Utang Membengkak dan Ancamannya Bagi Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Atika Marsalya (Aktivis Dakwah)

 

 Harapan Indonesia bebas dari utang luar negeri (ULN) nampaknya masih sulit diwujudkan. Tahun 2021 segera berlalu, tetapi tidak kunjung terlihat tanda-tanda Indonesia akan bebas utang. Keadaannya justru terbalik, ULN negara justru makin naik. Kini, ULN Indonesia sebesar US$423,1 miliar atau meningkat 3,7% daripada tahun lalu. ULN terbagi menjadi dua, yaitu ULN pemerintah dan ULN swasta, keduanya mengalami kenaikan.

ULN pemerintah diperuntukkan membiayai sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial; wajib dengan alokasi 17,9% dari total ULN Pemerintah, sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial sebesar 17,3%, sektor jasa pendidikan 16,5%, sektor konstruksi 15,5%, dan sektor jasa keuangan dan asuransi 12,1%.

ULN swasta sebagian besar diperuntukkan dalam sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan, (Katadata, 15/11/21).

Begitulah realitas yang nampak, kenaikan ULN tidak bisa dihindari dan kemungkinan akan terus naik jika utang dijadikan sumber pendapatan utama negara.

Apa yang Mungkin Terjadi?

Para pengamat memprediksi rezim hari ini akan menghasilkan utang lebih dari Rp 10 ribu triliun atau Rp 10 kuadlriliun di akhir kepemimpinannya. Menanggapi proyeksi tersebut, sejumlah ekonom sepakat bahwa utang Indonesia masuk kategori gawat (al-wa’ie hal.18, Agustus 202) Apa yang mungkin terjadi?

Skema terburuk dampak tumpukan utang adalah negara bangkrut apabila pemerintah gagal membayar utang tersebut. Sebuah negara dikatakan bangkrut apabila gagal membayar utangnya. Imbasnya, negara benar-benar dibawa ke dalam jurang yang dalam karena kolaps membawa tumpukan utang.

Tercatat ada sejumlah negara yang kolaps akibat tumpukan utang. Sebut saja Yunani yang dinyatakan bangkrut, Argentina sudah dua kali mengalami gagal bayar utang. Pada tahun 2017 ada Venezuela yang masuk dalam krisis ekonomi, Zimbabwe saat itu menciptakan rekor inflasi tertinggi di dunia akibat tumpukan utang. Kondisi utang Indonesia saat ini sudah semakin tinggi dan masuk kategori mengkhawatirkan. jangan sampai Indonesia menyusul negara-negara tersebut, yang nantinya akan menambah daftar panjang negara-negara kolaps yang gagal membayar utang.

Selain memorakporandakan ekonomi negara, ULN juga membahayakan kedaulatan bangsa. Masalah ini mulai timbul saat negara ataupun lembaga kreditur (pemberi utang) memberikan syarat tertentu. Mereka secara tidak langsung dapat mengatur para debitur (negara yang berutang). Kebijakan-kebijakan baru akan lahir untuk memuluskan program negara kreditur, bisa berupa kebijakan tentang undang-undang atau pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Walhasil, negara yang mengikuti persyaratan itu akan menjadi negara pengekor. Para pemimpinnya seolah bersedia melakukan apa pun permintaan lembaga kreditur—meskipun akan berpengaruh negatif dan melukai hati rakyat. Jika semua ini terjadi, hancurlah kedaulatan sebuah negeri. Ia tidak lagi memiliki taring dan disegani dalam kancah internasional. Ia justru akan menjadi hidangan empuk untuk diperebutkan.

Ancaman gagal bayar utang (default) dan bahaya kedaulatan adalah sebagian contoh dari buruknya penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Negara-negara yang dijajah secara ekonomi tidak akan pernah bisa keluar dari bahayanya. Mereka hanya memiliki dua pilihan, yaitu memiliki utang dan tunduk pada negara pemberi pinjaman atau tunduk (menyerahkan kedaulatan) kepada lembaga-lembaga penjajahan internasional.

Sistem Keuangan Islam

Islam merupakan agama sempurna. Aturan Islam mencakup segala hal, termasuk sistem keuangan. APBN negara Islam sangat jelas, baik pengeluaran maupun pendapatan. Pemasukan APBN negara Islam berasal dari banyak pos, misalnya jizyah, kharaj, fai, ganimah, harta tidak bertuan, hingga hasil pengelolaan SDA. Semua penerimaan itu masuk ke dalam Baitulmal dan pengalokasiannya untuk memenuhi biaya administrasi maupun kebutuhan rakyat.

Bagaimana dengan utang? Seandainya pendapatan negara cukup untuk memenuhi semua kebutuhan yang wajib, negara tidak perlu berutang. Apalagi utang riba yang Islam haramkan. Jikalau kondisi keuangan sedang pailit, barulah negara akan mengambil kebijakan menarik pajak (dharibah) dari kaum muslim yang mampu saja, itu pun setelah terpotong oleh segala pengeluaran pokoknya. Kebijakan pajak ini hanya berlaku pada waktu tertentu. Ketika kebutuhan sudah terpenuhi, penarikan dharibah mesti terhenti saat itu juga.

Dengan demikian, negara tidak akan mudah mendapat dikte dari negara pihak lain. Negara juga memiliki power besar di hadapan dunia internasional. Kedaulatan negara pun akan terjaga selama-lamanya.

Berdasarkan semua itu, yang dapat menyelesaikan masalah utang dan keuangan negara hanyalah sistem keuangan Islam. Namun, penerapan satu sistem saja tidak akan efektif tanpa sistem lainnya. Butuh sistem lainnya agar semua subsistem dapat berjalan sempurna. Hal ini sesuai perintah Allah Swt. kepada umatnya untuk berislam secara kafah, bukan setengah-setengah. “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah: 208). Wallahualam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *