Vonis Recehan Di Negeri Penuh Dagelan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Azka

Negeriku kembali viral. Keluarnya putusan pengadilan atas kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, seorang komisioner KPK dinilai mencederai keadilan. Waktu yang cukup lama dalam mengusut kasus ini, akhirnya ditebus murah dengan vonis ringan bagi para terdakwa. Mereka hanya divonis dengan hukuman satu tahun penjara. (disarikan dari detik.com)

Selain vonis yang dianggap tak sepadan, beberapa fakta di persidangan mengindikasikan proses hukum yang menyebabkan Novel Baswedan mengalami kebutaan permanen tersebut sekadar formalitas belaka. Beberapa contoh fakta persidangan yang mengusik nalar keadilan antara lain :

pertama, seputar alat bukti cairan yang digunakan untuk menyiram wajah Novel Baswedan. Dugaan terdakwa menyiram air keras akhirnya dibatalkan karena pengadilan lebih menerima pengakuan terdakwa daripada keterangan dari para saksi mata. Para saksi mata yang melihat kejadian dengan gamblang mengungkapkan bahwa cairan yang menyiram wajah Novel kala itu juga mengenai tiang listrik dibelakangnya, seketika itu tiang listrik melepuh. Keterangan menguatkan lain juga datang dari para saksi yang ikut menolong Pak Novel menyebutkan bahwa baju yang terkena cairan tersebut terasa panas seperti terbakar.

Kedua, vonis hakim yang ringan akhirnya menetapkan hukuman ringan hanya 1 tahun penjara karena didasarkan kepada pengakuan sepihak dari terdakwa. Bahwasanya alasan terdakwa menyiram cairan yang akhirnya disahkan oleh pengadilan sebagai asam sulfat tersebut adalah karena ketidaksengajaan. Sebuah pengakuan apologetik yang jika ditanyakan pada setiap terdakwa kasus manapun, dipastikan memiliki jawaban yang sama.

Sedangkan Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Muhammad Isnur mengatakan bahwa setidaknya ada tiga kejanggalan pada persidangan kliennya.
Berikut tiga kejanggalan yang disebutkan oleh Tim Advokasi Novel Baswedan:

1. Dakwaan jaksa dinilai berupaya menafikan fakta sebenarnya. Jaksa hanya mendakwa terdakwa dengan Pasal 351 dan Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP terkait penganiayaan.

“Padahal kejadian yang menimpa Novel dapat berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia. Sehingga jaksa harus mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana,” ujar Isnur.

2. Saksi-saksi penting tidak dihadirkan jaksa di dalam persidangan. Dari pantauan Tim Advokasi Novel, setidaknya terdapat tiga orang saksi yang semestinya dapat dihadirkan. Tiga saksi itu juga sudah pernah diperiksa oleh penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

3. Peran penuntut umum terlihat seperti pembela para terdakwa. Menurut dia, hal ini terlihat dari tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa. Tidak hanya itu, kata Isnur, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun, jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan penyidik KPK itu. (metrotempo.co.id)

Demikianlah sejatinya fakta hukum buatan manusia yang bernaung dalam sistem kapitalisme sekuler. Memihak para pemilik modal dan mereka yang berkepentingan di dalamnya, menjadi pembenar jika ketetapan yang dihasilkan jauh dari keadilan. Kasus Novel Baswedan hanyalah satu diantara sekian banyak bukti hukum sekuler yang tumpul saat menghadapi kekuasaan.

Satir jelas terasa saat mendengar kasus seorang nenek tua miskin yang mencuri singkong di kebun anaknya dituntut hukuman sampai lima tahun penjara.

Bak pertunjukan dipenuhi dagelan, namun inilah kenyataan yang akan terus kita rasakan selama sistem kehidupan (ideologi, mabda) sebagai hal yang paling fundamen masih bergantung pada sekulerisme kapitalis. Karenanya tak ada jalan lain bagi seorang muslim untuk berupaya bersama memperjuangkan Islam agar menjadi legal formal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Islam menjunjung tinggi keadilan tanpa memandang siapa yang akan dihukumi. Rasulullah Saw telah mencontohkannya sendiri. Pada saat kaum quraisy mempersoalkan seputar wanita dari bani makhzumiyyah mencuri, mereka berembuk dan bertanya siapakah yang berani mengadukan masalah ini kepada Rasulullah? Sebagian dari mereka ada yang memberi pandangan: “Siapakah yang berani menyampaikan selain Usamah bin Zaid, kesayangan Rasulullah SAW.”

Maka Usamah pun membicarakannya kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bersabda, “Apakah kamu mau memintakan syafaat dalam hukum di antara hukum-hukum Allah?”
Kemudian Rasulullah SAW berdiri lalu berkhutbah, sabda beliau, “Sesungguhnya yang merusak/membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, maka mereka membiarkanya; tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya” (H.R Bukhari)

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *