UU ITE Menebas ASN, Bukti Rezim Represif!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Zainab Ghazali

Peristiwa pencopotan Dandim Kendari tempo hari bikin super kaget. Meski yang dinilai melanggar UU ITE adalah istrinya. Kasus ini pun merembet. Tercatat, ada 7 perwira TNI lain yang juga dicopot gegara kasus serupa.

Tak cukup sampai di situ, dampaknya jadi lebih meluas. Nggak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan akan segera membentuk tim pengawas medsos ASN seiring menguatnya dugaan banyaknya ASN radikal. Jika dugaan ini benar, sang ASN terancam dipecat dari ke-ASN-annya. Wow banget sangarnya!

Merunut pada latar belakang kelahirannya, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (disingkat UU ITE) atau Undang-undang nomor 11 tahun 2008 adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Pada sejumlah kasus, UU ITE dinilai telah melenceng dari mandatnya. Nah masalahnya, pemerintah telah mendefinisi pasal super karet yang telah mendistorsi fungsi dan tujuan awal pemberlakuan UU ITE ini. Hanya status berkonten sindiran halus, postingan seseorang bisa langsung kena delik ITE. Bahkan ngerinya, kasus seperti ini langsung saja dikategorikan sebagai ujaran kebencian.

Apalagi di rezim yang represif ini. Banyak ulama dan forum pengajian dipersekusi dengan dalih radikal atau intoleran. Padahal mereka hanya memposisikan, bahwa yang haq adalah haq, dan yang bathil adalah bathil. Tapi nampaknya yang model begini takkan pernah diayomi oleh sistem demokrasi. Sistem yang jelas-jelas meniscayakan sekularisasi. Bagi demokrasi, standar ganda adalah solusi. Tak boleh terlalu haq, tapi tetap getol bela yang bathil. Standarnya nggak jelas.

Itu pula yang menjadi nafas UU ITE. Nggak jelas. Seringkali, pelapor yang malah ditangkap. Pelaku tetap bebas. Apalagi kalau si pelaku ternyata “soulmate” sang rezim, posisi aman sudah pasti di tangan. Dan nampaknya, arus pergaulan dunia maya akan dijaga agar terus seperti ini. Media, yang kini telah merambah sektor digital, terbukti masih ampuh menjadi pilar demokrasi. UU ITE telah bagai senjata pamungkas untuk membungkam kebenaran. Yang benar dibenci dan dikucilkan, sementara yang salah justru dilindungi dan diberi keamanan. Buzzer pun berbayar demi meruntuhkan kebenaran yang coba didakwahkan di kolom internet.

Tak terkecuali para ASN. Disebut-sebut sebagai abdi negara, mereka dilarang kritis. Tuduhan melanggar UU ITE sanksinya, hingga dicopot jabatan serta dipecat dari status ASN-nya. Inikah warna baru rezim periode kedua yang kian represif, anti-kritik dan juga anti-Islam?

Wahai para punggawa rezim, jangan kalian pikir kami takut menyampaikan kebenaran. Renungkanlah firman Allah Swt ini: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 42).

Jika kalian harap kami khawatir akan terhentinya rezeki dengan pemecatan dari status ASN, maka ketahuilah bahwa Allah semata yang telah menjamin rezeki itu. Bukan kalian atau siapa pun.

Membungkam kami hanya akan semakin memuliakan kami di hadapan Allah, sekaligus semakin menghinakan kalian.

Sadarlah!!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *