Utang Tinggi Menjulang, Nyawa Rakyat Tetap Melayang

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mu’allimah

 

Jika hari ini tidak utang apa kata dunia, utang adalah kebutuhan. Kalau bisa utang kenapa tidak. Utang adalah habbit, utang adalah budaya. Tiada hari tanpa utang, waktu adalah utang. Urusan mampu bayar atau tidak urusan nanti. Jika sedemikian getol menambah utang, lalu pertanyaannya adalah kebutuhan untuk terus utang itu untuk siapa, untuk rakyatkah atau untuk tujuan lain?

Pertanyaan maupun ungkapan seperti diatas saat ini sedang ramai di perbincangkan masyarakat terkait dengan penjelasan menkeu dibalik keputusan pemerintah terus nambah utang di tengah pandemi Covid 19 sebagai tantangan yang luar biasa dan harus di hadapi. Tidak hanya mengancam manusia, tetapi pandemi ini juga mampu merusak perekonomian suatu negara. SINDONEWS.com (Minggu, 25 Juli 2021)

Masih menurut bu menteri , “Semua negara di dunia menggunakan instrumen kebijakan untuk bisa menangani pandemi Covid 19 dan dampak sosial ekonomi serta keuangan,” demikian dikutip dari acara Bedah Buku “Mengarungi Badai Pandemi” di Youtube Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, Minggu (25/7/2021).

Selain itu pandemi adalah extraordinary challenge atau tantangan yang luar biasa sehingga membutuhkan kebijakan yang juga extraordinary. Salah satunya adalah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Indonesia (APBN). Dimana pada masa pandemi seperti ini diperlukan untuk meningkatkan anggaran kesehatan, bantuan sosial, membantu masyarakat, membantu daerah dan menjaga perekonomian. Sekilas nampak mulia tujuan utang ini, hanya saja perlu pembuktian antara pernyataan dan kenyataan riil yang ada di lapangan.
Benarkah utang untuk menyelamatkan rakyat?

Tidak terasa pandemi telah memasuki bulan ke delapan belas. Satu setengah tahun lamanya rakyat hidup dengan Covid 19. Berbagai istilah diperkenalkan oleh pemerintah mulai dari PSBB, New Nomal, PPKM mikro sampai PPKM berlevel. Tetapi pada faktanya angka covid tidak melandai bahkan cenderung naik dan selalu terjadi ledakan kasus baru, sampai-sampai faskes pun kolaps. Karenanya pernyataan Whatever actings untuk menyelamatkan warga negara dan perekonomian seperti yang didengung-dengungkan oleh Menkeu rasa-rasanya menjadi sumir.

Jika klaim tersebut benar, seharusnya nyawa rakyatlah yang menjadi prioritas bukan malah mengejar pemulihan ekonomi. Bukankah menjadi beban ganda ketika rakyat tak kunjung sehat sementara mereka adalah pelaku dan juga penggerak perekonomian.
Lalu bagaimana dengan terjemahan dari beban APBN yang luar biasa sehingga menjadikan maklum ketika skema utang kembali disetujui? Setidaknya sampai dengan akhir Juni 2021, Kementrian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah adalah sebesar 6.554,56 triliun. Sungguh angka yang tidak kecil dimana angka tersebut terdiri dari 41,35 persen dari rasio PDB. Adapun komposisi utang tersebut terdiri dari pinjaman sebesar Rp 842,76 triliun (12,86 persen) dan SBN sebesar Rp 5.711,79 triliun (87,14 persen).
Jumlah yang sangat fantastis akan tetapi sayangnya salah sasaran karena dengan utang yang terus bertambah seperti ini bisa mengakibatkan kurangnya kemandirian. Di sisi lain dengan dalih menyelamatkan warga negara ternyata juga tidak sejalan dengan kebijakan keuangan yang mengobral insentif untuk BUMN hingga investasi. Bahkan DPR memberikan persetujuan paket suntikan dana sebesar Rp 72 triliyun ke 12 BUMN.

Jika demikian maka tidak benar jika utang sebagai solusi. Tentu saja wajar jika rakyat menjadi semakin muak terhadap kebijakan tersebut karena terbukti tidak menyejahterakan mereka malah sebaliknya semakin terpuruk dalam jebakan utang yang semakin tinggi menjulang sementara pandemi tidak jelas kapan akan tuntas.

Beginilah jika kapitalisme diterapkan dalam kehidupan bernegara, bukan rakyat yang jadi prioritas tetapi berkhidmat pada golongan elit kelas atas. Kapitalisme inilah yang menjadi penyebab semua absurditas yang terjadi di masyarakat. Apakah sistem seperti ini layak dipertahankan.

Solusi Islam

Perjalanan bangsa Indonesia dalam mengarungi kehidupan bernegara selama kurang lebih tujuh dekade ini telah merasakan pahitnya hidup dibawah naungan ideologi kapitalisme maupun ideologi sosialis komunisme. Keduanya gagal dan sama sekali tidak membawa kesejahteraan yang hakiki sebagaimana di amanahkan dalam UUD.

Maka dengan kegagalan menangani pandemi seperti ini, bahkan memanipulasi utang untuk tujuan yang lain, masih layakkah kapitalisme dipertahankan keberadaannya di negeri ini. Bukankah saat ini merupakan momentum yang tepat untuk mengakhiri ideologi tersebut dengan mengambil Islam sebagai solusi tuntas atas seluruh persoalan yang membelit negeri ini?

Dalam Islam, pajak dan utang ribawi sebagaimana yang dipraktikkan negara dalam upaya memenuhi APBN adalah sesuatu yang diharamkan. Sistem keuangan negara dalam islam menempatkan baitulmal sebagai solusi realistis atas keadaan yang extraordinary seperti saat ini.

Baitulmal menghasilkan penerimaan besar dan beragam tanpa risiko jatuh dalam jebakan utang dan mencekik rakyat dengan pajak. Pos besarnya berasal dari pengelolaan aset milik umum, milik negara dan zakat mal. Syarat mutlaknya adalah penguasaan sumber daya alam secara mandiri dan menghapus semua praktik ekonomi berbasis ribawi. Dengan mekanisme seperti ini maka negara memiliki kemandirian dan berdaulat penuh sehingga mampu mencegah intervensi asing.

Niat baik menyelamatkan rakyat tidak boleh dengan cara-cara yang diharamkan syari’at seperti utang melainkan dengan solusi tuntas penerapan syari’ah Islam secara menyeluruh dan sempurna dalam bingkai khilafah. Sehingga dengan demikian janji Allah akan terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghaffur negeri berlimpah kemakmuran dan kesejahteraan hakiki menjadi sebuah keniscayaan.
Wallahu a’lam bish showwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *