Utopis Sistem Kapitalis Mengetas Kemiskinan di Indonesia

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Utopis Sistem Kapitalis Mengetas Kemiskinan di Indonesia

Oleh : Halida Almanuaz

(Aktivis Muslimah Deliserdang)

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar mengungkapkan sektor pertanian menjadi penyumbang kemiskinan terbesar di Indonesia.
Menurut data yang dirilis BPS, persentase penduduk miskin ekstrem yang bekerja di sektor pertanian ada sebanyak 47,94 persen dari total penduduk miskin. Dari total persentase tersebut, 24,49 persen di antaranya merupakan pekerja keluarga atau tidak dibayar dan 22,53 persen lainnya bertani dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar.

Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Budiman Sudjatmiko, mengakui, masih ada penduduk miskin dan miskin ekstrem yang belum terdata oleh dalam survei atau sensus penduduk. Sebab, kebanyakan dari mereka hidup berpindah-pindah dan tidak jelas tempat tinggalnya.

Oleh karena itu, dia berharap data tunggal kemiskinan yang saat ini sedang dirancang pemerintah nantinya dapat memasukkan mereka ke dalam big data, sehingga dapat diberikan penanganan yang tepat. Ini juga bisa dijadikan pedoman oleh pemerintah untuk menentukan penduduk miskin yang nantinya dapat menerima bantuan atau penanganan khusus.
Disini Pemerintah dapat mengelompokkan penduduk miskin yang masih masuk dalam usia kerja yang jatuh miskin karena ketidakmampuannya dalam bekerja dan masyarakat miskin yang jatuh miskin karena sudah tua dan tidak memiliki perlindungan apapun.

Hari Pengentasan Kemiskinan Internasional yang diperingati tiap 17 Oktober sejak 1992 bertujuan mengajak masyarakat dunia untuk bersama-sama menyuarakan pentingnya menghapuskan kemiskinan global. Kendati sudah banyak tindakan di seluruh dunia untuk mengentaskan kemiskinan, peringatan tersebut nyatanya masih sekadar seremonial. Ini karena akar permasalahan kemiskinan tidak menjadi fokus penanggulangannya. Tidak heran, dunia tidak kunjung sejahtera.

Jika kita mencermati tingginya angka kemiskinan global, sedangkan pada saat yang sama ada orang-orang terkaya di dunia dengan jumlah kekayaan yang luar biasa, sejatinya ini sebuah ketimpangan besar. Hal ini berkelindan dengan laporan dari Oxfam—konfederasi internasional yang fokus dengan isu-isu kemiskinan pada 2023 bahwa 1% orang terkaya menguasai dua per tiga kekayaan dunia.

Berdasarkan realitas ini, ketimpangan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa orang miskin di dunia bisa dikategorikan sebagai korban kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural terjadi karena baik orang-orang terkaya di dunia maupun negara-negara yang mengalami kemiskinan ekstrem hidup dalam naungan sistem yang sama, yakni kapitalisme. Namun, buruknya distribusi kekayaan maupun konsep pengelolaan dan pengembangan harta membuat orang-orang yang menjadi penduduk di negara yang sama bisa mengalami jurang kesenjangan ekonomi yang sangat lebar.

Kemiskinan merupakan problematik menahun bagi Indonesia. Tingkat kemiskinan Indonesia naik turun dari tahun ke tahun. Menurut hitungan baru Bank Dunia, setidaknya ada 13 juta warga Indonesia yang turun kelas dari kelas berpenghasilan menengah ke bawah menjadi ke kelompok miskin. Berdasarkan PPP 2017, jumlah warga miskin Indonesia meningkat menjadi 67 juta dari 54 juta menurut PPP 2011.

Angka ini diperkuat dengan pernyataan Bank Dunia baru-baru ini bahwa sepertiga rumah tangga di Indonesia masih rentan dalam kemiskinan. Bank Dunia mengungkapkan masyarakat yang bekerja belum cukup mengatasi kerentanan terhadap kemiskinan. Jika yang bekerja saja belum mampu mengatasi kemiskinan, ini berarti kemiskinan bukan hanya faktor bekerja atau tidak bekerjanya individu.

Bank Dunia adalah satu dari sumber masalah dunia hari ini. Dunia dikuasai kapitalisme, dimonopoli Bank Dunia dengan sistem ribanya. Dunia juga tertipu dengan perhitungan kemiskinan yang semu. Bank Dunia bahkan menyebut Indonesia bisa lepas dari resesi karena melonjaknya ekspor komoditas yang memberi kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi global.

Mestinya Indonesia merasa tidak aman. Sebab, ancaman resesi dan tinggi inflasi berpengaruh pada nilai tukar rupiah terhadap dolar. Jika nilai rupiah jatuh, utang Indonesia akan makin membengkak, harga-harga akan naik. Efeknya, ekonomi rakyat makin sulit dengan pungutan pajak semkin tinggi sehingga kenaikan harga yang melonjak naiknya angka kemiskinan, kelaparan, dan pengangguran.

Politik Ekonomi dan Pertanian dalam Islam

Pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme yang keberadaannya didukung sistem politik demokrasi dan sekularisme, secara keseluruhan meniscayakan lahirnya korporasi raksasa yang menguasai seluruh rantai usaha pertanian, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan termasuk importasi.

Walhasil, pasokan pangan dan rantai perdagangan beredar di antara segelintir korporasi besar ini. Contohnya, Rice Milling Unit (RMU) milik PT Wilmar, pada 2022 mampu membeli gabah sebanyak 331.546 ton GKG serta menstok sekitar 1,2 juta ton beras.[6] Ini membenarkan pernyataan Dirut Bulog bahwa 94% penguasaan pasar pangan di Indonesia berada di tangan korporasi, sedangkan Bulog menguasai 6% saja.[17]

Dengan demikian, dapat dirasakan bahwa pemerintahan makin abai dalam pengurusan kemaslahatan masyarakat. Semua fakta buruk ini berpangkal dari diterapkannya sistem sekuler.

Politik ekonomi Islam diarahkan pada jaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat dan memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder, tersier sesuai kemampuan.
Dan tanggung jawab untuk merealisasikan politik ekonomi ini berada di pundak negara, yakni menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan, papan, sandang, bahkan pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi semua rakyat tanpa terkecuali, baik muslim maupun nonmuslim.

Hanya dalam sistem politik ekonomi Islam, dimana khilafah benar-benar akan berperan sebagai penjamin dan bertangung jawab atas rakyat melalui penerapan aturan Islam. Dan ada praktik kecurangan akan terselesaikan karena berjalannya pengawasan negara sehingga harga tidak mudah bergejolak. Kondisi perekonomian para petani pun akan terangkat karena negara hadir mengurusi mereka.

Sangat jauh berbeda sistem kapitalisme dengan peradaban Islam dalam kepemimpinan Khilafah. Sistem ini menuntut penguasa untuk melayani dan menyejahterakan rakyatnya. Dan negara yang mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder, hingga tersier dengan kualitas terbaik. Khalifah juga melayani untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, bukan berhitung keuntungan kepada rakyatnya sebagaimana kepala negara sistem demokrasi.

Sudah saatnya dunia butuh khilafah dimana negara yang berwibawa untuk menolak tunduk pada undang-undang kufur internasional dan negara akan mandiri melaksanakan hukum Islam kaffah. Dan hanya Khilafah yang akan mampu melaksanakan semua ketentuan Allah sekaligus menjamin keberkahan dan kesejahteraan. Wallahu’alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *