Oleh: Ummu Qisthy
Sejarah valentine day itu ada dua versi. Kedua-duanya bertepatan pada tanggal 14 februari.
Pertama, tentang Santo Valentine yang menolak kebijakan kaisar karena mewajibkan perang dan melarang adanya perkawinan. Karena menganggap perkawinan hanya penghalang menuju kemenangan. Kemudian ia dibunuh setelah ketahuan menikahkan satu pasangan yang saling mencintai. Setelahnya ia dijuluki sebagai pahlawan cinta. Dan dikenang dengan cara dirayakan turun temurun sampai sekarang.
Kedua, tentang Juno – Dewi Perkawinan, saat itu diadakan sebuah perayaan bernama Festival Lupercalia atau bisa juga disebut festival kesuburan. Di perayaan ini semua wanita akan memasukan namanya ke dalam tempat dan akan dipilih oleh pria secara acak dan nama yang dipilih adalah jodohnya. Setelah itu mereka akan berpesta seks sampai pagi.
Setelah tahu sejarahnya begitu apakah kita masih juga mau merayakannya?
Padahal jelas dalam Islam perang adalah wajib tapi perkawinan bukan menjadi penghalang karena ini pun bagian dari sunnah Rasul. Orangtua, istri dan anak yang ditinggalkan perang dijamin negara. Bahkan pada masa Umar bin Khathab, suami yang pergi berperang tidak boleh lebih dari 4 bulan. Artinya kalau sudah 4 bulan harus menemui istrinya alias pulang.
Selanjutnya yang versi kedua, di cerita itu mengatakan mereka mengadakan pesta memilih pasangan. Sudah pasti tidak boleh dalam islam. Karena adanya ikhtilath (campur baur) antar lawan jenis dan berakhir dengan berzina.
Naudzubillahi min dzalik.
Teman-teman, berkasih sayang adalah bagian dari ajaran Islam. Bukankah Allah SWT sendiri punya nama ar-Rahman yang artinya Maha Penyayang? Sebagai muslim, kita diperintahkan untuk kasih sayang pada sesama muslim, dan sesama mahluk. Namun tetap sesuai dengan yang disyariatkan. Yaitu tidak dengan khalwat dan ikhtilath. Apalagi dengan berzina.
Jika mampu, halalkan! Jika tidak, tinggalkan!