Oleh: Ummik Rayyan (Pena Muslimah Cilacap)
JAKARTA, KOMPAS.TV – Utang Indonesia bertambah lagi. Bahkan jumlahnya cukup besar dalam waktu yang relatif berdekatan atau tak sampai dua minggu. Totalnya utang baru Indonesia yakni bertambah sebesar lebih dari Rp 24,5 triliun. Utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral. Rincian utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp 15,45 triliun dan utang bilateral dari Jerman sebesar Rp 9,1 triliun. Pemerintah mengklaim, penarikan utang baru dari Jerman dan Australia dilakukan untuk mendukung berbagai kegiatan penanggulangan pandemi Covid-19.
Pemerintah Indonesia mendapat pinjaman dari Pemerintah Australia dengan nilai mencapai 1,5 miliar dollar Australia. Angka tersebut setara dengan Rp 15,45 triliun (kurs Rp 10.300). Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg mengatakan, uang pinjaman tersebut diberikan lantaran Indonesia dinilai memiliki ketahanan dan proses pemulihan yang cenderung cepat pada masa pandemi Covid-19.
“Bantuan ini merefleksikan situasi yang harus kita hadapi bersama. Selain itu, juga berkaitan dengan reputasi Indonesia terkait dengan manajemen fiskal,” ujar dia dalam konferensi pers bersama dengan Pemerintah Indonesia secara virtual, Kamis (12/11/2020) lalu.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pinjaman dari Pemerintah Australia tersebut merupakan dukungan yang memberi ruang bagi pemerintah untuk melakukan manufer kebijakan dalam penanganan pandemi.
Di sisi lain juga mengurangi risiko beban fiskal lantaran keuangan negara dihadapkan pada defisit yang kian melebar, yakni di kisaran 6,34 persen hingga akhir tahun.
Pemerintah Jerman lewat Kedutaan Besar Republik Federal Jerman mengumumkan penandatanganan kesepakatan utang senilai 550 juta Euro. Pemerintahan Presiden Jokowi pun resmi mengikat pinjaman bilateral yang besarannya setara dengan Rp 9,1 triliun. Perjanjian itu ditandatangani secara terpisah di kantor Bank Pembangunan Jerman (KfW) di Frankurt, Jerman dan di Kementerian Keuangan, Jakarta.
“Perjanjian pinjaman senilai 550 juta Euro telah ditandatangani secara terpisah di kantor Bank Pembangunan Jerman KfW di Frankfurt dan di Kementerian Keuangan di Jakarta, menyesuaikan dengan kondisi pandemi,” tulis Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia di akun Twitter resmi Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia dikutip Sabtu (21/11/2020).
Sementara itu di halaman Facebook akun resmi Kedutaan Besar Jerman, penarikan utang dari pemerintah Indonesia tersebut dilakukan dalam rangka program Covid-19 Active Response and Expenditure Support atau CARES. Program CARES sendiri merupakan program penanganan virus corona dengan berbagai kegiatan seperti penyediaan alat medis, peningkatan ekonomi, dan bantuan terarah untuk kelompok rentan.
Selain untuk penanganan Covid-19, utang baru dari Jerman tersebut digunakan pemerintah Indonesia untuk pembangunan rumah sakit pendidikan di Makassar dan Malang.
Lantaran adanya pandemi Covid-19, kesepakatan penandatanganan utang dilakukan lewat jarak jauh (virtual) baik di kantor KfW di Jerman maupun kantor Kementerian Keuangan di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman di kantor Kemenkeu dan Kepala Bagian Sustainable Economic Development East dan South East Asia KfW, Florian Sekinger.
Perkara utang dianggap bukan masalah, justru menjadi solusi jitu bagi rezim. Malah bangga karena dianggap utang Indonesia relatif cukup baik dibanding dengan negara-negara di dunia. Meski tingkat utang Indonesia naik di kisaran 36-37 persen dari sebelumnya hanya 30 persen. Padahal berutang justru membuat hidup terasa sempit, karena terus dihantui dengan pembayaran selangit, belum lagi disertai bunga riba.
Sementara dalam Islam utang tidak menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi negara. Islamm tidak akan mengalami jalan buntu seperti saat ini Jika mengalami defisit anggaran, khilafah akan menyelesaikannya dengan 3 (tiga) strategi yakni:
1. Meningkatkan pendapatan. Ada 4 (empat) cara yang dapat ditempuh:
Mengelola harta milik negara. Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura. Khalifah boleh juga mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut. Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun harus diingat, ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajiban ri’ayatus-syu’un.
Melakukan Hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh Khalifah terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja Khalifah melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan pandemi Covid-19. Rasulullah saw. pernah menghima satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim.
Pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat.
Mengoptimalkan pemungutan pendapatan.
2. Menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak.
3. Berutang (istiqradh). Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya Khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat dan Cina, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua): utang tersebut pasti mengandung riba dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang.
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Maal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll.
Hendaknya kaum muslim menyadari tentang bahaya utang bukan hanya akan menjadikan sengsara. Tapi lebih dari itu, ketika utang ribawi telah meliputi suatu negeri, Allah akan memeranginya. Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT dalam Alquran, kecuali dosa memakan harta riba. Bahkan Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal ini tentu menunjukkan bahwa dosa riba sangat besar dan berat. “Rasulullah Saw melaknat pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda, mereka semua sama.” (HR Muslim)
Seharusnya umat Islam negeri ini beralih dari sistem pencetak utang (kapitalis) menuju sistem bebas utang (Islam). Seperti yang dicontohkan Khalifah Sultan Abdul Hamid dalam memimpin Khilafah Utsmaniyah, menghentikan laju bertambahnya utang luar negeri dan berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis negara ke tangan musuh. Sultan Abdul Hamid segera memecat para pejabat rakus termasuk di antaranya gubernur Mesir, Khudaiwi Ismail. Ismail dipecat melalui dekret tahunan yang dikeluarkan pada 25 Juli 1879 M.
Keseriusan Sultan Abdul Hamid untuk melunasi utang dilakukan dengan memangkas pengeluaran, serta menangguhkan gaji para pegawai pemerintahan. Bahkan tidak bersikap lemah dan tegas di hadapan musuh meski dihadapkan dengan utang, Khilafah Utsmaniyah tetap memelihara aset Palestina dan tidak menjual tanahnya kepada para imigran yang datang kepadanya.
Jika negeri ini merindukan hidup tenang, aman, dan penuh keberkahan. Hendaknya segera mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Insya Allah, bebas dari segala jerat utang dan terbebas dari laknat Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-showab.