Utang Lagi, Lagi dan Lagi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ragil Rahayu, SE

Apa solusi paling mudah dan paling “nggak” mikir jika sedang butuh sesuatu tapi tak punya uang? Utang. Ya, di zaman kapitalisme ini utang tak lagi sesuatu yang memalukan. Bahkan utang bisa jadi suatu prestise. Diutangi itu artinya dipercaya, demikian mantra sesat yang diviralkan. Padahal utang itu menggerogoti kemuliaan pelakunya. Jika sedikit dan karena kebutuhan mendesak, tentu boleh berutang. Namun jika hobinya menumpuk utang, orang itu akan terhina.

Itu jika seorang individu. Bagaimana dengan negara? Indonesia merupakan negara yang hobi ngutang. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan pembiayaan utang hingga periode 31 Mei 2020 tercatat Rp 360,7 triliun. Jumlah ini tumbuh 123% dibandingkan periode Mei 2019. Jumlah ini mencapai 35,8% terhadap perubahan APBN (detik.com, 16/6/2020).

Sistem Mendukung Utang

Meski pembayaran utang dan bunganya telah menggerogoti APBN, Pemerintah tak kapok untuk terus menambah utang. Tahun depan, Pemerintah akan berutang lagi. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebut rasio utang pemerintah akan naik tinggi pada tahun 2021. Kepala BKF Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan rasio utang pemerintah pada tahun depan diperkirakan ada di level 33,8% sampai 35,8% terhadap produk domestik bruto (detik.com,17/6/2020).

Akibatnya, jumlah utang pemerintah mencapai Rp 5.172,48 triliun per akhir April 2020. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi utang pemerintah naik Rp 601,11 triliun. Rasio utang pemerintah mencapai 31,78% terhadap PDB. Mengapa Pemerintah nyaman-nyaman saja menumpuk utang? Karena rasio utang pemerintah saat ini masih aman jika mengacu pada UU Keuangan Negara nomor 17 tahun 2003 dan UU APBN yang ditetapkan setiap tahunnya.

UU Keuangan Negara telah membatasi defisit APBN sebesar 3% dari rasio PDB. Batas maksimal rasio utang ditetapkan sebesar 60% terhadap PDB. Sementara dalam UU APBN yang merupakan produk bersama antara Pemerintah dengan DPR, telah ditetapkan estimasi pembiayaan dan anggaran untuk melunasi utang negara. Adanya payung hukum tersebut membuat Pemerintah semakin percaya diri untuk terus berutang.

Demikianlah tata aturan yang ada memang membolehkan menumpuk utang. Asalkan masih dalam batas aman. Naasnya, batas aman ini dirundingkan sendiri di kalangan penguasa (eksekutif dan legislatif). Sehingga level “aman” itu sendiri merupakan sesuatu yang dibuat-buat. Karena faktanya, utang yang demikian besar tak pernah aman untuk rakyat. Wong cilik inilah yang selalu menanggung beban utang negara. Terhitung, setiap jiwa di Indonesia saat ini menanggung utang hingga Rp13 juta.

APBN juga selalu defisit, akibat disedot untuk bayar utang dan bunganya. Karena defisit, pungutan berupa pajak dan iuran digenjot habis-habisan. Dipungut dari siapa? Rakyat lagi. Jadi, hobi utang penguasa itu hakikatnya memeras rakyat atas nama undang-undang.

Inilah ciri khas sistem demokrasi. Seolah merakyat. Padahal aslinya “menthung” rakyat (memukul) secara legal. Inilah ciri khas negara kapitalisme. Utang selalu dijadikan solusi atas masalah ekonomi. Sebaliknya, kekayaan alam milik rakyat justru dibagi-bagi di antara para taipan dan mister juragan.

Utang: Bahaya

Kurus kering, itulah profil APBN kita. Pembayaran utang dan bunganya merupakan pos yang banyak menyedot kas negara. Makin besar jumlah utang, kas negara yang tersedot juga makin besar. Akibatnya, kapasitas APBN untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat makin terbatas.

Pemerintah berdalih, tidak masalah utang makin besar selama masih bisa bayar. Utang dianggap masih aman karena rasionya terhadap PDB masih di kisaran 30-an persen. Mereka beralasan, toh banyak negara yang rasionya di atas 100% masih aman-aman saja.

Padahal menurut ekonom Indef, Bhima Yudhistira, risiko utang tidak bisa dilihat hanya dari rasio utang terhadap PDB. Metode ini banyak diragukan, terutama pasca krisis utang di Eropa tahun 2011. Negara seperti Spanyol dan Irlandia akhirnya harus ditalangi oleh IMF. Padahal rasio utangnya terbilang masih dalam batas aman dibandingkan dengan Yunani (Koran-jakarta.com, 27/5/2017).

Risiko lainnya, dengan makin besarnya utang luar negeri maka pembayaran utang akan makin tinggi. Padahal mayoritas ULN dalam Dolar. Akibatnya, kebutuhan akan mata uang asing khususnya Dolar makin besar. Kurs Rupiah akan terdepresiasi (menurun). Melemahnya Rupiah akan membawa dampak negatif bagi perekonomian.

Risiko terbesarnya adalah gagal bayar. Contohnya adalah Zimbabwe. Gagal membayar utang sebesar US$40 juta kepeda Cina. Sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang. Contoh lain adalah Nigeria, Sri Lanka dan Pakistan. Mereka kehilangan kedaulatan di dalam negeri karena gagal membayar utang (Rmol.co, 12/09/2018). Kita tentu tak mau Indonesia bernasib sama.

Utang Ribawi

Seluruh utang Pemerintah disertai bunga alias riba yang diharamkan oleh Allah SWT. Hal ini akan mengundang azab-Nya. Rasulullah saw. bersabda:
« إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ »

Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Selain itu, perekonomian yang dibangun di atas pondasi riba tidak akan pernah stabil. Akan terus goyah bahkan terjatuh dalam krisis berulang. Akibatnya, kesejahteraan yang merata untuk rakyat akan makin tak tercapai.

Solusi

Jika ingin selamat, Indonesia harus menghentikan utang ribawi. Tinggalkan pula sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi. Ganti dengan sistem ekonomi Islam yang terbukti mewujudkan kesejahteraan bagi dunia selama ribuan tahun. Tinggalkan pula politik demokrasi yang melegalisasi penumpukan utang. Ganti dengan khilafah yang sangat amanah dalam mengurus rakyat.

Khilafah akan menghapus riba. Menghentikan utang baru dan membayar pokoknya. Bunga utang tidak akan dibayar karena haram. Kekayaan alam yang masuk milik umum akan diambil dari swasta. Kemudian dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat. Dari sektor ini pula dana penanganan pandemi Covid-19 akan diperoleh.

Menurut Salamuddin Daeng, Anggaran untuk mengatasi covid-19 bisa diambil dari pengalihan satu pos anggaran subsidi saja. Apakah itu dengan mengalihkan subsidi lisrik atau subsidi LPG atau subsidi solar + premium + minyak tanah. Seluruh komoditi energi ini tidak lagi memerlukan subsidi karena harga minyak mentah sedang turun (ajnn.net, 30/4/2020).

Dengan solusi khilafah, negara bisa mendanai penanganan wabah tanpa harus utang. Inilah solusi sebenarnya. Solusi yang layak untuk kita perjuangkan. WalLâh alam bi ash-shawâb.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *