Irma Setyawati, S.Pd (pemerhati masalah publik)
Ditengah-tengah panasnya negara menghadapi dampak covid-19 , DPR bersama pemerintah kembali memberi kejutan yang menyakitkan masyarakat dan makin menunjukkan dengan kasat mata keberpihakannya kepada para pengusaha dan investor.
DPR selaku perpanjangan tangan rakyat, dengan nyata nyata menghianati rakyat dengan menyetujui RUU Cipta kerja menjadi UU Cipta kerja. Tepat hari Senin (5 Oktober 2020) RUU tersebut sah menjadi UU yang merugikan masyarakat, khususnya tenaga kerja buruh di Indonesia.
RUU Cipta kerja atau yang sekarang telah menjadi UU Cipta kerja memang sejak awal pembahasannya telah menimbulkan kontroversi di tengah tengah masyarakat, baik dari kalngan buruh, intelektual, tokoh masyrakat hingga ormas.
Namun sayang, DPR dan pemerintah seolah mengabaikan kontroversi tersebut, sehingga dalam waktu singkat 1600 pasal di bahas dan sebagiannya lagi tidak di bahas, tapi sudah menjelma menjadi UU Cipta kerja.
Selain substansi dari UU Cipta kerjanya sendiri kita kritisi, yang tidak kalah penting untuk di kritisi adalah adalah proses regulasi UU nya. Mengapa ada UU yang dibuat oleh wakil rakyat akan tetapi UU nya tidak mewakili suara rakyat yang di pimpinnya? Dari sinilah makin tampak nyata wajah buruk demokrasi yang sesungguhnya dan sudah tidak selayaknya lagi kita mempertahankannya.
Dalam sistem demokrasi UU di buat oleh manusia, sehingga penetapannya bukan dengan pertimbangan mendasar yang obyektif berdasarkan benar dan salah, akan tetapi lebih pada pertimbangan subyektif yang lebih mewakili seseorang di belakang pengusungnya, dalam hal ini kaum kapitalis sebagai pengusung utama regulasi UU Cipta kerja.
Maka wajar jika kita mengatakan bahwa sebuah kebohongan besar bahwa dalam sistem demokrasi suara rakyat adalah suara yang di pertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Yang ada malah sebaliknya, suara Kaptalislah yang di perhatikan.
Pada UU Ciptaker Banyak klausul yang merugikan pekerja, seperti pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, semakin mudahnya perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, tidak ada lagi cuti haids yang di bayar, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun. Sehingga ini di anggap bertentangan dengan hak-hak buruh atau pekerja.
Soal apakah UU Cipta kerja ini faktanya mampu membuka lapangan pekerjaan karena penghambat investasi telah di hapus, sehingga aka nada investasi besar- besaran di negara kita? Tentu tidak bisa dibenarkan 100%, karena investasinya justru berbasis teknologi tinggi, digitalisasi dan otomatisasi sehingga tidak membutuhkan tenaga kerja karena berbasis digital, dan bukan tidak mungkin yang direkrut adalah pekerja asing karena di dalam UU ini tidak ada larangan bagi masuknya pekerja asing. Jadi UU Ciptakerja bukan untuk menciptakan lapangan kerja tapi sebaliknya menguntungkan para investor.
Selain itu, UU ini kental dengan aroma liberalistik dan kaitalistik. Karena regulasinya dalam bidang migas, pertanahan, perizinan lingkungan hidup, amdal, bahkan pendidikan sangat Nampak keliberalan dan kapitalistik nya. Misalnya masalah perizinan dan amdal, jika dalam aturan lama perusahaan jika di duga melakukan sesuatu yang berdampak pada lingkungan (misalnya menimbulkan kebakaran hutan) maka kerugian harus di tanggung perusahaan, sedangkan di UU ini tidak di bahas lagi.
Dalam ijin pnyelenggaraan pendidikan, di UU ini hrus melakukan prosedur ijin seperti ijin mendirikan badan usaha dan pendidikan di posisikan seperti perusahaan, sehingga Nampak disini sisi komersialisasinya. Termasuk pengaturan terkait produk halal, jika dulu MUI yang berhak melisensi kehalalan, akan tetapi sekarang bisa di lakukan oleh selain MUI sehingga ini membahayakan karena standarnya akan berbeda-beda.
Dari paparan di atas, bisa di ambil kesimpulan bahwa UU Ciptaker sangat kental sekali dengan kepentingan para investor baik dalam negeri maupun luar negeri dan mengabaikan kepentingan masyarakat terlebih kaum pekerja.
Lantas apakah Investasi itu tidak boleh? Jawabnya adalah boleh jika mekanisme investasinya di dasarkan pada ketentuan Syariat Islam, sebagai sebuah sistem yang mengatur kehidupan termasuk ekonomi.
Di dalam Islam para investor boleh menanamkan investasinya akan tetapi bukan pada bidang usaha yang masuk pada kategori pengelolahan harta yang milik umum (semisal Sumber Daya Alam) karena jika di sektor vital tersebut di kuasai oleh swasta maka pasti akan menimbulkan kemudhorotan bagi masyarakat bukan kemaslahatan. Sebagaimana sistem Kapitalis hari ini yang menswastanisasi harta milik umum sehingga banyak intervesi kebijakan swasta yang menzolimi masyarakat.
Soal ketenagakerjaan, negara dalam Islam bertanggungjawab untuk menjamin warganya agar mendapatkan pekerjaan sehingga bisa menghidupi dirinya dan keluarganya dengan menciptakan lapangan kerja, memberi akses kepemilikan lahan bagi individu yang mampu mengolahnya melalui ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), menciptakan iklim kondusif bagi wirausaha, dan sebagainya, sebagai sarana bagi setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Negara di dalam Islam juga menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara (muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.
Cara memperoleh pendapatan tidak hanya melalui penetapan hukum wajib mencari nafkah bagi laki-laki balig saja. Syariat Islam juga memiliki hukum-hukum lain yang sah dalam kepemilikan harta seperti hukum waris. Alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat yang tidak mampu memenuhinya, juga dipenuhi dengan tanggung jawab kerabat dan tetangga.
Hukum syariat tersebut mampu mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan untuk berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).
Pada saat masyarakat berpendapatan menengah bawah, termasuk buruh yang kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, kebutuhan energi, dan transportasi, negara menjamin terselenggaranya penanganan masalah-masalah tersebut.
Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban negara dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat, menjadikan rakyat mengaksesnya dengan murah bahkan gratis.
Sehingga rakyat –apa pun pekerjaannya- akan dijamin pemenuhan pendidikan anak-anaknya, kesehatan keluarga, transportasi aman-nyaman, serta energi untuk keperluan rumah tangganya.
Walhasil, sebenarnya penolakan dan kritikan tidak cukup hanya di alamatkan pada UU Ciptakerja yang dirasa banyak menimbulkan kemudhorotan bagi masyrakat, akan tetapi lebih dari itu adalah kritik dasarnya adalah pada penjajahan Kapitalis Liberalis atas nama investasi,dll yang nyatanya membawa dampak kerugian pada masyarakat.
Jangan lagi serahkan urusan masyarakat kepada para Kapitalis, karena sudah saatnya negara hadir sebagai penanggungjawab utama seluruh urusan masyarakat sebagaimana islam mengaturnya. Negara dalam Islam akan menempatkan dirinya sebagai pengurus (raa-in) sekaligus penjaga umat (junnah), sehingga kesejahteraan akan mewujud secara adil dan merata. Bukan malah menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Cukuplah sabda Rasulullah saw. ini sebagai peringatan: “Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim). Wallaahu a’lam bi ash-Shawwab