Oleh : Durriyatut Tayyibah
Pada tanggal 11 Februari 2020, WHO secara resmi menyebut penyakit yang dipicu oleh 2019-nCoV sebagai Penyakit Virus Corona 2019 (COVID-19). Pada 30 Januari 2020, WHO mendeklarasikan wabah COVID-19 di Cina sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia sehingga ini menandakan COVID-19 sebagai ancaman dunia. Mengingat hal ini, sebagai upaya proteksi terhadap COVID-19, berbagai negara dari seluruh dunia telah berkomitmen bersama dengan melibatkan pemerintah, perusahaan bioteknologi, ilmuwan, dan akademisi untuk dapat menciptakan vaksin Covid-19.
Namun sayang, sejak awal pandemi belum masuk ke Indonesia. Pemerintah cenderung abai terhadap pendapat pakar. Berbagai kebijakan yang plin-plan dan tidak tegas juga kerap mewarnai Indonesia. Kebijakan kontraproduktif selalu saja menjadi tontonan sehari-hari, hingga menjelang satu tahun Covid-19, kebijakan pengadaan vaksin pun disinyalir masih menuai pro-kontra di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi penyuntikan vaksin sungguh sangat meresahkan rakyat.
Ngototnya pemerintah dalam pengadaan vaksin di akhir tahun ini, juga suara pakar yang tak didengar, memberikan dugaan kuat ada pertimbangan lain selain sains dalam menetapkan kebijakan pengadaan vaksin tersebut. Hal demikian menjadi wajar dalam sistem demokrasi kapitalisme yang tak menjadikan rakyat sebagai objek yang harus diurusi. Sehingga upaya yang ’katanya’ untuk meminimalisir jumlah korban yang jatuh dari populasi yang terjebak wabah harus dipoles dengan ikhtiar vaksinasi, padahal tujuan utamanya sangat diragukan jika benar-benar untuk keselamatan jiwa rakyatnya.
Namun, memang pada faktanya, perjalanan proses vaksinasi tak benar-benar mendapat sambutan yang baik dari masyarakat bahkan pejabat sekalipun. Misalnya saja Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Ribka Tjibtaning secara tegas menolak untuk divaksin Covid-19. Tentu penolakan tersebut dengan alasan yang kuat, ialah karena mendengar pernyataan dari PT Bio Farma yang menyebut belum melakukan uji klinis tahap ketiga. Selain itu, ia juga memiliki pengalaman melihat sejumlah vaksin yang pernah masuk ke Indonesia namun malah semakin memperburuk keadaan.
Tak ayal, hal tersebut semakin membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun berkurang. Sehingga jalan yang diambil demi meraih hati rakyat adalah dengan memperindah persoalan komunikasi. Hal demikian tentu berbeda jauh dengan Islam. Pemerintah dalam Islam tidak perlu repot-repot merumuskan cara komunukasi yang bernas kepada publik agar tak menjadi kendala vaksinasi. Khalifah pernah menerapkan penggunaan vaksin kepada masyarakat, saat wabah cacar air. Ketika itu penguasa menyadari tentang pentingnya vaksinasi cacar air. Maka pada tahun 1846 sultan memerintahkan agar menyediakan fasilitas kesehatan untuk seluruh lapisan masyarakat. Sultan pun bertipikal tanggap dan cepat, kebijakannya memang selalu berfokus pada umat hingga menjadikan vaksinasi kala itu tidak sama sekali menimbulkan keresahan bagi umat.
Wallahua’lam bishawab