumpang per hari bukanlah menjadi solusi yang baik. Sehingga, pemerintah melalui PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI perlu mementingkan kepentingan masyarakat ketimbang pemilik modal.

Lebih lanjut, dengan menghilangkan Argo Parahyangan akan berpotensi menyengsarakan konsumen dan terjadi de-development. Dampak utamanya adalah kesejahteraan masyarakat yang stagnan bahkan berkurang meski pembangunan infrastruktur dilakukan.

Mencoloknya Dominasi China 

Perlu diketahui bahwa pembangunan KCJB ini melibatkan investor dari China. Dominasi perusahaan China di proyek kereta cepat ini sangat terasa di hampir semua aspek. Mulai dari tenaga kerja asing, pembiayaan, hingga perusahaan kontraktor yang menggarap proyek ini. Di mana, 75 persen proyek ini didanai utang dari China dengan bunga 2 persen dan tenor 40 tahun. Sementara, sisanya sebesar 25 persen investasi merupakan modal dari konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang terdiri dari 5 perusahaan China dan 4 perusahaan BUMN Indonesia.

Dominasi China juga tampak dari perusahaan kontraktor Engineering Procurement and Construction (EPC) proyek ini. Selain itu, BUMN China mendominasi 70% dari total EPC di proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung. Sedangkan, Indonesia mendapatkan bagian 30% yang digarap PT Wijaya Karya (Wika). Kemudian, 5 BUMN China memegang saham KCIC sebesar 40%. Sementara, Indonesia memegang saham KCIC sebesar 60% diwakili oleh konsorsium PT Pilar Sinergi Bersama Indonesia yang diwakili oleh PT KAI, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga dan PTPN VIII.

Jika dibandingkan dengan proyek MRT Jakarta yang dikerjakan bersama Jepang, saham dipegang oleh Pemprov DKI Jakarta sebesar 99,99% dan 0,01% dipegang oleh Perumda Pasar Jaya. Sedangkan, Jepang tidak memegang saham apapun dalam proyek MRT Jakarta. Dana yang digunakan untuk pembiayaan proyek ini berasal dari hibah pemerintah pusat dan pinjaman dari JICA.

Sebagai informasi, proyek pembangunan KCJB semakin menuai kritik. Pasalnya, biaya investasinya membengkak sangat besar atau cost overrun. Pemerintah terpaksa harus menambal cost overrun dengan APBN, meskipun hal itu sejatinya mengingkari janji awal pemerintah. Diketahui, proyek ini diperkirakan menelan biaya investasi hingga Rp 118 triliun. Jumlah itu meleset dari perhitungan awal sebesar Rp 84,3 triliun. Selain itu, harga tiket yang mahal akan menyulitkan masyarakat yang hendak menggunakan kereta cepat tersebut (video.kompas.com, 7/12/22).

Akibat Penerapan Sistem Kapitalisme

Dominasi aseng yang sangat mencolok ini tidak lain karena hasil dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang berpijak pada keuntungan materi semata. Sehingga, pembangunan infrastruktur yang ada hanya didasarkan pada untung rugi dan bisnis bukan didasarkan pada kesejahteraan masyarakat. Maka, terjadilah pro dan kontra di tengah masyarakat baik dari sisi tingginya harga tiket, wacana penghentian kereta sebelumnya, balik modal yang ditargetkan akan terpenuhi 40 tahun mendatang dan cost overrun dari adanya proyek ini.

Sistem ekonomi kapitalisme hanya menyisakan penderitaan bagi masyarakat. Contoh lain adalah beban biaya kesehatan dan pendidikan yang tinggi, upah tenaga kerja yang jauh dari kata layak karena tidak mampu menutupi beban biaya hidup, budaya utang berbasis riba, derita akibat KPR dan lain-lain.

Penderitaan demi penderitaan akan terus menyelimuti masyarakat jika terus menggunakan sistem ini. Sebab, kapitalisme berangkat dari pemahaman sekularisme (paham yang memisahkan agama dari permasalahan kehidupan) yang merupakan sebuah konsep dari Barat dan tertanam di benak kaum muslimin. Pada akhirnya, kaum muslimin menjadikan materi sebagai sesuatu yang penting dan bahkan wajib diupayakan.

Lebih dari itu, dalam proyek kereta cepat ini Kapitalisme memandang bidang transportasi sebagai sebuah industri. Cara pandang ini menjadikan kepemilikan fasilitas umum berada di tangan perusahaan atau swasta yang menitikberatkan pada fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan terhadap masyarakat.

Pelayanan Publik Dalam Islam

Dalam perspektif Islam, negara mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan makanan, pakaian, tempat tinggal, layanan pendidikan, layanan kesehatan, dan jaminan keamanan bagi setiap warga negara. Negara juga bertanggung jawab untuk menciptakan suatu kondisi perekonomian, yang memungkinkan sehingga setiap warga negara dapat memuaskan kebutuhan pelengkapnya, di samping memenuhi kebutuhan pokoknya masing-masing.

Ketersediaan layanan publik yang memadai menjadi kewajiban negara untuk merealisasikannya. Tidak boleh menghantarkan kepada kesulitan, penderitaan, kesengsaraan yang menimpa masyarakat.

Pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Umar, beliau memastikan pembangunan insfrastruktur harus berjalan dengan orientasi kesejahteraan masyarakat dan untuk ‘izzah (kemuliaan) Islam. Jikalau Negara harus bekerjasama dengan pihak ketiga, haruslah kerjasama yang menguntungkan bagi umat Islam. Bukan justru masuk dalam jebakan hutang, yang menjadikan posisi Negara lemah di mata negara lain/pihak ketiga.

Adapun pada masa pemerintahan Islam Utsmaniyah yang membangun jalur kereta api dengan tujuan memperlancar perjalanan haji bagi masyarakat. Pada tahun 1900 M Sultan Abdul Hamid II mencanangkan proyek “Hejaz Railway” yang merupakan jalur kereta yang terbentang dari Istanbul (pusat pemerintahan Islam) hingga Mekkah, melewati Damaskus, Jerusalem dan Madinah.

Gambaran singkat ini menjadi bukti bahwa negara memiliki kewajiban untuk menyediakan sarana prasana yang mempermudah dan menyejahterakan masyarakat. Islam memiliki tiga prinsip dalam mengelola layanan publik, antara lain:

Pertama, prinsip bahwa pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Negara merupakan pelayan dan pelindung bagi urusan rakyat.

Kedua, prinsip bahwa perencanaan wilayah yang baik akan mengurangi kebutuhan transportasi. Sebagai contoh, ketika Baghdad menjadi ibukota negara, tata kelola kota dibuat seefektif dan seefisien mungkin, serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang menunjang kehidupan rakyat baik pendidikan, industri, taman bahkan tempat singgah para musafir. Sehingga, rakyat tidak perlu menempuh perjalanan jauh yang ditempuh dengan menggunakan transportasi.

Ketiga, negara membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi terakhir yang dimiliki. Teknologi yang ada termasuk teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya itu sendiri. Sebagaimana pada abad 19 pemerintahan Utsmaniyah masih menggunakan kuda, unta serta kapal untuk di laut. Namun, saat kereta api ditemukan di Jerman, segera ada keputusan Khalifah untuk membangun jalur kereta api demi memperlancar perjalanan haji.

Oleh karena itu, berkaca pada sistem kelola layanan publik pada masa pemerintahan Islam sudah seharusnya negara saat ini juga menerapkan berbagai sistem di masa itu. Layanan publik dijauhkan dari kerangka bisnis dan bergantung pada utang luar negeri. Hanya Islamlah satu-satunya solusi mengatasi beragam masalah umat, penerapan Islam secara menyeluruh dalam semua bidang kehidupan yang dijadikan sebagai aturan dan undang-undangnya jelas bersumber dari pemilik kehidupan, Allah Azza wa Jalla.

Wallahu a’lam bishshawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *