Utang, Warisan yang Tak Diinginkan Generasi Mendatang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: W. Wardani

Utang lagi

Besar pasak daripada tiang. Itulah pepatah yang menggambarkan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita. Pengeluaran pemerintah sampai dengan bulan ini jauh melebihi dari pemasukannya. Defisit dari periode sebelumnya dan adanya keperluan untuk membiayai rakyat di masa pendemi, membuat beban APBN semakin berat. Untuk menambal defisit anggaran tersebut pemerintah mengandalkan utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam viva.com, 16/6/2020, menyatakan bahwa pemerintah telah menarik utang untuk membiayai defisit APBN hingga Mei 2020 sebesar Rp356,1 triliun. Realisasi itu baru mencapai 41,7 persen dari target pembiayaan 2020 sebesar Rp 852,9 triliun. Namun, kenaikannya sangat pesat, yakni mencapai 122,6 persen dari catatan pada Mei 2019 yang hanya mencapai Rp159,9 triliun.

Nampaknya utang selalau dijadikan alternative untuk menambal defisit APBN. Tidak hanya pada rezim sekarang, kebiasaan berutang juga sudah dilakukan rezim-rezim sebelumnya. Bahkan trend utang Indonesia cenderung naik. Berdasarkan berita yang dimuat di kompas.com, 21/5/2020, utang Indonesia sampai dengan April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, total utang tersebut meningkat Rp 644,03 triliun atau 14,22 persen.

Dampak Utang

Tujuan berutang yang dilakukan oleh tiap rezim berbeda-beda sesuai dengan program yang menjadi prioritasnya. Namun apapun itu, ternyata dengan berutang, tidak sepenuhnya bisa menuntaskan permasalahan. Yang terjadi malah negara semakin tidak bisa bisa melepaskan diri dari utang.

Tentu kita tahu semboyan”no free lunch atau tidak ada makan siang gratis” . Negara ataupun lembaga pemberi utang tentu saja tidak memberikan uangnya secara sia-sia. Selalu ada beberapa persyaratan yang mengikat negara yang akan berutang. Asing dengan mudah bisa mendikte negara yang berutang. Ini membuat negeri kita menjadi tidak berdaulat. Negara semakin takluk kepada kepentingan asing. Hal ini tentu bisa menurunkan pengaruh politis negara pengutang di tingkat global.

Dampak utang yang semakin menumpuk juga akan membebani generasi berikutnya. Merekalah yang akan mewarisi utang pemerintah saat ini. Ketika anggaran defisit, maka negara dengan paradigma sekuler kapitalis dengan sistem ekonomi kapitalisnya seperti sekarang ini, akan melakukan beberapa alternative sebagai berikut. Dari segi pendapatan yaitu dengan cara efisiensi anggaran, menaikkan pajak , berutang, ataupun mencetak uang. Dari segi pengeluaran akan melakukan efisiensi pengeluaran.

Yang paling sering dilakukan dari sisi pendapatan yaitu menaikkan pajak dan berutang. Akumalasi utang ini tentu saja akan semakin memberatkan. Karena utang riba, yang harus dibayarkan tidak hanya nominal utangnya namun juga bunganya. Sebagai informasi bunga utang yang telah dibayarkan akhir April 2020, sebesar Rp 92,82 triliun, atau tumbuh 12,37 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun sepanjang tahun ini, pemerintah menargetkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 335,16 triliun. (Kompas.com, 21/5/2020).

Sungguh jumlah yang fantastis hanya untuk membayar bunga utang. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan porsi anggaran untuk kesehatan di APBN tahun ini yang hanya sebesar Rp.132,2 triliun. Inilah jeratan riba. Kalaulah tidak untuk membayar riba, uang tersebut bisa dimanfaatkan untuk kemashalatan rakyat seperti untuk membangun fasilitas umum, pelayanan kesehatan ataupun pendidikan, dan lain sebagainya.

Efisiensi anggaran dari segi pengeluaran, pemerintah akan menekan pengeluarannya. Biasanya yang paling sering dilakukan adalah memangkas pos-pos yang dianggap menjadi beban pemerintah, seperti pemotongan berbagai subsidi untuk rakyat. Maka bisa kita lihat bahwa sekarang ini berbagai subsidi untuk rakyat dipangkas, seperti subsidi BBM, listrik, pupuk dsb. Begitu juga pengurangan pelayanan kesehatan. Rakyat disuruh untuk menjamin kesehatannya sendiri. Rakyatlah yang akan semakin menderita. Sudahlah subsidi dipangkas, beban yang harus ditanggung semakin berat.

Dalam kaidah berfikir sekuler dengan sitem ekonimi kapitalis, struktur pendapatan negara hanya bertumpu pada utang dan pajak. Sistem ini meniscayakan negara berutang untuk menutupi defisit anggarannya, seakan akan tidak ada sumber alternative pemasukan lainnya. Konsekuensi dari berutang negara menjadi tidak berdaulat, minim dalam menjalankan fungsi pengurusan bagi rakyatnya. Dan yang pasti utang riba yang jelas-jelas haram tidak akan membawa keberkahan. Inilah letak kerusakan dari sistem ekonomi kapitalis.

