Wacana Pajak Lagi, Rakyat Tercekik Lagi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

 

Kabar tentang pemerintah yang akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok, tentu kembali membuat telinga rakyat kembali panas. Pasalnya, PPN ini dikenakan pada barang yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Bahkan setiap harinya masyarakat tidak mampu terlepas dari yang namanya barang kebutuhan pokok. Kebijakan itu nampaknya akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah beredar ke publik beberapa waktu lalu. Adapun rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi undang-undang (cnnindonesia.com).

Bukan hanya itu, dalam draf aturan tersebut, tertuang tentang barang hasil pertambangan ataupun pengeboran dihapus dari kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Maka itu artinya, barang itu juga akan dikenakan PPN nantinya. Selain itu, pemerintah juga menambah objek jasa “kena pajak baru” yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Termasuk di antaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, hingga jasa asuransi (cnnindonesia.com).

Setelah viralnya draf tersebut dan menuai kontra dari banyak pihak, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Rahayu Puspasari menjelaskan bahwa draf tersebut merupakan wacana ke depan, dan tidak untuk saat ini. Beliau mengungkapkan bahwa draft tersebut merupakan wacana dan belum untuk fokus hari ini, karena Indonesia belum pulih dari Covid-19 serta masyarakat masih harus dibantu.

Lagi-lagi kita disuguhkan pada fakta bahwa rakyat tak henti-hentinya mendapat kejutan dari kebijkan-kebijakan yang muncul. Bukannya dikurangi, beban rakyat seolah makin bertambah. Rencana mengenakan PPN pada bahan pangan, pelayanan kesehatan dan juga pendidikan semakin menegaskan bahwasanya pajak merupakan tulang punggung dalam ekonomi kapitalis. Iya, sistem ekonomi yang tengah diterapkan negeri kita saat ini yang bernama sistem ekonomi kapitalis.

Aroma ketidakadilan pun berembus pula karena pemerintah jutsru melonggarkan pajak untuk golongan menengah ke atas. Hal ini terrcermin dalam aturan untuk pemberian insentif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% untuk mobil baru. Lantas apakah hal ini sudah menunjukkan keadilan? Padahal, Kemenkeu diharapkan tidak hanya pandai dalam mengolah angka, namun juga harus pandai terlebih dalam mengolah rasa juga kepekaan terhadap kondisi rakyat di negeri ini, terlebih pada rakyat kecil. Bukankah hal ini menjadi kebijakan yang zalim terlebih pandemi hingga saat ini belum menampakkan kapan akan berakhirnya. Belumlah selesai untuk membayar biaya konsumsi, pendapatan atau pemasukan yang di dapatkan oleh rakyat golongan menengah terpaksa habis pula untuk PPN.

Apakah tidak ada sistem yang mampu menjadi solusi atas peliknya sistem pajak yang berlaku hari ini? Jawabannya tentu saja ada. Di mana? Tidak lain dan tidak bukan hanya ada di sistem Islam. Lalu bagaimana sebenarnya pajak dan sumber pendapatan negara dalam Islam?

Berbeda dengan sistem kapitalis, Islam telah memiliki pedoman yang utuh dan komprehensif dalam menempatkan pajak serta menetapkan sumber pendapatan negara. Pajak dalam Islam bersifat temporer, alias tidak tetap, dan bukan menjadi sumber utama pendapatan negara.

Islam adalah agama yang paripurna, mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya masalah kepemimpinan negara. Sistem yang disebut Imamah atau Khilafah, lahir dari hukum syara’, bukan lahir dari para pemikir di kalangan manusia. Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena yang menetapkannya adalah Sang Pencipta manusia. Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Makna raa’in ini digambarkan dengan jelas oleh Umar bin Khaththab, ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan sampai-sampai memasak batu.  Atau ketika beliau di tengah malam membangunkan istrinya untuk menolong seorang perempuan yang hendak melahirkan .

Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorangpun yang berhak menerima zakat.

Adapun pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Islam juga tidak akan menetapkan pajak tidak langsung, termasuk pajak pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli, dan pajak macam-macam yang lain. Meski beban tersebut menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak juga hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu.

Kemudian dalam APBN, sumber pendapatan negara yang menjadi hak kaum Muslim adalah fa’i, jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad. Inilah pendapatan tetap negara, ada atau tidaknya kebutuhan dan masuk ke Baitul Mal. Baitul Mal sendiri adalah departemen yang berurusan dengan pendapatan dan segala hal perekonomian negara, serta bertugas menangani harta rakyat.

Adapun pendapatan tidak tetap, hal ini bersifat instrumental dan insidental. Yang pertama, bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim bahwa fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana dinyatakan “kosong” atau menipis di Baitul Mal. Karena itu, hal ini turut menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Kemudian yang kedua ialah insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya.

Syara’ telah menetapkan sejumlah kewajiban dan posnya masing-masing, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal tetap harus berjalan. Jika di Baitul Mal ada harta, maka dibiayai oleh Baitul Mal. Namun jika tidak ada, maka kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum Muslim. Sebab, jika tidak, maka akan menyebabkan terjadinya dharar (bahaya) bagi seluruh kaum Muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar (bahaya) di saat Baitul Mal tidak ada dana inilah, maka seorang khalifah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau Baitul Mal mempunyai dana untuk mengcovernya. Bukan menjadikan pajak sebagai inti pendapatan negara hingga mencekik, seperti apa yang kita alami dalam sistem kapitalis saat ini.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *