Utang Meningkat, Rakyat Tercekik Pajak
Ika Wulandari S
Utang Indonesia mengalami peningkatan sebesar Rp 91,85 triliun dari akhir Mei 2024, yang sebelumnya hanya sebesar Rp 8.353,02 triliun. (Viva.co.id, 16/08/2024). Sebab negara sering mengandalkan pinjaman dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia yang mengandung unsur riba. Pinjaman tersebut digunakan untuk mendanai program pembangunan. Hutang ini sangat membebani karena utang harus dibayar kembali dengan bunga yang tinggi. Sehingga negara harus memiliki banyak pos pemasukan agar mampu untuk membayar hutang tersebut. Pada akhirnya yang ditumbalkan adalah rakyat dengan berbagai pungutan pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Selain itu hutang bisa mempengaruhi kebijakan ekonomi negara.
Tidak heran hutang negara semakin lama semaking melambung. Hal ini di picu oleh sistem yang diadopsi negara tersebut. Fakta pembiayaan pembangunan negara dalam sistem kapitalisme hanya bergantung pada dua sumber utama yaitu pajak dan utang. Dan Indonesia telah mengadopsi sistem kapitalis.
Buktinya negara ini semakin tinggi dalam menentukan target pajaknya. Target penerimaan pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 diusulkan sebesar Rp 2.189,3 triliun. Ini adalah kali pertama dalam sejarah target pendapatan pajak Indonesia melewati batas Rp 2.000 triliun. (CNBC Indonesia, 16/08/2024).
Besarnya pajak tersebut sangat mencekik rakyat, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Kendaraan Bermotor. Semua rakyat dipungut pajak meskipun dia miskin. Sebaliknya orang kaya malah mendapatkan keringanan pajak.
PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN DALAM ISLAM
Pembiayaan Pembangunan negara dalam sistem Islam sangat berbeda. Negara Islam bertanggung jawab mengurus rakyat sebagai raa’in (pemelihara), bukan sebagai penguasa yang membebankan pajak secara berlebihan. Maka pos pendapatan diambil salah satunya dengan mengelola SDA. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) dalam Islam, dianggap sebagai milik umum. Oleh karena itu, pengelolaan SDA oleh negara harus berdasarkan dengan prinsip-prinsip Islam yang berfokus pada keadilan, kesejahteraan rakyat, dan perlindungan lingkungan sehingga dapat meningkatkan penerimaan yang lebih, karena negara dapat mengelola SDA secara efektif dan efisien untuk kepentingan umum, bukan hanya untuk keuntungan individu atau korporasi.
Sedangkan pajak dalam Islam bukan menjadi sumber pendapatan negara. Misalpun ada pungutan pajak, mekanismenya lebih sederhana dan adil. Pajak hanya dikenakan pada orang yang kaya saja disaat kondisi tertentu dan batas waktu yang jelas pula. Dan salah satu pos pemasukan negara adalah dengan memungut pada laki-laki non muslim (Jizyah) yang merupakan bukti perjanjian perdamaian dan perlindungan negara kepada non muslim, pemasukan dari harta rampasan perang (Ghanimah), dan pajak tanah pertanian (Kharaj). Mekanisme ini dirancang untuk mengurangi beban pajak pada rakyat miskin dan meningkatkan keadilan dalam distribusi pendapatan. Dengan sistem Islam ini dapat meningkatkan kesejahteraan suatu negara dan memastikan bahwa kebutuhan rakyat terpenuhi. Sehingga rakyat tidak perlu dipungut pajak.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“(HR. Abu Daud, no : 2548, dishahihkan oleh Imam Al Hakim).
“ Apabila telah marak perzinaan dan praktek ribawi di suatu negeri, maka sungguh-sungguh penduduk negeri tersebut telah menghalalkan diri mereka untuk diadzab oleh Allah.” (HR. Al-Hakim dan Ath- Thabarani)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.