Hanya Islam Solusinya

Sebenarnya ada alternative yang ditawarkan dalam pengelolaan keuangan negara. Yaitu sistem ekonomi Islam yang mendasarkan pada kaidah berfikir Islam yang shahih. Tentu saja sistem Islam ini hanya bisa dijalankan oleh institusi pemerintah Islam, yang menerapkan Islam dalam segala aspek, termasuk aspek pemerintahan. Pemerintah Islam dengan baitul mallnya memungkinkan negara untuk menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Dan ini sudah terbukti selama 13 abad sistem Islam diterapkan.

Dalam pemerintahan Islam, sumber pemasukan negara bukanlah utang dan pajak. Utang riba, jelas diharamkan. Pelarangan atas riba dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Pajak dalam pandangan Islam juga sesuatu yang tidak boleh dipungut secara kontinue. Pajak hanya diperlakukan ketika negara benar-benar tidak mempunyai persediaan uang di baitul mall, sedangkan negara memerlukan pendanaan yang sifatnya urgent atau darurat. Contoh keadaaan darurat seperti bencana alam yang harus segera ditangani, adanya wabah dan lain sebagainya. Setiap orang juga tidak diharuskan membayar pajak. Hanya mereka yang kaya, yang mempunyai kelebihan harta saja yang wajib membayar pajak.

Lantas bagaimana negara Islam mengelola keuangan negaranya? Keuangan dalam Islam dikelola oleh Baitul Mall. Sumber-sumber pemasukan baitul mall yaitu yang pertama Fai dan kharaj yang meliputi ghanimah, karaj, sewa tanah-tanah jizyah dan pajak. Fai adalah yakni pemasukan dari barang temuan, waris yang tak ada pewarisnya, harta sitaan dsb. Kharaj, yakni pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslimin dengan jihad.Besaran kharaj ini ditetapkan khalifah berdasarkan potensi hasil bumi tersebut. Sedangkan Jizyah, yakni pajak dari warga non muslim yang dewasa dan berada, karena mereka tak terkena kewajiban zakat, jihad maupun pajak bila ada.

Kedua pos kepemilikan umum yang meliputi kekayaan sumber daya alam yang ada seperti barang tambang, hutan, laut, gas bumi, padang gembalaan dan sebagainya. Pos kepemilikan umum ini dikelola oleh negara untuk kemashalatan rakyat. Bisa diwujudkan dalam pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, tarnsporasti, perumahan dan sebagainya. Jika masih berlebih hasil sumber daya alam ini dijual ke negara lain. Hasilnya masuk ke kas Baitul Mall.

Pos pemasukan ketiga yaitu zakat, yang meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian, buah-buahan, ternak sapi, kambing dan domba. Khusus untuk zakat penerimanya adaalah musthahik yang meliputi 8 golongan (8 asnaf).

Negara akan menggunakan pos-pos pemasukan di atas untuk membiayai pelaksanaan tugas negara seperti mengurusi urusan rakyat dan urusan administrasinya, membiayai berbagai industri untuk mendukung dakwah dan jihad, dan pengeluaran negara lainnya. Dengan mengoptimalkan ketigas pos tersebut negara Islam mampu bertahan selama 13 abad menjadi negara yang berdulat, tidak bergantung kepada asing.

Prof Fahmi Ambar, pernah melakukan studi tentang APBN syariah, dengan sumber-sumber pendapatan seperti di atas untuk negeri kita. Namun pos pendapatan hanya dihitung sebatas dari pos sumber daya alam saja. Hasil studinya menunjukkan bahwa dari kekayaan sumber daya alam saja, negara kita bisa menghasilkan pendapatan yang sangat besar, bisa menutupi pengeluaran rutin negara, bahkan berlebih.

Utang jika memang negara tidak sanggup memenuhi pembiayannnya atau ketika kas baitul mall minim, boleh dilakukan. Namun utang yang dilakukan buklanlah utang riba. Dan utang hanya dibolehkan kepada negara-negara yang tidak termasuk negara kafir harbi (negara yang memusuhi Islam dengan terang-terangan).

Negara Islam pun dalam sejarah pernah berutang. Kekhalifahan Turki Ustmani pada masa pemerintahan Sultan Hamid 2 mewarisi utang yang cukup besar yaitu 300 juta lira. Beliau sangat serius menangani utang. Pejabat-pejabatnya yang korup dipecat. Efisiensi dilakukan dengan memangkas pengeluaran, menunda pembayaran gaji para pegawainya. Sampai akhirnya beliau bisa menekan utang tersebut hingga menjadi 30 juta lira

Jadi untuk mengatasi masalah utang ini solusi satu-satunya ganti paradigma berfikir sekuler kapitalis dengan paradiqma berfikir Islam. Dengan sistem pemerintahan Islam dan sistem ekonomi Islamnya, negeri ini tidak hanya lepas dari jeratan utang tetapi juga akan mendapatkan keberkahan dari Allah. Sehingga negara tidak akan mewariskan utang kepada generasi mendatang tetapi mewariskan kesejahteraan yang melimpah. Wallahualam.

*) Penulis ; pemerhati sosial ekonomi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *