UU Corona: Peluang Tiranis Korupsi Negara?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Zahida Arrosyida (Revowriter Kota Malang)

Dampak pandemi Covid-19 memang dahsyat, semua negara besar sibuk dan panik menghadapi ancaman Corona. Ribuan korban terus berjatuhan selama wabah yang belum menunjukkan gejala akan mereda. Hal ini tentu berpengaruh luar biasa pada ekonomi. Cina kolaps, Indonesia pun gelagapan karena Rupiah terjun bebas nilai tukarnya.

Roda perekonomian masyarakat mengalami resesi, kondisi sosial masyarakat sangat memprihatinkan. Berbagai kebijakan dan program diluncurkan untuk menangani wabah ini. Namun belum jua ada tanda-tanda wabah akan pergi. Alih-alih pergi justru kurva penderita semakin naik.

Diantara kebijakan yang diambil Pemerintah adalah telah disahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 menjadi undang-undang (UU). Dalam aturan tersebut, pemerintah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN) 2020 sebesar Rp 405,1 triliun.
(www.pikiranrakyat.com 15/05/2020).

Perppu ini menuai kontroversi di masyarakat, salah satu alasannya karena dinilai tidak urgen. Pemerintah juga dianggap tidak memliki alasan yang kuat dalam membentuk aturan tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan untuk penanganan pandemik COVID-19. Padahal sebelumnya pemerintah sudah memiliki payung hukum lain yang dapat digunakan untuk mengatur keuangan negara dalam situasi darurat yaitu melalui Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Didalamnya telah diatur mengenai mekanisme pelaksanaan APBN dalam keadaan tidak normal atau darurat (kompas.com, 28/04/20).

Ada tiga pasal dalam perppu yang dipersoalkan, yakni pasal 2, pasal 27, dan pasal 28. Dan yang paling disorot publik adalah, pasal 27, yang dinilai bertentangan dengan pasal 23 dan pasal 23A UUD 1945, yang mengatur imunitas para pelaksana Perppu, sebagai kekebalan absolut bagi pejabat keuangan.

Pasal 27 dalam Perppu ayat -1-, mengatakan semua biaya anggaran macam-macam itu adalah biaya ekonomi. Jadi tidak bisa dianggap kerugian negara. Ayat ke-2- bahwa para pejabat BI, Menteri Keuangan, OJK, LPS dan yang terkait tidak bisa dipidana baik perdata maupun pidana karena melaksanakan program keuangan. Dan ayat ke-3- mengatakan bahwa semuanya itu bukan menjadi delik untuk dibawa ke ranah hukum PTUN.

Prof Suteki dalam Zoom Conference yang dilaksanakan oleh Para Tokoh Nasional Peduli Bangsa, (2/05/2020) menanggapi diterbitkannya beberapa peraturan baru yang sebenarnya patut diduga telah terjadi “government disobidience” terhadap peraturan hukum sendiri.

Menurut Suteki, pada UU Corona telah terjadi amputasi kelembagaan negara. Misalnya DPR yang memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi anggaran, legislasi dan pengawasan. Juga amputasi kewenangan lembaga lain, misalnya BPK.

Bila disimak Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan (3) dapat disimpulkan bahwa fungsi berbagai lembaga negara lainnya juga ikut diamputasi. Fungsi pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), fungsi lembaga penegak hukum (polisi, jaksa), dan kekuasaan kehakiman yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) khususnya peradilan umum, Tipikor serta PTUN dan Mahkamah Agung (MA) juga ikut diamputasi.

Tidak salah bila Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah dari PKS menilai hal ini terkait dengan kekuasaan Pemerintah dalam penetapan APBN yang mereduksi kewenangan DPR, kekebalan hukum dan terkait kerugian keuangan negara. Siapapun yang punya akal sehat bisa melihat hal ini akan menjadikan koruptor Senayan sangat mudah melenggang kangkung setelah beraksi di istana.

Sungguh terang-menderang yang dilakukan oleh rezim saat ini telah mengabaikan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka melegitimasi tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang rakyat amanahkan kepadanya. Tragis.. disaat rakyat bertaruh nyawa menghadapi wabah, pemerintah lebih memperhatikan keselamatan ekonomi oligarki daripada keselamatan nyawa rakyat.

Tidak hanya itu, ‘kesaktian’ penguasa makin nampak manakala ada pejabat Negara di sektor keuangan dan Investasi berbicara untuk memanfaatkan momentum wabah untuk melakukan reformasi besar-besaran di pemerintahan. Menurutnya, Covid-19 mendorong pemerintah untuk melakukan langkah efisiensi, efektivitas, dan digitalisasi. Bahkan ia mengklaim, korupsi juga sangat kecil terjadi karena semua informasi disampaikan secara terbuka.

Melengkapi pernyataan Luhut, Menkeu Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah juga sedang dan akan melakukan langkah pemulihan ekonomi seperti yang diatur dalam Perppu No. 1/2020 yaitu melalui belanja negara, penempatan dana pemerintah, penjaminan, dan penanaman modal negara.

Dengan disahkan Perppu penanganan Corona ini menjadi UU, sesungguhnya telah menjadi jalan tol pemerintah merentangkan imunitas absolut bagi penguasa untuk menggunakan keuangan negara tanpa bisa dituntut hukum.

Korupsi nampaknya akan semakin menggurita di Indonesia. Jika dicermati, semua koruptor adalah orang-orang yang berkecukupan. Bisa pejabat atau atau pemilik modal. Bahkan banyak diantaranya memiliki kekayaan yang luar biasa dibandingkan rakyat pada umumnya. Tapi mengapa masih saja tergiur korupsi?

Ternyata sistem politik demokrasi sumber masalahnya. Bagaimana tidak, sistem itu mengharuskan penguasa dan pejabat negara memiliki modal yang besar untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya.

Di sisi lain sistem demokrasi telah mengesampingkan pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Rasa takut para penguasa dan aparatur negara kepada Allah telah luntur dimakan jargon demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tak ada Tuhan di dalamnya.

Wajar bila suap- menyuap, gratifikasi, dan tindakan penyalahgunaan kekuasaan menjadi pemandangan sehari-hari. Dari level rendah hingga level tertinggi. Dalam perkembangannya, administrasi negara diutak-atik sedemikian rupa agar korupsi itu menjadi sah/legal. Hukum pun dipermainkan agar mereka yang terjerat kasus bisa dibebaskan begitu saja. Undang-undang dibuat untuk melindungi aparat negara dan para pembuat hukum agar bisa leluasa mengeruk uang rakyat.

Sistem Islam dibangun di atas landasan keimanan kepada Allah. Ini memiliki sistem pengawasan melekat yang menyatu dalam setiap diri manusianya. Setiap individu siapapun dia akan takut untuk berbuat dosa karena mempertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.

Ditambah lagi di dalam sistem ini, hidup suasana saling mengontrol antar masyarakat. Amar ma’ruf nahi mungkar menjadi pilar pemelihara umat dari perbuatan maksiat. Terjadi karena masyarakatnya terbentuk dari manusia-manusia yang bertakwa, yang tak ingin saudara mereka terjerumus dalam dosa.

Di sisi lain negara menerapkan hukum-hukum Islam. Hukum tersebut bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, sehingga hukum ini bersifat tetap dari waktu ke waktu, meskipun penguasa silih berganti. Dengan hukum seperti ini tidak mungkin ada permainan untuk mengutak-atik hukum demi kepentingan penguasa, partai politik dan elite-elite kekuasaan seperti dalam sistem pembuatan hukum dalam demokrasi.

Sudah jamak diketahui biaya politik di negeri ini sangat mahal. Menurut Mendagri Tito Karnavian untuk menjadi bupati diperlukan modal sekitar 30-50 miliar rupiah. Yang lebih tinggi dari jabatan itu tentu lebih besar lagi. Jadi secara sistem, demokrasi akan terus mendorong para pejabatnya untuk korupsi. Sistem demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Hukum diserahkan sepenuhnya kepada manusia untuk membuat. Akibatnya hukum mengikuti hawa nafsu.

Saatnya mengganti demokrasi dengan Islam. Sistem terbaik yang berasal dari Allah, Pencipta manusia dan alam semesta. Terapkan Islam Kaffah, pastilah negeri akan berkah.

Firman Allah:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنَٰهُم بِمَا كَانُوا۟ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(QS Al-A’raf: 96)

Wallahu a’lam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *