Oleh: Nurul Aqidah (Anggota Komunitas Aktif Menulis, Bogor)
Pandemi Covid-19 ternyata tak hanya menggerogoti kesehatan masyarakat. Namun berpengaruh juga terhadap utang luar negeri Indonesia yang semakin melambung tinggi. Utang masih menjadi isu terhangat hingga saat ini. Baik utang untuk menutupi defisit anggaran periode sebelumnya atau mengalokasikan pembiayaan rakyat di masa pandemi. Semakin bertambahnya utang, tentunya membuat masyarakat khawatir akan kemampuan Indonesia membayar utang. Tapi anehnya, pemerintah selalu meyakinkan utang tersebut bersifat produktif dan pemerintah masih mampu untuk membayarnya.
Dilansir dari katadata.co.id, 16/6/2020, Kementerian Keuangan mencatat total pembiayaan utang neto pemerintah hingga Mei 2020 mencapai Rp 360,7 triliun. Jumlah ini meningkat 35,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan kenaikan realisasi pembiayaan hingga Mei 2020 antara lain disebabkan oleh defisit anggaran yang meningkat. Pada periode yang sama, defisit APBN membengkak 42,8% menjadi Rp 176,9 triliun atau 1,1% terhadap PDB.
Pemerintah menjamin rasio utang dikelola dalam batas aman pada APBN 2021 yang tidak melebihi 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) sesuai Undang-Undang Keuangan Negara.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam webinar di Jakarta, Rabu, 17 Juni 2020 mengatakan pembiayaan akan dilakukan secara terukur dengan terus menjaga sumber pembiayaan secara aman, hati-hati dan sustainable. Febrio menjelaskan, kebijakan makro fiskal tahun 2021 mengatur besaran defisit diperkirakan berada pada rentang 3,05-4,01 persen terhadap PDB. Rasio utang juga diproyeksi naik kisaran 33,8-35,88 persen terhadap PDB. Selain SBN, utang pemerintah pusat juga berasal dari pinjaman atau 15,51 persen mencapai Rp 815,66 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 9,94 triliun dan luar negeri Rp 805,72 triliun. Kenaikan utang pemerintah pusat itu karena kebutuhan pembiayaan yang meningkat akibat pandemi Covid-19 untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi nasional (tempo.co, 17/6/2020).
Bahaya Penumpukan Utang
Terus membengkaknya utang baik utang dalam negeri maupun luar negeri akan membebani pembayaran cicilan pokok dan bunga yang juga makin tinggi. Semakin besar jumlah utang, jumlah kas negara yang tersedot untuk bayar cicilan utang juga makin besar. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat makin terbatas.
Meskipun pemerintah berdalih utang dibutuhkan untuk memberikan stimulus di tengah tekanan ekonomi akibat Covid-19. Namun pemerintah harus memperhatikan konsekuensi yang akan dihadapi, yaitu penumpukan utang untuk menutupi defisit anggaran. Ketika utang terus bertambah, sedangkan kemampuan untuk mengembalikannya tidak membaik maka akan mengakibatkan risiko terbesar berupa kegagalan membayar utang.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme yang dianut mayoritas negara saat ini, adalah sistem yang menitikberatkan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan yang lainnya. Maka sangat wajar, tatkala suatu negara gagal membayar hutang pasti ada sesuatu yang harus dikorbankan sebagai imbalan penghapusan hutang. Zimbabwe menjadi contoh cerita yang mengenaskan. Saat gagal membayar utang sebesar US$40 juta kepada Tiongkok, maka sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang. Berikutnya Nigeria, model pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang. Tiongkok mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur.
Begitu juga Sri Lanka, setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya pemerintah Sri Langka melepas pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Tak ketinggalan pula Pakistan, pembangunan Gwadar Port bersama Tiongkok dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus rela dilepas.
Risiko seperti di atas tidak mustahil akan terjadi juga pada Indonesia. Bila negara tidak mampu membayar hutang, bisa jadi akan ada imbalan tertentu yang harus diberikan sebagai penghapusan utang. Hal itu tentunya menimbulkan bahaya politis atas negara karena menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Terlebih utang tersebut disertai riba dengan bunga yang tinggi. Kebijakan negara berpotensi makin jauh dari pemenuhan kemaslahatan rakyat karena dikendalikan oleh kepentingan asing.
Islam Sebagai Solusi
Lalu bagaimana Islam mengatasi permasalahan ekonomi?
Islam hadir tentu tidak hanya sebagai agama ritual dan moral belaka. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh problem kehidupan, termasuk dalam pengelolaan ekonomi.
Islam menetapkan bahwa pemerintah wajib bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka.” (HR. Muslim)
Ditinjau dari pemasukan negara dalam sistem pemerintahan Islam, salah satu sumber pendapatannya bisa diperoleh dari kepemilikan umum. Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah SWT untuk seluruh kaum muslimin. Allah SWT membolehkan setiap individu untuk mengambil manfaatnya, tetapi tidak untuk memilikinya.
Harta kepemilikan umum dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari. Harta milik umum jenis pertama didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah)
Kedua, harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu memilikinya. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, “Mina tempat (munakhun) orang-orang yang lebih dulu sampai.” Mina adalah tempat yang terkenal di luar Makkah, yaitu tempat singgahnya jamaah haji setelah menyelesaikan wukuf di Arafah. Mina, dengan demikian, merupakan milik seluruh kaum muslimin, dan bukan milik seseorang. Hal yang sama berlaku untuk jalan umum, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur air, tiang-tiang listrik, rel kereta, yang berada di jalan umum. Semuanya merupakan milik umum sesuai dengan status jalan itu sendiri sehingga tidak boleh menjadi milik pribadi. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.”
Ketiga, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas. Terkait kepemilikan umum ini, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadits dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasulullah SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasulullah SAW lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi)
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan syara sebagai kepemilikan umum. Karena barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas merupakan milik umum seluruh rakyat, negara tidak boleh memberikan izin kepada perorangan atau perusahaan swasta untuk memilikinya.
Harta kepemilikan umum dikelola oleh negara melalui Baitul Mal. Dalam hal ini, negara mengatur produksi dan distribusi harta tersebut demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Dengan mengelola secara mandiri sumber daya alam untuk dinikmati masyarakat luas, maka kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi melakukan utang dalam atau luar negeri dapat dihindari. Ketika negara terbebas dari utang maka akan lebih stabil perekonomiannya, produktif dan tidak mudah tergantung negara lain. Bahkan mampu menjadi mercusuar ekonomi dunia. Tentunya semua hal tersebut dapat terwujud ketika menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah.
Wallahu’alam bisshawab.