VONIS ULAMA: MATINYA KEADILAN OLEH SISTEM SEKULER

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Vonis yang dijatuhkan kepada salah satu ulama yang dituduh menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan menyebabkan keonaran terkait hasil swabnya di Rumah Sakit Ummi, benar-benar melukai rasa keadilan rakyat.

Bagaimana mungkin seorang yang hanya didakwa menyebarkan kebohongan melalui YouTube dan menyebabkan keonaran, divonis lebih berat dari kebanyakan vonis terhadap koruptor,” ujar Koordinator Forum Rakyat, Lieus Sungkharisma, Jumat (25/6).

Vonis hakim sangat melukai rasa keadilan rakyat. Sebab, soal menyebarkan informasi bohong, banyak sekali kasus penyebar informasi bohong, bahkan yang sudah dilaporkan ke polisi, tapi tidak ditindak.

Lieus menilai pengadilan dan vonis yang dijatuhkan terhadap Habib Rizieq ini lebih bersifat politis ketimbang dilandasi upaya menegakkan hukum berdasar keadilan dan kebenaran. (Rmol.id)

Matinya keadilan sekali lagi dipertontonkan oleh sistem sekuler. Tuduhan ini terlalu dipaksakan dan vonis 4 tahun ini tidak adil bila dibandingkan dengan vonis perkara Pidana maupun korupsi lainnya yang divonis sama.

Jika menilik penegakan hukum saat ini, sudah tidak terhitung lagi berapa banyak ketidakadilan yang dipertontonkan. Ulama yang kritis pada penguasa divonis dengan hukuman tidak masuk akal. Sementara pelaku kejahatan yang merampok harta rakyat, para  koruptor justru terbebas dari jerat hukum.

Ini adalah sebuah keniscayaan dan penerapan sistem sanksi dalam sistem sekuler demokrasi. Sistem sekuler ini menghasilkan ketidak adilan sistematis.

Sistem sekuler tidak menjadikan Allah SWT sebagai pemutus perkara/hakim, justru memberikan kebebasan kepada akal manusia untuk memutuskan sebuah hukum berdasarkan suara mayoritas. Alhasil hukum yang dibuat tidak akan menciptakan keadilan ditengah-tengah masyarakat karena akan sangat subjektif dan berdasarkan kepentingan para pembuatnya.

Mekanisme seperti inilah yang melahirkan secara tersistematis. Keadilan hanya bisa dirasakan oleh rakyat jika sistem sanksi yang diterapkan adalah sistem sanksi Islam.

Peradilan dalam Islam berasaskan aqidah Islam. Aqidah ini akan menjadikan Allah dan Rasulnya sebagai hakim atas semua perkara kehidupan manusia.

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُوۡنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوۡكَ فِيۡمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُوۡا فِىۡۤ اَنۡفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُوۡا تَسۡلِيۡمًا

Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65)

Inilah ruh peradilan dalam Islam, maknanya sangat mendalam sebagai bukti ketaatan kepada Rasul. Ayat ini menjelaskan, meskipun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul saw.

Rasulullah saw pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik. Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi jika keputusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas keputusan itu. Seperti keputusan Nabi saw. untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Anshar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah saw.

Jadi orang yang benar-benar beriman diharuskan bertahkim kepada Rasulullah saw. dan menerima keputusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Meskipun demikian, keputusan seorang hakim baik ia seorang Rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan fakta dan bukti-bukti yang cukup, serta dalil-dalil yang menjadi landasan dalam pengambilan keputusan.

Oleh karena itu, maka perlu adanya penerapan hukum syariat Islam. Salah satu keistimewaan diberlakukannya hukum syariah Islam adalah sebagai jawabir dan jawazir. Keistimewaan ini tidak akan ditemui pada selain hukum Islam.

Ketika hukum syariat Islam diterapkan kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum syara, maka dosa mereka di dunia telah terhapus, inilah yang dinamakan sebagai Jawabir.

Di samping itu, penerapan syariah Islam akan menjadi sarana pencegah terjadinya pelanggaran yang baru, inilah yang disebut sebagai Jawazir.

Dalam masalah hukum pidana ada unsur jawazir (pencegah) dan jawabir (penebus). Pengertian jawabir adalah dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah swt. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghairu muhsan didera, setelah didera dengan hukuman tersebut pelaku pidana telah diampuni dosanya oleh Allah swt.

Sedangkan jawazir (pencegah) adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera terhadap pelaku pidana sehingga tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan begitu tidak akan terjadi ketimpangan hukum dengan kejelasan sumber hukumnya.

Adapun bentuk- bentuk persanksian dalam Islam diklarifikasikan menjadi empat, diantaranya hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat.

Dengan demikian karakteristik hukum peradilan Islam tergambar jelas dalam buku Sang Legenda Umar bin Khaththab karya Yahya bin Yazid Al Hukmi Al Faifi.

Dikisahkan, dari Abdullah bin Umar r.a, bahwa saudaranya yang bernama Abdurrahman bin Umar bersama Abu Saru’ah bin Al Harits mabuk karena minum khamar ketika berada di Mesir di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Pagi-pagi setelah bangun tidur, mereka berdua menghadap Gubernur Mesir Amru bin Ash.

Mereka berkata kepadanya, “Semalam kami mabuk garagara minuman yang kami minum. Tetapi, kami sudah suci.”

Abdullah berkata, “Saudaraku memberitahukan kepadaku, bahwa dia mabuk, kemudian saya mengatakan kepadanya, ‘Kemarilah, masuk! Saya akan menyucikan kalian!” Waktu itu saya tidak tahu apakah mereka sudah datang menghadap Umar. Saudara saya lalu mengaku bahwa dia sudah datang menemui Amirul Mukminin dan menceritakan hal itu kepadanya. Saya katakan, ‘Hari ini janganlah memangkas rambut orang! Masuklah kemari, saya akan memangkas rambutmu sendiri. Karena pada masa itu, orang yang terkena hukum had, rambutnya dipangkas.”

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Abdullah berkata, “Saya yang akan membotakkan rambut saudara saya!”

Sedangkan Gubernur Mesir Amru bin Ash menyambuknya. Berita itu akhirnya didengar oleh Amirul Mukminin Umar bin Khaththab di Madinah. Dia langsung melayangkan surat kepada Gubernur Mesir itu, “Secepatnya kirim Abdurrahman kepadaku!” Gubernur Mesir Mesir Amru bin Ash langsung menjalankan perintah itu.

Abdurahman bin Umar kemudian menghadap ayahnya, Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Atas kesalahannya itu, Umar menyambuknya. Setelah itu, dia dikirim ke pengasingan.

Biasanya pelaksanaan sanksi hukum semacam ini dilaksanakan di sebuah lapangan di pusat kota. Tujuannya untuk memberikan efek jera pada masyarakat.

Menjadi kebiasaan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab r.a, sebelum melarang atau menegur orang lain, terlebih dahulu dia memulai dari keluarganya. Suatu hari, dia memberi peringatan kepada keluarganya dan berkata, “Orang-orang memandang kalian seperti daging santapan burung, kalau saya mendengar di antara kalian ada yang melakukan kesalahan, maka saya akan melipatgandakan hukuman untuk kalian,” pesan Umar.

Kisah ini begitu masyhur. Salah satu bukti keadilan Islam yang menghukum siapa saja yang terbukti salah tanpa pandang bulu. Sayangnya keadilan ini hanya sekedar akan menjadi teori jika penerapan Islam tidak diambil secara menyeluruh dalam naungan Daulah Islam.

Terciptanya keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta terbangunnya negara yang kuat amat ditentukan oleh ketangguhan sistem peradilannya.

Keadilan hanya bisa dirasakan oleh rakyat apabila aturan Islam diterapkan oleh negara yang berasaskan aqidah Islam dalam sendi kehidupan. Dan tentu di kehidupan akhirat itu sudah pasti  pengadilan yang benar-benar adil. Diadili oleh Hakim Sang Maha Adil. Segala dosa akan ditebus dengan siksa. Meski hanya sebesar biji sawi.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *